banner-detik
SEX & RELATIONSHIP

Kisah 3 Korban KDRT, Bercerai atau Bertahan?

author

annisast21 Sep 2018

Kisah 3 Korban KDRT, Bercerai atau Bertahan?

Mendengar teman yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga atau korban KDRT, saran pertama saya pasti memintanya bercerai. Tapi kenyataannya tidak semudah itu.

korban kdrt

Bukan hanya istri yang harus jadi single mom, tetapi juga beban takut mengecewakan keluarga dan anak-anak. Bisakah hidup tanpa suami? Benarkah suami melakukan kekerasan karena tidak sayang?

Bercerai atau bertahan jadi pilihan yang sangat sulit bahkan ketika istri punya pekerjaan tetap. Simak kisah mereka.

AR, dokter umum, 26 tahun, ibu satu putri

Berpacaran satu tahun sebelum akhirnya menikah, AR tidak melihat tanda-tanda kekerasan pada diri calon suaminya itu. Mereka juga sudah kenal sejak SMA, 8 tahun sebelum menikah.

Namun ternyata sang suami sering bertindak kasar. Berawal dari tamparan dan bentakan yang terus berulang. Hampir setiap 2 minggu sekali mereka bertengkar dan selalu dengar kekerasan. AR pun memutuskan bercerai saat putrinya baru berusia 40 hari.

“Dia selalu minta maaf setiap habis KDRT dan merasa bersalah. Tapi selalu diulangi dengan mudahnya. Awalnya tidak ada yg tahu, karena mantan suami selalu doktrin istri itu dilarang buka aib suami ke siapapun seburuk apapun. Sampai suatu hari ortu saya tahu sendiri karena ketika itu kami sedang tinggal di rumah ortu,” paparnya.

Apa yang menguatkan untuk bercerai?

“Saya memutuskan untuk menggugat cerai dikarenakan saya melihat mansu (mantan suami) tidak ada perubahan pasca kelahiran anak kami. Ditambah saya tidak boleh bekerja padahal suami tidak menafkahi. Saya merasa berdasarkan pertimbangan matang lebih baik bercerai agar bisa bebas bekerja memenuhi kebutuhan anak saya. Meskipun perceraian pasti  menimbulkan kesedihan bagi anak saya,tapi itu jauh lebih baik daripada dia sering lihat ortunya bertengkar plus tidak dicukupi kebutuhan hidupnya,” pungkasnya.

RPL, ibu rumah tangga, 21 tahun, ibu satu anak

RPL setahun berpacaran dengan suami dan menikah pada September 2016 silam. Sejak pacaran, ia sudah menerima berbagai kekerasan fisik, bahkan di depan adik perempuannya yang baru berusia 10 tahun.

“Selepas kejadian saya dipukulin kakaknya, adiknya pun memeluk saya dan bilang ‘sabar ya kak, aku sayang sama kakak’, lalu mereka pergi pulang. Tidak ada luka yang serius cuman lebam dan biru biru. Saya dipukul, ditendang, saya lawan balik dan saya semakin dipukul dan ditendang. Dan kekerasan itu terus berulang, setelah menikah, dan saat hamil pun saya tetap mendapat tindak kekerasan. Pasca melahirkan saya pun tetap mendapat tindak kekerasan karena cuman saling salah paham,” jelasnya.

Diakui RPL, orangtua dan mertuanya juga tahu ia sering mendapat tindak kekerasan oleh suami. Namun mereka tidak berbuat apa-apa karena RPL nya sendiri memutuskan untuk bertahan. Sang suami pun selalu minta maaf dengan alasan khilaf dan terpancing emosi.

Kemudian kenapa tidak bercerai?

“Rasanya kalau lagi ada masalah dengan beliau saya ingin bercerai. Tapi perceraian nggak semudah itu juga. Saya juga anak broken home yang orangtuanya bercerai. Bisa saja saya bercerai tapi harus dengan banyak pertimbangan. Kenapa saya bertahan karena suami saya selalu minta maaf dan berjanji memperbaiki sikapnya. Beliau selalu bilang sayang dan cinta sama saya, nggak ada wanita lain selain saya. Beliau ingin menghabisi masa tua bersama saya dan anak anak kita. Makanya saya mencoba bertahan dan memaafkanya. Karena kita manusia biasa dan ga sempurna,” tutupnya.

DP, dosen, 28 tahun, ibu satu anak

Berbeda dengan ketiga cerita di atas, DP tidak didera kekerasan fisik namun psikis. Masa pacaran yang dilalui selama 1 tahun juga tidak menunjukkan tanda destruktif sama sekali. Apalagi sang suami adalah salah satu aktivis kesetaraan gender.

“Pertama kali melakukan kekerasan sejak tahu saya hamil, bentuk kekerasannya lebih pada kekerasan batin, seperti selama hamil dia jarang pulang ke rumah, dan tidak pernah melakukan hubungan suami istri seperti layaknya, dan terus berulang berturut-turut sampai dua tahun. Sampai sekarang kekerasan fisik tidak pernah terjadi, tapi lebih pada kekerasan batin yang membuat saya setiap malam hampir selalu menangis karena merasa tertekan,” jelas DP.

DP juga mengaku sering minta cerai namun berulang kali suami meminta maaf dan tidak pernah mau berpisah.

“Lebih pada tidak mau membuat kecewa orang tua dan anak, saya juga ingin berpisah tetapi suami tidak mau,” pungkasnya.

Share Article

author

annisast

Ibu satu anak, Xylo (6 tahun) yang hobi menulis sejak SD. Working full time to keep her sanity.


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan