Dalam situasi pandemi ini, yang paling aman, kita harus stay #dirumahaja. Tapi, bagaimana jika rumah berubah menjadi tempat yang ‘tidak aman’ buat batin kita?
Katanya, ‘We are all in the same storm, but we are not all in the same boat. Kita sedang menghadapi badai yang sama, tapi sebetulnya setiap orang tidak berada di kapal yang sama. Setiap orang ‘hidup’ dalam kapalnya masing-masing, tengah mencari jalan keluar atau sekadar bertahan dari badai ini.
Di tengah dua sisi mata uang: ancaman kesehatan dan keuangan, yang dihadapi semua orang, ada sebagian dari kita yang menghadapi ancaman lain yang tidak kalah menyiksa: tekanan batik, fisik, hingga nyawa, karena menghadapi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Masalah KDRT ini sebetulnya masalah klasik, situasi pandemi ini makin memperkeruh suasana, karena work from home dan anggota keluarga tidak bisa kemana-mana. Menurut UN Women, secara global, KDRT dialami 243 juta perempuan usia 15-49 tahun, mereka menjadi objek kekerasan fisik dan seksual.
KDRT ini juga dialami beberapa teman yang saya kenal. Ada yang memang sudah ‘berhasil’ bercerai dari suaminya, ada yang sudah berencana lama tapi belum punya keberanian dan baru-baru ini muncul keberanian untuk mengajukan gugatan cerai. Ada juga, yang sedang di tubir jurang. Belum berani mengambil keputusan lebih jauh. Salah satunya adalah Imel (40). Begini kisah yang dialami Imel.
Selama 13 tahun menikah, di mata teman-teman, Imel dan suaminya adalah pasangan yang sempurna. Suami berwajah tampan, pendiam, dan gerak-geriknya sopan. Bahkan, sang suami terlihat amat romantis. Suami selalu antarjemput kemanapun Imel pergi.
Hang out sama teman-teman, olahraga, ke pasar, ke mal, main ke rumah teman, dan sebagainya. Suami bela-belain bangun pagi-pagi atau nunggu di mobil sampai Imel selesai beraktivitas. Bila Imel tampak pergi sendirian, itu artinya suami sudah kembali ke tempat tugasnya di luar kota.
“Oh, wajarlah, jarang-jarang ketemu istri. Makanya pingin deket-deket terus,” begitu, saya pernah nyeletuk ke Imel, mengomentari suami romantisnya itu. Hingga suatu hari, Imel pernah sesenggukan dan bercerita ke saya, kalau dia tersiksa dengan perlakuan suaminya yang dinilainya kelewat overprotektif.
“Dia itu sebenarnya nggak percayaan sama aku. Dia takut banget kalau aku dekat-dekat teman cowok,” cerita Imel, suatu kali.
Sejak Maret lalu, perusahaan tempat suami Imel kerja memberlakukan work from home. Begitu juga kantor Imel. Praktis, mereka pun bareng terus di rumah, bersama anak mereka yang sekarang duduk di kelas 5 SD.
“Suami suka periksa-periksa handphoneku. Dicek satu-satu WA, FB, Instagram, semuanya. Kalau dia lihat ada teman pria yang berkomentar, entah itu di FB atau Instagram, dia akan cecar terus,” kisah Imel. Yang jelas, sejak pandemi, Imel nyaris tidak pernah membalas WA.
Diakui Imel, suami memang tidak pernah melakukan kekerasan fisik, tetapi sering menyudutkan, menyindir, ngata-ngatain, mencurigai, bahkan membentak. Masalah tekanan kantor dan finansial, semakin membuat suami jadi sering uring-uringan dan sering berkata kasar. Puncaknya, suami menampar pipinya saat Imel melawan kata-kata kasar suami.
Tidak tahan dengan perilaku suami dan kasihan dengan kondisi kejiwaan anaknya, Imel membawa anaknya pergi ke rumah orangtuanya di luar kota, sejak bulan puasa lalu. “Tapi aku nggak berani cerita sama orangtua. Mereka mengira perkawinanku baik-baik saja.” Belakangan, suaminya mendesak Imel untuk pulang ke Jakarta. Suami sudah meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi lagi kekasarannya. Imel belum mengambil keputusan.
Kalau Imel minta saran ke saya, haruskah ia kembali ke suami? Saya hanya bisa memberi saran, “Kamu berhak untuk bahagia!”
Baca juga:
Karantina Berbulan-bulan dengan Pasangan Mengajarkan Saya Bahwa Pernikahan Itu …
Kisah 3 Korban KDRT, Bercerai atau Bertahan?
Jadi Korban KDRT Finansial, Harus Bagaimana?