Tak selamanya orang tua bertengkar di depan anak itu buruk. Penelitian menunjukkan itu bisa bikin anak semakin tangguh dan kreatif. Bagaimana caranya?
Sebagai orang tua, sebisa mungkin kita berupaya untuk menghindari berdebat di depan anak. Alasannya, kita takut berujung konflik dan malah memberi contoh relasi orang tua yang nggak sehat. Padahal, rumah tangga itu nggak mungkin tanpa gejolak, dan kita nggak akan bisa seterusnya sepaham dengan pasangan, bukan?
Kabar baiknya, kita tak harus melulu, kok, menjaga ketenangan dan keharmonisan rumah tangga sampai segitunya demi membesarkan anak-anak hebat. Orang tua bertengkar sah-sah aja. Malah, ketika orang tua beradu pendapat di depan anak, anak juga bisa belajar banyak hal dan bisa membuatnya semakin tangguh lagi kreatif. Kok, bisa?
Baca juga: Bertengkar di Depan Anak? Begini Aturannya Menurut Psikolog
Belum lama ini, seperti dikutip dari portal CNBC, Adam Grant, seorang psikolog organisasi di Wharton School of the University of Pennsylvania mengatakan pada podcast “What Now? With Trevor Noah” bahwa anak-anak yang tumbuh dengan orang tua yang sering berbeda pendapat dengan cara yang membangun, kelak dapat menjadi orang dewasa yang lebih kreatif dan tangguh!
Eits, ini bukan berarti orang tua bertengkar dengan bebas berteriak dan memaki di depan anak, ya! Berdebat yang dimaksud tentunya dengan cara yang membangun atau disebut juga constructive disagreement. Saat menyatakan perbedaan pendapat, orang tua mencontohkan diskusi yang produktif. Artinya, kedua belah pihak terlibat dalam percakapan, saling mendengarkan, menghargai pendapat lawan bicara, mau menanti giliran berbicara, nggak nge-gas, hingga (idealnya) mencapai kesepahaman yang sehat. Kalaupun akhirnya tak juga sepaham, paling tidak bisa agree to disagree.
Hal ini bisa membangun mental anak-anak menjadi lebih tangguh, tulis Grant dalam esai New York Times tahun 2017. Seperti yang mommies tahu, ketangguhan atau resilience sangat penting diasah sejak dini, dan akan sangat bermanfaat bagi kehidupan anak kelak mereka dewasa.
Lebih lanjut, Grant memaparkan bahwa ketegangan yang produktif di dalam rumah tangga bisa menunjukkan kepada anak-anak bahwa perdebatan tidak selalu diakhiri konflik. Kalaupun konflik terjadi, tak selalu bertahan lama, dan malah bisa mengarah pada cara-cara kreatif untuk memecahkan masalah. Jadi, konflik tak selalu berakhir buruk.
Saat terjadi perdebatan, kita menyadari ada dua figur otoritas yang berbeda. Keduanya sama-sama punya pandangan, sama-sama punya hak untuk berpendapat. Ada perbedaan pendapat, tapi sekaligus ada kesejajaran untuk menyampaikan pandangan masing-masing.
Salah satu tidak sekadar tunduk atau mengalah begitu saja pada yang lainnya. Jadi, ini melatih keberananian anak juga dalam menyampaikan perbedaan pendapat. Sementara yang lainnya juga belajar untuk mempertimbangkan gagasan orang lain. Patut diingat, perdebatan itu bukan untuk mencari siapa yang benar dan salah, lho, ya.
Baca juga: 8 Cara Melatih Anak untuk Berpikir Kritis, Jadi Mandiri dan Kreatif
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa perbedaan pendapat yang membangun membantu anak-anak menjadi lebih kreatif dalam berbagai cara.
Salah satu penelitian tersebut meminta orang dewasa berusia awal 30-an untuk menulis cerita imajinatif, dan menemukan bahwa cerita yang paling kreatif berkorelasi dengan paparan konflik orang tua di masa kecil mereka. Penelitian lain menemukan bahwa arsitek dan ilmuwan yang paling inovatif mengalami sejumlah gesekan dalam keluarga mereka.
“Jika tak ada perdebatan, kita tidak mungkin mau meninggalkan cara lama lalu mencoba cara baru untuk memecahkan masalah serupa,” tulis Grant. Perbedaan pendapat adalah sesuatu yang sangat wajar dan pasti terjadi di dalam kelompok. Belajar memiliki, menyampaikan dan menerima perbedaan pendapat penting untuk dipelajari dipelajari sejak masa kanak-kanak.
Membangun kreativitas tidak harus mengorbankan rasa aman anak: Sebuah penelitian tahun 2009 mengamati 235 keluarga dan menemukan bahwa anak-anak berusia 5 hingga 7 tahun merasa lebih aman secara emosional ketika mereka memiliki orang tua yang berdebat dengan cara membangun. Ketika diamati lagi tiga tahun kemudian, mereka menunjukkan empati yang lebih besar dan lebih ramah di sekolah.
“Debat yang bagus bukanlah perang. “Ini bahkan bukan tarik tambang, di mana Anda dapat menyeret lawan ke sisi Anda jika Anda menarik tali dengan kuat,” tulis Grant dalam bukunya tahun 2021, Think Again: The Power of Knowing What You Don’t Know. Constructive agreement itu layaknya tarian yang belum dikoreografi. Ada adaptasi. Jika kita atau pasangan bisa menyesuaikan gerakan, tariannya bisa menghasilkan ritme yagn selaras.
Jadi, tak perlu takut lagi untuk berdebat di depan anak, ya, asal ingat kuncinya: harus berdebat dengan cara yang membangun.
Baca juga: 20 Pertanyaan Terbuka untuk Anak, Bisa Melatih Keterampilan Berpikirnya
Cover: Freepik