Nasib ibu bekerja yang kadang nggak bisa nolak saat ‘dipaksa’ hadir di meeting maha penting oleh atasan padahal anak lagi sakit.
Nah, siapa yang pernah ngalamin seperti apa yang saya alami ini? Di saat anak tergolek sakit tapi jadwal meeting yang luar biasa penting sudah diinformasikan terlebih dulu, dan kita wajib hukumnya untuk menongolkan batang hidung di tengah-tengah meeting tersebut. Rasanya? Galau luar biasa ngalah-ngalahin rasa galau waktu putus sama pacar favorit zaman kuliah dulu *ihiiiy*.
Baca juga:
Working Mom Survival Guide in The Morning
Ya gimana nggak galau….
Yang satu anak tercinta, belahan jiwa.
Yang satu, sumber mata pencaharian yang bikin kita bisa menyambung hidup hari demi hari, beli kopi susu kekinian, ngajak anak main ke tempat-tempat permainan hitz, bayar imunisasi anak yang harganya suka bikin alergi kita kumat, hingga membayar cicilan hutang yang rasa-rasanya nggak kelar-kelar.
Nggak nemenin anak di saat sakit, kok ya berasa jadi ibu paling jahat sejagad raya. Ibu yang nggak bertanggung jawab. Ibu yang nggak mikirin anak. Ibu yang sudah pasti bakal dikutuk jadi batu sama eyang psikolog anak yang hobinya menakut-nakuti orangtua (jangan sebut namanya pleaseeee). Dan sederet gelar ibu buruk lainnya akan menempel di hati dan otak.
Tapi, kalau nggak datang di meeting, siap-siap juga dicap karyawan yang nggak bertanggung jawab, karyawan yang nggak profesional, karyawan yang mau digaji tapi nggak mau melakukan kewajibannya, belum ditambah sama nyinyiran rekan-rekan kantor yang nggak paham rasanya berjalan di sepatu yang kita kenakan. Atau harus nebal-nebalin telinga mendengar kalimat “Emang dia aja yang jadi ibu. Kita juga ibu kali, tapi kita bisa tuh tetap datang meeting.!” Nah, mau jengkang nggak kalau dengar omongan begitu dari sesama rekan kerja yang notebene juga seorang ibu.
Baca juga:
Hai Para Perempuan Mari Kita Saling Bantu di Dunia Kerja
Iya, susah ya jadi ibu bekerja itu.
Karena nggak selamanya kita bisa memiliki kondisi super ideal. Yang bisa terus-terusan imbang antara waktu bekerja dan mengurus anak. Maunya sih, kerja nggak ada lembur, semua kerjaan bisa selesai di jam-jam kantor, ada yang nemenin anak saat kita bekerja, dan yang nemenin si anak bukan ART ‘karbitan’ yang kita latih paksa untuk jaga anak, tapi baby sitter profesional yang baik, penyayang dan bergaji di bawah 1,5 juta, ahahahaha. Ditambah nggak ada cerita anak sakit di saat deadline kantor menggila atau di saat kita harus presentasi di hadapan para CEO atau founder.
Baca juga:
5 Hal yang Harus Dilepaskan Oleh Working Mom
Lah, terus kudu piye?
Nggak gimana-gimana selain ikutin aja kata hati kita. Ikutin aja nurani kita menyuruh kita melakukan apa. Karena di antara semua orang yang menekan kita, nyinyirin kita, ngomongin nggak enak tentang kita tapi sama sekali nggak bantu apa-apa, hanya kita yang paling paham situasi yang kita alami saat itu.
Antara anak sakit dan meeting maha penting di kantor?
Sekali lagi, ikutin aja kata hati kita. Kita yang paling mengerti kondisi si anak dan kita juga yang paham situasi kantor serta load kerjaan kita. Apakah memungkinkan meninggalkan anak untuk beberapa waktu dan mempercayakannya ke tangan support system? Apakah kita harus stay dan menjaga anak? Apakah kita bisa mendelagasikan pekerjaan dan materi presentasi ke rekan kerja?
Baca juga:
Pengakuan Ibu Bekerja: Antara Apa yang Orang Lihat vs Dengan Apa yang Saya Rasakan
Nggak pernah ada aturan baku ketika bicara tentang skala prioritas seorang ibu bekerja.
Dalam dunia ibu bekerja, kita nggak bisa menerapkan aturan ilmu pasti yang semua harus selalu memakai rumus yang sama.
Dunia ibu bekerja adalah dunia di mana kita dituntut bersikap fleksibel, bagaimana kita mengasah kemampuan kita menjadi pemain akrobat, dunia ketika kita memiliki aturan yang berbeda dengan ibu lainnya, dunia yang nggak selalu mudah untuk kita jalani namun kita dengan sadar memilih untuk menjalaninya dan kita bahagia dengan pilihan kita!
Bukan begitu para ibu bekerja?
Baca juga: