Kenali tahapan dan pengelolaan emosi sebagai ibu, agar dapat merespon kebutuhan si kecil dengan tepat.
Jadi ibu itu emosinya seperti “diobok-obok”! hahahaha, itu kesan pertama yang saya rasakan ketika sempat mencicipi baby blues syndrome, beberapa hari setelah melahirkan Jordy. Di tahun pertama sih, masih selow beneeerrr. Tapi lain cerita, ketika memasuki usia Jordy jalannya mulai lancar, bisa berkomunikasi dua arah dan udah punya mau. Baru deh tuh, segala macam bentuk emosi muncul. Tahapan emosi pada seorang ibu yang ternyata memang wajar untuk kita alami. Apa saja?
Tidak ada yang salah dengan marah, kata Yulia - Konten Manager KeluargaKita.com, namun pertanyaannya, respon atau tindakan seperti apa yang keluar pada saat kita marah kepada anak? Mbak Yulia, memberikan contoh kasus saat anak berantakin mainan. Kalau kita langsung marah besar, berarti kita sedang merespon kebutuhan marah kita, tapi tidak merespon kebutuhannya dia. Ya anak kan juga nggak butuh orangtua yang ngamuk sampai segitunya dong, karena hanya berantakin mainan? “Kalau anak berantakin mainan, yang dia butuhkan apa? Ya beresin mainan kan? Nah, kalau dia butuh beresin mainan, anak butuh orangtua yang tenang. Yang membantu dia berpikir, gimana sih caranya bisa beresin mainan dengan baik. Tapi kalau orangtua sudah marah duluan, itu artinya orangtua merespon terhadap kebutuhan dirinya sendiri. Jadi keterampilan, yang penting itu adalah memisahkan apa itu yang kita rasakan, lalu apa yang kita pikirkan tentang itu, dan apa yang akan kita lakukan,” jelas Yulia.
Rasa bersalah ini biasanya akan muncul di waktu-waktu anak minta dibelikan sesuatu, tapi belum saatnya dikabulkan. Misalnya Yulia memberikan contoh, anak minta dibelikan mainan, meski kita sudah tahu belum waktunya, tapi karena yang dominan adalah rasa bersalah kita (mungkin karena sibuk bekerja), ya jadinya mainan tadi jadi dibeli. Keadaan seperti ini, menurut Yulia kita sedang merespon emosi, bukan kebutuhan anak. “Kalau kita merespon, kebutuhan anak, ya nggak kita kasih, karena kebutuhan mereka adalah kebutuhan belajar, mengatur kapan dia boleh beli mainan, kapan nggak. Tapi kalau kita mendahulukan rasa bersalah kita, atau emosinya kita, mainan itu akan kita beli.”
Contoh bentuk emosi ini, kayaknya sering terjadi ya, di kota-kota besar. Perasaan insecure orangtua belum membelikan si kecil HP, padahal belum waktunya. Di sisi lain, semua anak sudah punya HP, dan jadi punya bisikan “Apa kata orang”, nanti dikira tidak mampu beli HP buat anak. Begitu kasus yang berikutnya Mbak Yulia berikan. Padahal menurut dia, urusan gadget ini, kan harus disesuaikan dengan kebutuhannya, ya kita sebagai orantua yang harus menahan diri sampai si kecil cukup usia untuk punya HP.
Situasi lainnya, ketika di kantor menyogok dengan bantuan barang atau makanan supaya si kecil anteng sebelum ikut ke kantor. Dengan harapan, kalau anak tidak anteng, nanti anggapan orang kita sebagai orangtua bukan ibu yang hebat. Padahal, sepengalaman saya bawa anak ke kantor, ya wajar aja mereka sesekali berlari sana-sini, asal kita sebagai orangtua tahu kapan waktu yang tepat membawa anak ke kantor, kan?
Hal ini terjadi ketika seorang ibu tidak bisa mengelola rasa sungkan-nya, atau kita suka menyebutnya “nggak enakan”. Misalnya nggak mau berkonflik dengan anak saat melakukan kesalahan saat belajar, karena sungkan sama anak. Hal ini sama saja mengorbankan kebutuhan belajar anak.
Yulia kembali mengingatkan, kunci suksesnya pengelolaan emosi pada masing-masing tahapan emosi tadi adalah “Pintar mengompatermenkan, kita ngerasa apa, hal ini terjadi karena apa ya, terus kita harus bagaimana? Pada saat kita ngomong, harus gimana, pada saat kita memutuskan untuk kebutuhan anak, kita harus merespon kebutuhan anak.” Dan hal ini juga berlaku untuk hubunan ke suami dan orangtua.
Tapi nih, mommies, bukan berarti kita melupakan dan tidak memenuhi kebutuhan kita. Dalam konteks sebuah hubungan, Mbak Yulia bilang “Sebelum orang lain bisa memenuhi kita, kita harus bisa memenuhi kebutuhan orang lain tersebut.” Misalnya begini, sering kan mommies mendengar kalimat ““Iih males banget gw baik sama dia, dia aja nggak pernah baik sama gw.” Tolong ya, mommies kita panjangkan sumbu sabar kita *berdoa yang kencang! :D. Karena kita terus-menerus memenuhi kebutuhannya dia dulu, lama-lama nanti dia akan meng-copy paste, lama-lama dia akan memenuhi kebutuhannya kita.
Mudah-mudahan praktiknya nggak sulit, ya mommies. *sambil ikat kepala :D
Baca juga: