Jangan Denial, Anak Juga Bisa Manipulatif dan Bohong

Parenting & Kids

Mommies Daily・20 Feb 2020

detail-thumb

Ditulis oleh: Ficky Yusrini

Anak katanya adalah sosok yang murni. Tapi bisakah si kecil manipulatif? Kenapa ia berbohong?

Di balik fisik bocah kecil yang menggemaskan, mereka tak seinosen itu. Jika orangtua tak mengenali tanda-tanda anak pernah berbohong, bisa jadi ia akan mudah menganggap enteng berbohong.

Masalah Mental Anak Remaja - Mommies Daily

Seorang teman pernah bercerita, anaknya (sebutlah Si A) yang kala itu duduk di kelas 1 SD, menghadapi perundungan dari teman sekelasnya hingga anaknya mengalami depresi. Si pelaku (sebutlah si B) mengintimidasi A terus menerus, bahkan jika ada teman sekelas lain yang mau dekat-dekat dengan A juga diintimidasi. Tidak ada yang berani melawan pelaku, sehingga A terkucil. Puncaknya, A jadi takut ke sekolah.

Melihat kondisi anaknya, teman saya prihatin. Ia pun melaporkan kasus ini ke guru. Tetapi, begitu kecewanya teman saya, karena pihak guru mengatakan, ia tak pernah melihat B mengintimidasi A. Di depan guru, B selalu baik. Tak putus asa, teman pun menghubungi mama dari B, dan menceritakan kejadian yang dialami anaknya.

Tapi apa yang terjadi? Mama Si B malah tidak terima anaknya dibilang pelaku perundungan. “Di rumah, B itu manis banget. Dia anak yang patuh dan apa-apa selalu cerita ke saya. Mana mungkin dia nakal?” begitu jawaban mamanya. Lalu, teman saya mengambil kesimpulan, “Kok, bisa ya, ada anak-anak yang manipulatif. Kepribadian di depan teman dan di depan ibunya lain.”

Cerita yang senada juga pernah saya dengar. G anak yang seumuran dengan anak saya, sekira 12 tahun-an. Suatu kali, anak saya pernah disemprot oleh mama G. “Oh, jadi kamu ya, yang sering bully anak saya?” kata mama G pada anak saya. Padahal, menurut anak saya, G ini yang suka nakal dan mengganggu teman-temannya.

Penyebab G sering dipukuli temannya adalah karena ia duluan yang memulai dan tidak ada kapok-kapoknya, sehingga teman-temannya yang tidak terima, melawan. Tetapi, di mata mamanya, G adalah anak malang yang sering jadi korban perundungan. Pulang ke rumah, G akan mengadu ke mamanya, tentang ‘kenakalan’ teman-temannya. Dan, celakanya, mamanya percaya mentah-mentah semua yang dikatakan G.

Berawal dari coba-coba

Sejak usia batita, anak sudah bisa bereksperimen dengan kebohongan. Coba amati, begitu anak bisa bicara dan mengkomunikasikan keinginannya, jika mereka menginginkan sesuatu, mereka bisa merengek dan menangis kencang sampai mereka mendapatkan apa yang mereka mau. Nangisnya sampai seolah-olah seperti anak paling menderita di dunia. Bukan karena mereka butuh, tapi sekadar mempermainkan perasaan kita. Wkwkwk.

“Aku mau mainan yang itu!”

“Aku mau susu cokelat!”

“Pokoknya harus!”

“Sekarang!”, dan sebagainya.

Ketika dia tahu orangtuanya bisa dipermainkan, dia akan mengulanginya lagi dan lagi.

Kebohongan juga bisa muncul dari fantasi dan imajinasi. Seperti kebohongan anak berusia tiga tahun tentang boneka pandanya yang memberitahukan kepadanya sebuah rahasia (yang ini sih, rasanya masih normal). Kebohongan yang perlu diwaspadai tentunya ketika itu berkaitan dengan perilaku.

Anak bisa melihat kekuatan dari ucapannya. Apakah dengan kebohongan yang ia ucapkan itu bisa membuatnya terhindar dari hukuman atau mendapatkan apa yang ia inginkan. Anak lima tahun biasanya akan berbohong ketika teman yang direbut mainannya menangis. “Siapa tadi yang rebut mainannya Sofi?” “Tidak, bukan aku, kok!”

Perlunya cek fakta

Ketika berbohong anak tidak mendapatkan konsekuensi, ia akan menganggap bahwa kebohongan adalah hal yang sangat mudah untuk dilakukan. Ekstremnya, ia akan menganggap kebohongan sebagai salah satu cara untuk ‘bertahan hidup’ dalam pergaulan yang lebih luas.

Kembali ke cerita tentang G. Kebiasaan berbohong G rasanya sudah pada level yang parah. Setiap kali G mengganggu temannya, dan temannya ini mengadu ke guru, reaksi G akan langsung berbohong. Ia akan menampakkan wajah tanpa dosa dan mengelak dari semua tuduhan. Sampai kemudian ada lebih dari satu saksi, barulah G terpojok. Tapi, hal itu tidak membuatnya menyesali perbuatannya. Seolah ia tahu bahwa ia selalu mendapat back up dari orangtuanya.

Bagaimana cara membantu anak menghindari berbohong sejak dini?

Saya juga sering mendapati anak saya berbohong, biasanya saat ditanya tentang tugas-tugas rumah atau sekolah yang harus ia kerjakan. Saya pun menyiasatinya dengan tindakan preventif, saat mengajukan pertanyaan, saya akan mengecek terlebih dahulu. Jadi, saya bisa tahu apakah jawabannya berbohong atau jujur.

Untuk kasus-kasus tertentu, saya akan melakukan investigasi kecil-kecilan dan mendengarkan versi lain. Misalnya, bertanya ke temannya, gurunya, atau orang lain yang berkaitan, sebelum mengambil tindakan. Jangan heran, untuk satu peristiwa, tiap anak bisa saja beda-beda versinya.

Hukuman bukanlah solusi, apalagi membentak dan melabeli anak sebagai pembohong. Sebagai orangtua, kita perlu membantu anak untuk menghindarkan ia dari berkata bohong dengan cara menanamkan kebiasaan yang positif.

Beri apresiasi pada kejujuran. Walaupun itu pahit. Misalnya, anak memberi tahu kalau ia gagal dalam ulangan. Saat kita tahu anak sedang berkata jujur, lontarkan pujian atas keberaniannya.

Baca:

Tak Bisa Kupas Salak atau Nyalakan Kompor? Ini Kesalahan Ortu yang Membuat Anak Sulit Mandiri

Kenapa Saya Tetap Butuh Berteman dengan Mereka yang Tidak Punya Anak

Surat untuk Anak Remajaku, Dari Ibu yang Mencemaskanmu Selalu