Daripada ngeluh tiada akhir dengan kemacetan yang hampir setiap hari “akrab” sama warga kota-kota besar, lebih baik kita petik pelajaran berharga dari kemacetan. Eh, sebentar deh, emang ada?
Kemacetan bukan pemandangan asing lagi untuk saya pribadi yang lahir, dan besar di Jakarta. Meski kini saya tingal di bilangan Tangerang Selatan, untuk bekerja saya tetap harus rela bermacet-macetan menuju daerah Jakarta Selatan, tepatnya ke Pejaten setiap pagi. Yang saya nggak nahan sih sebetulnya, soal waktu yang sering kali terbuang percuma. Kalau soal padat, menahan sabar sama pengendara yang cuma tahu menghidupkan mesin tapi nggak punya etika berkendara, sih – udah biasa, hahaha.
FYI, saya lebih sering dibonceng suami pakai motor ke kantor. Nah, dari kondisi ini saya jadi melihat dengan jelas kejadian-kejadian selama perjalanan menuju kantor Female Daily Network. Hampir satu jam perjalanan, biasanya saya mengamati kejadian-kejadian si sekeliling saya. Dan terkumpulah, beberapa hikmah di balik macetnya Jakarta sebagai pelipur lara. Habisnya daripada stres, kan, Mommies? hihihihi.
Jalur saya dan suami diserobot orang, diklason bertubi-tubi ketika lampu lalu lintas sudah hijau, padahal di depan kami aja belum maju – jadiiii gimana motor suami saya bisa tancap gas? Mau belok tapi nggak dikasih-kasih jalan sama pengendara lain, dooooh itu baru sekelumit contoh betapa yang namanya stok sabar harus berlimpah untuk tetap bisa “waras” selama menghadapi “hutan rimba” lalu lintas Jakarta. Belajar sabar menurut saya sih, udah paling benar, bayangin aja kalau setiap hari kita menyerah pada keadaan dan ngomel-ngomel nggak jelas di jalanan? Yang ada tekanan darah bisa-bisa melonjak. Ya boleh sih sesekali menumpahkan kekesalan, biasanya saya nyanyi aja dari balik helm. Kalau emosi sudah di ubun-ubun, tarik napas, hembuskan lalu minum deh air putih.
Kan sudah tahu ni yaaa, hampir setiap hari bakalan ngadepin yang namanya macet. Nah, tarik mundur deh tu, jam berapa yang ideal untuk berangkat. Konsekuensinya, harus ada persiapan panjang sebelum ngantor. Apalagi kalau sudah masuk hari senin, hari yang diidentikan akan lebih macet (padahal sama ajaaaah! :p). Butuh strategi khusus sih memang untuk berjumpa si senin ini, bukannya apa-apa – kan sudah dua hari libur, jadi jangan sampai terlena malas-malasan. Minimal persiapkan kebutuhan ngantor, pada minggu siang – supaya nggak ada drama senin pagi, cari ini itu lagi pas berangkat.
Sudah nggak kehitung deh, Moms, saya menitikkan air mata di balik helm. Adaaaa aja, pemandangan yang membuat saya mengelus dada, sambil bergumam “Tuuuh, Tha! Ayooo harus lebih banyak bersyukur dan nggak boleh ngeluh sama hidup!.” Misalnya saya pernah lihat bapak yang sudah sangat renta, tapi masih semangat banget jualan buah-buahan. Atau pernah juga ketemu anak kecil di angkot yang ngamen walau sudah larut, dan baru-baru ini melihat ada satu keluarga yang hidupnya di gerobak dan menunggu belas kasihan orang lain untuk tetap bertahan hidup.
Mengingat saya lebih banyak menghabiskan waktu di motor, baik itu untuk berangkat dan pulang ngantor. Kayaknya udah seharusnya deh, saya dan Mommies yang memiliki kondisi serupa bisa lebih aware dengan kondisi kesehatan. Selain itu bayangkan aja nih, tubuh kita “digempur” dengan aneka macam polusi. Ya dari asap kendaraan bermotor, pembangunan fasilitas umum yang menghasilkan begitu banyak debu, asap rokok daaaaan lain-lain. Minimal peduli deh sama asupana makanan yang setiap hari kita kunyah, lalu imbangi dengan olahraga. Apalagi sekarang udah banyak banget, aplikasi olahaga yang bisa dimanfaatkan di tengah kesibukan harian, Mommies. So, nggak ada alasan lagi menghindar dengan alasan “Sibuk sih soalnya, kan nggak ada waktu buat olahraga.”
Saya jadi ingat kejadian sekitar tahun 2012, waktu itu saya lagi jalan di trotoar arah Sarinah untuk cari taksi. Tiba-tiba ada motor yang naik trotoar dan hampir saja menabrak saya, singkatnya saya berhadapan sama si motor nggak tahu aturan itu. Saya tetap mempertahankan hak saya sebagai pejalan kaki, dong. Pengendara motor itu yang wajib ngalah, kembali ke ruas jalan. Lain cerita kalau si pengendara motor ini bisa menghargai sesama pengguna jalan, kan semua bisa berjalan lebih lancar. Atau sesederhana, memberikan jalan pada kendaraan yang mau belok, atau mempersilakan terlebih dahulu pengendara lain mengambil jalur tertentu – supaya nggak terjadi penumpukan kendaraan. Poinnya, baik itu penggunana kendaraan bermotor atau pejalan kaki harus sama-sama tahu mana hak dan kewajibannya. Kan, kalau tertib dan lancar kita-kita juga yang nyaman, iya toh?