Oleh : Maureen Hitipeuw
Bercerai kemudian menjadi single mother bukan berarti anak nggak bisa mendapatkan kasih sayang secara utuh dari orangtuanya, asalkan Co-parenting bisa dijalankan tanpa baper!
Perceraian dapat menimbulkan efek negatif secara emosional dan psikologikal untuk orang dewasa dan anak-anak. Perasaan yang timbul akibat perceraian pada umumnya melingkupi perasaan amarah dan merasa dikhianati apabila perceraian melibatkan perselingkuhan. Dengan beban emosi negatif ini rasanya pasti susah sekali untuk berkomunikasi dengan mantan pasangan secara positif.
Tapi ternyata menurut hasil riset ada beberapa manfaat penting jika orang tua yang telah bercerai dapat menjalankan co-parenting dengan baik; misalnya anak-anak lebih cepat beradaptasi dengan status keluarga yang berubah dan masing-masing orang tua tetap dapat memiliki hubungan dekat dengan anak-anaknya.
Pengalaman Pribadi
“Untuk apa juga berbaik-baik dengan mantan?”
Pertanyaan seperti ini sudah sering saya dengar selama hampir 7 tahun berstatus sebagai ibu tunggal.
Jawaban paling sederhana hanya dua kata kok. “Demi anak.”
Berbaik-baik dengan mantan ini saya artikan sebagai co-parenting yang kalau menurut Wikipedia berarti: “The term 'coparent' or "co-parent" is used to describe a situation where two parents work together to raise a child even though they are divorced, separated or no longer living together.” (Co-parent digunakan untuk mengambarkan kondisi dua orang tua yang bekerjasama mendidik anak mereka walaupun mereka telah bercerai, berpisah atau tidak tinggal bersama.”)
Hasil putusan cerai saya dan Pak Mantan soal hak asuh memang berstatus ‘shared custody’ (hak asuh bersama) dengan sama sebagai primary caretaker. Jadi dari awal kami memang sepakat akan menjadi partner dalam mendidik dan membesarkan si kecil.
Awalnya proses co-parenting ini juga tidak mudah kok. Perlu banyak belajar dan berproses untuk bisa benar-benar menjalankan co-parenting dengan baik tanpa baper. Di tahun pertama dan tahun kedua saya masih suka emosian, gondok dan kesel kalau berurusan dengan Pak Mantan. Banyak hal-hal kecil yang membuat saya murka. Mulai dari terlambat menjemput sampai absen untuk kegiatan sekolah anak.
Sampai suatu hari ditengah kegondokan saya sama Pak Mantan untuk satu hal yang sekarang saya juga sudah lupa apa pasalnya, ada sesorang yang bilang begini ke saya waktu saya curhat: “It’s not about you or him! It’s about your son.”
Wah, rasanya seperti ketampar saat mereka mendengarnya. Tapi memang bener banget, sih, sejak itu kalimat tersebut saya jadikan 'mantra' dalam urusan co-parenting. Karena biar bagaimana pun dibalik semua rusuhnya berhubungan dengan mantan suami adalah demi kepentingan anak kan?
Dengan mengubah cara pandang tersebut saya bisa menyingkirkan ego dan memisahkan antara kekesalan karena ternyata saya masih belum ‘sembuh’ sepenuhnya pasca perceraian dan menempatkan kepentingan anak di atas ke-aku-an itu. Setelah bisa benar-benar tanpa baper justru membawa hasil positif. Dengan tidak memasukkan semuanya ke hati justru langkah saya rasanya lebih ringan. Not taking everything personaly, sets me free!
Saat saya sadar ternyata masih ada hal-hal yang perlu saya selesaikan secara internal dan fokus untuk healing, proses co-parenting pun jadi berjalan dengan lebih baik. Energi tidak lagi terkuras karena kesal dan meributkan hal-hal kecil. Saya bisa lebih santai dan menikmati weekend sendiri kalau anak saya menginap dengan ayahnya. Jadi punya kesempatan ‘me time’ kan?
Berikut ini beberapa manfaat dari co-parenting yang efektif bagi anak:
Anak Merasa Lebih Secure
Di saat dunia si kecil ‘terguncang’ karena kedua orang tua bercerai, dengan tetap menunjukkan bahwa orangtuanya sanggup bekerjasama demi kebahagiaan dan kesejahteraan anak, mereka akan merasa lebih secure juga nyaman. Anak tidak akan merasa harus memilih antara ayah dan ibu kalau orang tuanya bisa meyakinkan bahwa perceraian bukanlah kesalahan mereka. Melihat kedua orang tuanya bisa tetap saling menghormati satu sama lain juga akan membuat anak merasa lebih bahagia.
Memberikan Konsistensi Pada Anak
Ketika orang tua tetap sepakat dalam mendidik anak bersama dengan memiliki house rules dan prinsip disiplin yang sama, maka anak akan tetap merasa memiliki sesuatu yang konsisten dalam hidupnya. Mereka akan tau apa yang orang tua harapkan dari mereka. Dengan memiliki kesepakatan bersama, juga akan menghindari kemungkinan anak untuk bilang “Ibu selalu mengijinkan aku begini.” atau “Kata Ayah boleh kok!” Adanya keseragaman peraturan inilah yang memberikan konsistensi bagi anak-anak.
Mengajarkan Anak Soal Diplomasi
Konsep diplomasi mungkin tidak gampang untuk dijelaksan kepada anak-anak tapi co-parenting bisa menjadi alat untuk mendidik anak soal ini. Anak dapat melihat sendiri bagaimana conflict resolutions and problem solving bisa diterapkan dalam kehidupan. Dengan contoh nyata ini anak bisa menyaksikan bahwa bekerjasama walaupun pernah ada konflik diantara dua orang itu bukan hal yang mustahil.
Sekali lagi, co-parenting memang tidak mudah tapi bukan sebuah unicorn yang mustahil. Kuncinya: mengalahkan ego demi kepentingan anak-anak. Good luck!
Maureen Hitipeuw adalah ibu tunggal satu anak, blogger (www.scoopsofjoy.com) dan social media influencer, penggagas Single Moms Indonesia (www.singlemomsindonesia.com). Drink way too much coffee, pecinta jalan-jalan dan photography.