banner-detik
SINGLE & STEP PARENTING

Ketika Anak Bertanya, “Ma, Kenapa Aku Nggak Punya Papa Kayak Teman-Teman?”

author

RachelKaloh13 Sep 2021

Ketika Anak Bertanya, “Ma, Kenapa Aku Nggak Punya Papa Kayak Teman-Teman?”

Bagaimana menanggapi dengan tepat ketika anak menanyakan keberadaan ayahnya? Begini penjelasan psikolog.

Tentu kita semua pasti mendambakan keutuhan dalam sebuah keluarga, di mana peran kita sebagai ibu dan peran suami sebagai ayah tidak akan berubah, sampai anak dewasa. Namun, tidak ada satu orang pun yang dapat menjamin keutuhan tersebut. Bagaimana jika di tengah jalan, kita mengalami masalah, berujung harus pisah dengan pasangan? Pandangan terhadap keluarga pun akhirnya berubah. Bukan hanya di mata kita, tetapi juga di mata anak.

Pernahkah kita membayangkan perasaan anak ketika melihat teman-teman di sekitarnya semua memiliki ayah, sementara dirinya tidak. Bagaimana bila kemudian menjadi pertanyaan besar di benaknya, “Ayahku mana?”, “Kok, aku nggak punya Papa kayak temanku yang lain?” Apa yang harus kita lakukan supaya anak tidak hidup dengan bertanya-tanya?

Setelah ngobrol singkat dengan Firman Ramdhani, M. Psi, Psikolog, berikut penjelasan yang saya dapatkan.

Bila karena Sang Ayah meninggal

Pertama-tama, kita harus paham bahwa rasa kehilangan akan seseorang membuat kita perlu melewati yang namanya 5 tahap kesedihan (5 Stage of Grief). Berdasarkan buku On The Death and Dying (1969) yang ditulis oleh Dr. Elisabeth Kubler-Ross, 5 tahap tersebut adalah Denial, Anger, Bargaining, Depression, dan Acceptance. Kelima tahapan ini tentu juga dialami oleh anak dan setiap orang melewati tingkatan tahap yang berbeda-beda.

Maka, yang paling bisa kita lakukan adalah validasi perasaan anak. “Iya, Nak, berat, Mama tahu. Kehilangan Ayah itu memang menyedihkan, kita boleh bersedih.” Respon anak usia berapapun terhadap kepergian Ayahnya tidak bisa kita anggap sepele. Hal ini juga berlaku bagi orang-orang di sekitar anak yang akan menjadi support system-nya; nenek, kakek, tante, om, siapapun yang akan mendampingi anak dalam melanjutkan hidupnya, selain kita, perlu sama-sama bekerjasama dalam hal memvalidasi perasaan anak. Hindari kalimat seperti, “Ngga usah nangis terus, udah, gak usah sedih!” Melainkan, beri anak waktu, bantu anak menjalani tahap demi tahap. Namanya tahapan artinya ada proses yang dilewati.

Validasi perasaan anak akan membantunya melewati proses acceptance itu sendiri. Pada akhirnya anak akan menerima kepergian sang Ayah dengan ikhlas. Sehingga tidak lagi ada pertanyaan besar di dalam hatinya tentang keberadaan ayahnya. Namun, bila masih sangat berat untuk anak melewatinya, maka bantuan ahli seperti psikolog mungkin dibutuhkan. 

Baca juga: Mendadak Jadi Single Parent, Harus Bagaimana?

Bila Sang Ayah “disembunyikan”

Karena satu dan lain hal, ada keadaan di mana keberadaan seorang ayah terpaksa harus “disembunyikan” dari anak, misalnya Ayah yang pergi meninggalkan keluarganya atau bahkan yang dari awal ketika anak lahir sudah tidak ada. “Menyembunyikan” keberadaan ayahnya, artinya anak tidak mendapatkan jawaban yang apa adanya, atau jawaban yang berdasarkan fakta. Maka, tentu saja kesimpulan yang diambil oleh anak bisa jadi negatif. Mungkin saat masih balita, anak terima saja, tetapi ketika ia beranjak remaja, bisa saja segala sesuatu tentang ayahnya memiliki kesan yang negatif buat dirinya. Sebaliknya, ibu bisa memilih cara lain yaitu berkata jujur, berkomunikasi dengan terbuka pada anak, bahkan hingga memastikan kesimpulan yang diambil anak. Bagaimanapun latar belakangnya, seorang ibu tentu ingin anak tetap memiliki kesan positif terhadap ayahnya.

Agar anak tetap bisa merasakan keberadaan ayahnya

Kita semua juga pasti paham bahwa ketika figur ayah ini missing atau sama sekali tidak dirasakan anak dalam kehidupannya, maka berbagai efek negatif bisa timbul. Namun, bukan lalu artinya anak pasti akan mengalami dampak buruk tersebut. Pada dasarnya, ayah itu adalah sebuah peran. Artinya, siapapun dapat mengisi peran tersebut dengan menjadi figur ayah bagi anak. Kakek, om, bahkan ibu bisa menjadi pendamping yang memberikan nilai-nilai yang pada umumnya didapat anak dari ayahnya. Termasuk menemani anak beraktivitas yang melibatkan fisik, mendampingi anak saat belajar, bahkan membantu anak dalam hal membuat keputusan.

Baca juga: 

Father Hunger Bahkan Bisa Dialami Anak yang Masih Punya Ayah

Membesarkan Anak Tanpa Figur Ayah

Share Article

author

RachelKaloh

Ibu 2 anak yang hari-harinya disibukkan dengan menulis artikel dan content di media digital dan selalu rindu menjalani hobinya, menjahit.


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan