Kurikulum ganti lagi? Tenang, Moms. Peran kita tetap penting untuk dampingi anak belajar di tengah sistem pendidikan yang terus berubah
“Baru kemarin K-13 ganti jadi Kurikulum Merdeka. Eh, sekarang ada lagi Deep Learning. Apa lagi ini?” Pernah merasa kaget karena metode pembelajaran yang berubah-ubah seperti itu, Moms?
Saat ini, ada dua kurikulum berbeda yang diterapkan, yakni, K-13 dan Kurikulum Merdeka. Akankah kurikulum merdeka yang baru seumuran jagung ini akan berganti lagi? Tak hanya para pendidik yang degdegan, tetapi juga para pelajar yang kebingungan, dan orang tua yang kerepotan. Artikel ini akan bantu Mommies untuk memahami kenapa perubahan kurikulum di Indonesia sering terjadi, dan apa yang bisa kita lakukan sebagai orang tua di tengah situasi yang penuh ketidakpastian ini.
BACA JUGA: Coding dan AI Akan Masuk Kurikulum SD, Implementasi dan Pengaruhnya pada Psikologis Anak
Pendidikan di Indonesia memang mengalami banyak perubahan dari masa ke masa. Dari Indonesia merdeka, hingga sekarang, Indonesia setidaknya sudah memiliki 32 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Setiap Menteri membawa kebijakan dan gebrakannya masing-masing, terutama dalam hal kurikulum. Dari Kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) 2006, Kurikulum 2013 (K-13), hingga kini Kurikulum Merdeka—masing-masing datang dengan semangat dan jargon baru. Namun, bagi banyak orang tua, perubahan ini bukan sekadar istilah teknis, melainkan sumber keresahan nyata.
Tak heran, setiap pergantian menteri, selalu muncul kekhawatiran berjamaah akan terjadi “ganti kurikulum”. Menurut pengamat pendidikan, Waode Nurmuhaemin, mencermati, bangsa kita masih mencari-cari model pendidikan yang tepat. Sudah 77 tahun kita merdeka, kita masih belum memiliki peta jalan pendidikan di mana negara maju sudah menjadikan bulan sebagai penggerak ekonomi mereka. Pendidikan kerap menjadi “komoditas politik.”
Menjawab kekhawatiran ini, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, (sebagaimana dikutip di Youtube Harian Kompas tayang 12 Desember 2024) menyebut bahwa pihaknya tidak melakukan perubahan kurikulum, tetapi perubahan dalam pendekatan pembelajaran. Ia memperkenalkan Deep Learning. Dalam pandangannya, Deep Learning bukanlah kurikulum, melainkan sebuah pendekatan belajar yang mendorong peserta didik tidak hanya tahu (surface learning) atau hanya mengejar kelulusan (achievement motivation learning), tetapi mendalami ilmu, memahami penerapan, dan mampu mengaitkan pengetahuan antar disiplin.
“Orang sering salah paham, mengira ini kurikulum baru—‘Kurikulum Deep Learning’. Padahal, Deep Learning adalah pendekatan belajar yang menekankan pendalaman, keterkaitan ilmu, dan penerapan nyata dari pengetahuan,” ujar Abdul Mu’ti.
Ia juga menyoroti kritik terhadap muatan materi pelajaran yang terlalu banyak, yang mengakibatkan praktik “kejar tayang” dalam penyampaian materi. Dalam konteks Deep Learning, muatan kurikulum perlu disederhanakan dan difokuskan pada materi yang paling esensial, sehingga peserta didik memiliki ruang untuk berpikir kritis, mendalami, dan memaknai apa yang dipelajarinya.
Perubahan ini menurutnya, merupakan respons terhadap perubahan zaman, dinamika masyarakat, dunia kerja, dan tuntutan global.
Wajar kalau banyak orang tua bertanya-tanya: “Harus gimana, ya, supaya anak tetap semangat belajar meskipun sistem sekolahnya berubah-ubah?” Berikut beberapa hal sederhana yang bisa dilakukan dari rumah:
Apa pun kurikulumnya, nilai dan pembentukan karakter seperti kejujuran, tanggung jawab, empati, dan rasa ingin tahu tetap penting. Orang tua bisa membantu menumbuhkan nilai-nilai ini di rumah—melalui rutinitas, keteladanan, dan komunikasi terbuka.
Alih-alih pasif, orang tua bisa lebih aktif berdialog dengan guru, menanyakan pendekatan pembelajaran di kelas, dan mencari tahu apa yang bisa dibantu dari rumah. Kolaborasi orang tua dan guru sangat penting terutama saat kurikulum dalam masa transisi.
Luangkan juga waktu ngobrol dengan anak soal apa yang dia pelajari. Tanyakan: “Seru nggak belajar hari ini?” atau “Ada tugas seru nggak dari sekolah?” Temani proses belajar anak. Tidak sekadar melempar tanggung jawab akademik ke guru sekolah atau guru les anak.
Anak-anak bisa stres saat harus beradaptasi dengan sistem baru, dengan tugas projek, ujian yang tak lagi seperti dulu, atau sistem belajar yang baru. Di sinilah peran orang tua sebagai tempat anak merasa diterima, aman, dan didukung, lebih penting dari sekadar memaksa nilai bagus, apalagi memproyeksikan ambisi pribadi ke anak, hanya akan membuat anak semakin stres.
Orang tua tak perlu menguasai semua materi atau memahami seluk beluk kurikulum baru, tetapi cukup temani anak membaca, mendiskusikan peristiwa sehari-hari, atau menjawab pertanyaan mereka dengan rasa ingin tahu. Ini membantu anak merasa bahwa belajar adalah proses hidup dan bisa dilakukan bersama-sama, bukan sekadar tugas sekolah.
Sama seperti guru, orang tua juga perlu melatih diri untuk lebih fleksibel dan tidak terjebak pada pola belajar zaman dahulu. Sistem pendidikan berubah—dan anak-anak akan lebih siap jika orang tuanya juga terbuka untuk belajar hal baru. Perubahan akan terus ada. Dengan menunjukkan sikap tenang dan terbuka, Anda sedang mengajarkan anak bahwa perubahan itu bisa dihadapi dengan kepala dingin dan hati gembira.
Perubahan pendidikan di Indonesia mungkin belum ideal dan kadang membingungkan. Tapi satu hal yang nggak berubah adalah peran orang tua. Bukan soal harus jadi guru pengganti di rumah, tetapi jadi pendamping yang penuh kasih, penguat semangat, dan teladan dalam menghadapi perubahan. Pendidikan terbaik dimulai dari rumah. Dan kita punya peran yang luar biasa untuk membantu anak tumbuh jadi pribadi yang cerdas dan kuat di tengah dunia yang terus berubah.
BACA JUGA: 10 Sekolah yang Menerapkan Kurikulum Cambridge, dari SD hingga SMA
Cover: Freepik