Inilah pengalaman Dris Wallace, seorang working mom di San Diego, Amerika Serikat, yang juga terpaksa bekerja dari rumah karena persebaran Covid-19 menggila, terutama di negeri paman Sam.
Walau selalu memenuhi tenggat deadline, ibu dua balita ini akhirnya di-PHK oleh kantornya, hanya karena kabarnya atasannya tak suka mendengar background suara anak-anak Wallace ketika melakukan voice atau video meeting. Sumpah, sih, sempat kaget baca ceritanya. Berikut faktanya, ya.
Bagi Wallace, minggu pertama bekerja dari rumah dimulai dengan stres yang tak tertahankan. Wallace harus berjibaku dengan banyaknya undangan meeting, email, serta target tidak realistis yang ditetapkan oleh atasannya. Sounds familiar?
Oh by the way, atasannya adalah seorang pria. Tekanan dari bos Wallace disertai dengan tingkah laku anak-anaknya yang seolah tak mendukung ia untuk fokus bekerja dari rumah. “Ada saja yang mereka lakukan, menyela, mengganggu, hingga yang bayi pun menuntut untuk menyusu pada saya sepanjang waktu. Mereka terus-menerus harus menunggu saya untuk menyelesaikan sesuatu, sampai saya datang dan memenuhi kebutuhan mereka,” ungkap Wallace.
Padahal sudah berbagai cara Wallace lakukan demi menyeimbangkan antara anak dan pekerjaan. “Saya bahkan menghabiskan banyak uang untuk membeli peralatan seni, materi DIY, buku menggambar, agar anak-anak sibuk dengan hal-hal tersebut. Saya, kan, nggak ingin anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di depan layar. Tapi nggak mempan juga,” tukasnya.
Selama beberapa bulan terakhir, Wallace bekerja tanpa lelah untuk memenuhi tenggat waktu yang telah diberikan. Namun atasan Wallace mulai terdengar sangat frustasi ketika mendengar suara anak-anak melatarbelakangi setiap video atau voice meeting kami.
“Beliau lalu menginstruksikan pada saya bahwa pada tiap kali meeting online dengan klien, atau internal kantor, tidak boleh ada suara anak-anak terdengar. Saya dicap tidak profesional karena itu, dan saya harus mencari cara agar mereka diam selama proses meeting berlangsung. Berulang kali hal itu dikeluhkan atasan saya, hingga membuat saya pusing,” jelas Wallace.
Walau nyaris impossible, Wallace akhirnya berupaya untuk memundurkan waktu istirahat bayi laki-lakinya ke sore hari, sambil berdoa agar ia tidak bangun saat Wallace bekerja. Wallace pun berkompromi dengan atasan untuk meeting dengan klien di jam 13.00-16.00 waktu setempat. Dengan harapan suara kebisingan dari anak-anak minimal. “Benar-benar saya merasa stres dan tingkat kecemasan yang diciptakan atasan saya mencapai puncaknya,” keluhnya.
Sayangnya, atasan Wallace malah mengabaikan jadwal yang sudah dikompromikan. Berkali-kali ia malah membuat jadwal meeting di jam makan siang, tentunya kedua anak Wallace, ya, sedang lapar-laparnya. Tahu sendiri, deh, anak kalau lagi lapar, kan, cranky, ya.
“Sudah begitu, ia terus-menerus "mengingatkan" saya bahwa saya sangat tidak profesional ketika suara anak-anak terus menjadi latar belakang meeting kami. Meski begitu, saya terus bekerja dengan baik, bahkan tanpa keluhan dari klien saya. Saya memenuhi tenggat waktu dan menyelesaikan pekerjaan. Saya merasa saya bekerja sangat keras,” jelas Wallace.
Pada satu titik di akhir bulan Mei, atasan Wallace pun memberi warning keras. Jelas Wallace, “Beliau mengatakan kepada saya, bahwa kantor tidak dapat mentolerir terus menerus akan kondisi anak-anak saya yang selalu ‘mengganggu’ setiap online meeting dengan klien. Ia bahkan membandingkan saya dengan kolega lain. Hingga pada akhirnya ia bahkan meminta saya untuk mencari tahu bagaimana mendiamkan anak-anak, dan berhenti jadi backing vocal saat meeting berlangsung.”
Pada titik ini, Wallace pun ambyar. “Saya menangis di telepon. Saya merasa terkejut bahwa dia akan menanggapi kekhawatiran saya dengan cara ini. Saya merasa direndahkan. Fakta bahwa dia secara implisit menyuruh saya mencari tahu bagaimana mendiamkan anak-anak atau ‘menyingkirkan’ mereka dengan mengunci mereka di kamar, untuk saya adalah suatu permintaan yang tidak masuk akal.”
“Pada akhir Mei, saya merasa telah melakukan segala daya upaya saya untuk mengatasi situasi ini. Saya bahkan berkonsultasi dengan manajer saya, pun dengan bagian personalia,” jelas Wallace. Namun Wallace merasa, bagian personalia pun tidak mendukungnya. Hingga di akhir bulan Juni, Wallace menerima telepon dari personalia dan yang ia dengar adalah kantor, kolega, terutama atasan saya tidak bisa lagi mentolerir kondisi WFH saya,”pungkas Wallace.
“Saya merasa dikhianati, terutama ketika personalia mulai memberikan alasan-alasan yang berubah-ubah. Bahwa perusahaan mengalami penurunan pendapatan karena pandemi, padahal belum lama mereka mengumumkan bahwa mereka berkomitmen untuk tidak melakukan PHK karena Covid-19. Mereka bahkan terus melakukan perekrutan, lho. Jadi sungguh alasan-alasan yang dikemukakan sangat tidak masuk akal.
Menjadi tidak konsisten ketika perusahaan sendiri pernah menyatakan bahwa akan mendukung para karyawan yang juga orangtua dengan anak-anak di bawah umur, karena kondisi tersebut dinilai sulit dan menantang. Apakah karena saya dianggap mengadu pada personalia tentang atasan saya, maka kemudian saya dipecat?” tanya Wallace.
Hingga tulisan ini diturunkan, Wallace sendiri masih berjuang untuk mencari keadilan. Working mom yang juga seorang selebgram ini merasa perlu menuliskan cerita ini agar semua orang peduli, dan berkomitmen untuk tidak mendiskriminasi ibu-ibu bekerja, terutama pada saat ini, saat bekerja dari rumah menjadi penuh perjuangan.
Bagaimana dengan mommies? Menurut mommies semua Dris Wallace benar atau tidak? Atau atasannya saja yang mengada-ada?
Baca:
26 Tahun Jadi Penderita, Ashley Dawson Edukasi tentang OCD di TikTok
Hiburan Ibu Bekerja: Coba Tonton 7 Film Ini!
Saat Rasanya Terlalu Banyak yang Harus Dilakukan Sebagai Ibu Bekerja