Sorry, we couldn't find any article matching ''
Pengajuan Beasiswa Pendidikan di Usia 45 Tahun dan Punya Tiga Anak, Ini Trik Persiapannya!
Berusia 45 tahun dengan memiliki tiga anak bukan alasan untuk menyerah mengejar beasiswa pendidikan. Ini cerita saya ketika mempersiapkannya!
Mungkin pada saat tulisan ini turun, Beasiswa Fulbright dan Australia Award Scholarship, dua beasiswa dari Pemerintah AS dan Australia, sudah mengumumkan pembukaan gelombang baru seleksi mereka.
Saya sudah tak ingat apa yang terlintas di benak ketika pertama kali melihat poster pendaftaran beasiswa-beasiswa tersebut. Entah apa juga yang membuat saya termotivasi mempersiapkan dokumen-dokumen pendaftarannya. Namun yang sangat jelas adalah, tidak seperti biasanya, saya mencoba mempersiapkan segalanya sebaik mungkin.
BACA JUGA: Gita Putri Damayana: Beasiswa Datang Saat Saya Sedang Menjalankan Peran Domestik Sebagai Ibu
Saya mempersiapkan dokumen dan berkas pendaftaran dalam status ibu dengan tiga anak dan bekerja penuh. Artinya, saya harus “mencuri” waktu dari kesibukan bekerja dan waktu berkualitas bersama keluarga.
Persiapan dokumen dan berkas seabrek (yang bisa sangat membuat terdemotivasi) membutuhkan konsentrasi tersendiri sehingga saya butuh alokasi waktu sekian jam sehari untuk menyiapkan segala sesuatunya.
Dokumen yang biasa dipersiapkan seorang pelamar beasiswa antara lain adalah dokumen identitas pribadi, referensi, dan rekomendasi dari individu-individu yang bisa meyakinkan panel seleksi.
Saya mengerjakan semuanya secara paralel dengan memblok waktu tertentu untuk satu jenis dokumen tertentu. Misalnya pada hari Senin, seharian saya akan mengontak semua orang yang akan saya minta referensinya serta mendedikasikan waktu hari itu khusus untuk tujuan rekomendasi.
Kemudian Selasa keesokan harinya, saya akan fokus untuk dokumen identitas, misalnya mencari penerjemah akta kelahiran. Lanjut Rabu, mengurus legalisir nilai ke almamater terdahulu. Selanjutnya hari Kamis saya mendaftar ke situs Polda Metro Jaya untuk mengurus Surat Kelakuan Baik dan seterusnya.
Intinya, dalam satu hari, harus ada kemajuan. Saya sebisa mungkin tidak mencampur satu aktivitas dalam sehari agar tetap fokus. Semua hal ini saya catat serta beri tanda cek apabila tuntas. Namun yang amat sangat penting kita catat adalah tanggal deadline pendaftaran sehingga semua bergerak maju jangan melewati waktu tersebut.
Salah satu bagian terpenting dalam pengajuan beasiswa adalah syarat bahasa alias skor TOEFL atau IELTS. Entah mengapa, saya selalu mengambil IELTS dan nyaris tidak ada pengalaman dengan TOEFL.
Bisa jadi karena buku-buku latihannya kebetulan saya dapatkan dengan harga diskon, tidak terlalu jelas juga sehingga tidak bisa dibandingkan mana lebih baik antara IELTS vs TOEFL. Namun, seberapapun nilai skor kita, tidak ada artinya kalau kalau skor baru keluar sesudah tanggal pendaftaran lewat. Apalagi kita perlu mempersiapkan diri, minimal tujuh hari untuk mengetahui bagaimana cara menjawab soal-soal IELTS atau TOEFL tersebut.
Kemudian baru bagian terberat dalam proses pendaftaran beasiswa, yaitu menyusun study objectives serta personal statement. Meski penamaannya bisa berbeda-beda di tiap beasiswa, tapi selalu ada bagian yang meminta kita menuliskan mengapa kita ingin (dan layak!) mendapatkan beasiswa tersebut. Khusus soal study objectives dan personal statement ini sebaiknya kita bahas dalam bagian khusus terpisah agar lebih fokus karena detailnya lumayan banyak.
Saya biasanya menempatkan deadline pribadi agar tidak tergesa-gesa dalam menyelesaikan pendaftaran. Untuk hal-hal yang kendalinya ada di luar pribadi, seperti memperbarui paspor, penerjemahan akta, legalisir nilai dan SKB, saya posisikan penyelesaiannya di awal agar agar waktunya lebih terkendali di awal.
Kemudian rekomendasi serta IELTS di bagian tengah. Butuh waktu untuk menyusun narasi permohonan rekomendasi serta memikirkan figur yang tepat; sementara untuk IELTS perlu ada persiapan latihan soal dulu sebelum langsung terjun tes. Jangan lupa, khususnya untuk IELTS, ada faktor biaya yang sama sekali tidak murah.
Ini ruang kerja saya sebagai mahasiswa Phd di Australia National University (ANU)
Tulisan ini disusun ketika saya sedang mengikuti Intensive Academic Program (IAP) di Australia National University untuk persiapan program S3; semacam pengenalan kegiatan akademik untuk penerima beasiswa Australia Award dari berbagai negara Asia Pasifik.
Sekelas dengan berbagai penerima beasiswa dari berbagai negara seperti Myanmar, Fiji, Vanuatu hingga Brunei dalam lingkup akademik akan membawa kita ke kerendahan hati baru; bahwa pintu terbuka pada waktu yang berbeda-beda bagi tiap orang. Ada pintu beasiswa S3 yang terbuka saat seseorang belum berusia 30 tahun tapi ada yang baru terbuka setelah berusia 45 tahun (itu saya!).
Namun nyaris semua pintu harus diketuk, atau bahkan digedor agar bisa terbuka. Dan pintu pertama yang terbuka seringkali adalah gerbang riuh kantor imigrasi saat membuat paspor atau keset selamat datang almamater lama ketika mengurus legalisir nilai.
Ibarat analogi, pendidikan lebih tinggi, entah beasiswa atau bukan, adalah pintu menuju petualangan baru. Pintu yang terbuka bukan target berburu karena berbeda dengan hewan buruan yang selalu bergerak, pintu hanya terbuka atau tertutup. Pastikan kita sigap melangkah ketika pintu terbuka atau siap mendobrak bila pintu tertutup.
Selamat melangkah!
BACA JUGA: 10 Ketentuan Penting Pendaftaran Beasiswa LPDP Reguler, Calon Pendaftar Wajib Perhatikan!
Cover: Dok. Istimewa
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS