Di balik penampilannya yang serba ceriwis dan lucu, ternyata dalam menerapkan pola asuh pada ke dua puteranya, sikap Indy Barends bisa berubah total. Simak ceritanya, yuk!
"Saya ini tipe ibu yang sersan, ya. Serius tapi santai. Jadi di mana saya memang harus serius, ya, harus serius. Malah mungkin bisa dibilang militer," ujar Indy Barends ketika saya melontarkan pertanyaan tipe seperti apakah dirinya.
Kemarin saya memang punya kesempatan bertemu dan ngobrol dengan presenter kawakan ini. Mengingat perempuan kelahiran 15 Januari ini punya dua anak lelaki, tentu banyak pelajaran yang bisa saya petik darinya. Terus terang saja, ternyata mendidik anak laki-laki itu nggak mudah. Saya pun sering bertanya-tanya, 'kejutan' macam apa, sih, yang bakal saya hadapi ketika anak saya ini masuk dalam masa puber nanti dan bagaimana cara menghadapinya?
Nah, topik ini jugalah yang kemarin sempat saya tanyakan pada ibu dari Raphael Sarmanella (12 tahun) dan Manuel Tobias Sarmanella (6 tahun). Benar saja, obrolan yang sering kali diiringi oleh tawa ini memiliki banyak insight menarik yang patut dicontoh. Termasuk bagaimana dirinya bersama sang suami, Benjamin Sarmanella, menciptakan kehangatan di rumah. Berikut petikan obrolan saya kemarin bersama pemilik rambut cepak ini.
Hallo Mbak Indy, apa kabar. Lagi sibuk apa saja, sih, Mbak?
Kalau soal kesibukan sekarang ini nggak sibuk-sibuk banget, sih. Pengennya justru sibuk banget, tapi mugkin eranya kan sekarang sudah beda, ya. Kalau Senin sampai Jumat saya masih aktif siaran di Female Radio bersama Ben Kasyafani. Saat itulah saya diberi sajen olehnya karena kalau ketemu anak-anak muda seperti Ben, bawaan saya jadi segar dan bisa semangat di pagi hari. Setelah itu saya pun kembali ke dunia nyata dengan kesibukan jemput anak sekolah, kalau ada kesempatan untuk sharing ngajar di public speaking, ya saya ngajar. Karena saya memang nggak mau terikat dalam satu tempat, kalau freelance akan lebih fleksibel untuk bagi waktu. Lalu ngemsi, tapi paling dalam seminggu juga hanya beberapa kali. Punya dua anak itu PR-nya banyak banget. Jadi dua ganteng kecil saya ini kalau saya biarkan begitu saja hanya ditemani gadget dan TV di rumah, saya juga agak kurang nyaman. Semakin anak-anak besar, maka PR saya pun semakin banyak bagaimana bisa mengajarkan anak-anak secara benar.
Kekhawatiran terbesar sebagai orangtua?
Saya rasa buat orangtua yang punya anak seusia anak saya, 12 tahun, saya bilangnya bontang, bocah kentang, anak nanggung, kekhawatirannya itu sama saja dengan orangtua lain. Soal influence yang terlalu banyak yang dia terima dari dunia luar termasuk dari dunia maya. Bagaimana agar anak-anak ini bisa tetap 'melihat' dunia tanpa terpapar hal-hal buruk, di sinilah orangtua harus bisa memilah. Misalnya, kalau mengikuti keinginan saya, saya maunya telepon mereka hanya untuk menerima saja, tapi kan nggak mungkin. Secara sekarang aplikasi sudah banyak. Tugas saya deh untuk menyaring supaya anak ini nggak ‘kecemplung’ duluan melihat sesuatu yang seharusnya memang belum mereka ketahui.
*foto diambil dari Instagram Indy Barends
Bagaimana dengan pembatasan yang Mbak terapkan?
Kalau di sekolah memang kan ada saat di mana anak saya harus buka laptop untuk membantunya mengerjakan tugas. Kalau saya pembatasannya, ketika di rumah laptop ataupun handphone sudah bukan lagi jadi teman anak-anak. Harus dikumpulin di kamar. Jadi ketika anak-anak berada di rumah yang dicari adalah orangtua, dan saudaranya. Bukan cari kamar untuk menyendiri sibuk dengan gadgetnya. Saya selalu membiasakan anak-anak untuk punya kerinduan dengan rumah. Rumah bukan tempat mereka hanya bisa berteduh, dan tidur atau makan, tapi di rumah ada kehangatan yang nggak bisa didapatkan dari gadget. Dan saya selalu berusaha untuk menciptakan kehangatan ini. Mungkin anak-anak kalau lihat saya di rumah akan pusing karena saya berisik dan bawel, tapi suatu waktu pasti mereka akan bisa merindukan keberisikan mamanya ini, marah-marahnya mama.
Kunci Mbak Indy menciptakan kehangatan?
Dengan pelukan. Ketika anak-anak pulang saya selalu menyambut mereka dengan pelukan, bahkan ketika malam tanpa disadari mereka juga akan cari dan ndusel-nduselin saya minta dipeluk. Mungkin mereka juga kangen dengan bau mamanya ini, ya. Pelukan itu ibarat lem antara saya anak anak-anak. Kalau anak-anak lagi kesel, marah, atau merasakan hal apapun, saya nggak perlu banyak ngomong, tapi dengan pelukan mereka bisa jadi dekat dengan saya. Buat saya, sih, kata peluk ini di atas kata senyum karena ketika anak kesal dan dipeluk pasti bisa bikin senyum dan merasa lebih tenang. Walaupun mengawasi bukan berarti saya kemudian membuka history laptop dan gadget mereka, nggak sampai segitunya, sih. Saya justru mencari cara bagaimana anak-anak saya berusaha memberikan kenyamanan sehingga anak-anak pun rela meninggalkan gadgetnya dan lari ke saya.
Mengingat Rafa sudah ABG, kesulitan apa saja, sih, yang Mbak Indy rasakan?
Hadeeeeeuuh.... usia 12 tahun ini mungkin adalah usia di mana seorang anak hanya mau mendengarkan temannya, usia yang membuat mereka berpikir, ‘Mama itu ngomong apa, sih?’, usia di mana anak-anak merasa pintar dan tahu segala-galanya. Buat saya, nggak ada salahnya sih mereka berpikir sedemikian, tapi saya pun mengingatkan kalau nggak mungkin ada kamu di dunia ini kalau nggak ada Mama dan Papa. Jadi saat mereka merasa pintar tapi di luar rumah mereka bukan apa-apa. Maksudnya kalau kamu nggak punya rumah yang aman, damai dan menenangkan, kamu belum pintar.
Usia 12 tahun ini memang anak-anak sedang resek-reseknya, i’ve been there karena saya kan juga pernah berada dalam posisi mereka, tapi ya di sini saya jadi belajar kontrol emosi. Nggak perlu deh ikutan yoga, karena menghadapi anak 12 tahun balancing emosinya up and down. Lebih dari namaste, hahaha. Anak sekarang itu memang nggak bisa dikasih tahu dengan kata-kata yang terlalu panjang, harus irit ngomong. Nah, saya yang paling susah itu adalah ngorek cerita mereka sih. Akhirnya saya minta tolong biangnya alias Papanya untuk ngobrol. Mungkin kalau sesama lelaki kan akan lebih enak dan nyambung kalau cerita. Tapi kemudian harus bisa membuat anak-anak ini kembali dan selalu merindukan kehangatan di rumah.
Bagaimana dengan sex education yang Mbak terapkan?
Untungnya di sekolah Rafa itu cukup terbuka dengan pendidikan seks bahkan kalau nggak salah ketika Rafa kelas 5 sempat ada seminar sex education. Sekolah juga menyampaikan ke pihak orangtua murid mengenai apa yang disampaikan dalam seminar tersebut. Jadi orangtua punya gambaran hal apa saja, sih, yang sudah disampaikan pihak sekolah ke anak. Kalau di rumah tentu saya juga kembali mengajarkannya dengan bahasa rumah. Sehubungan, Rafa memang nggak banyak tanya, jadi kami yang memang harus lebih banyak aktif. Dari kecil, pendidikan seks juga dimulai dari mandi bersama. Pendidikan seks ini memang harus seimbang diberikan oleh orangtua dan pihak sekolah, sih, ya.
Ada ritual bersama keluarga nggak?
Makan harus bersama, Sabtu dan Minggu kalau memang nggak ada kegiatan sekolah ya harus kumpul bersama keluarga. Kalau sama bapaknya, mereka itu punya hari yang namanya boys day out, jadi anak-anak sama Papa juga punya waktu khusus untuk ngobrol. Suami itu kan partner, ya, jadi memang harus bisa bagi tugas juga.
Mbak Indy, tipe Ibu seperti apa, sih?
Saya ini sersan, ya. Serius tapi santai. Jadi di mana saya memang harus serius, ya, harus serius. Malah mungkin bisa dibilang militer juga karena saya kalau ngomong itu kenceng bener. Nggak tahu kenapa, punya anak yang usianya 12 tahun itu sepertinya mereka nggak punya kuping, hahaha. Bisa dibilang saya ini Ibu yang protektif. Saya nggak mau anak-anak saya ini “susah” dan merasa sedih. Makanya saya selalu berusaha melimpahi mereka dengan kasih sayang, menghujani anak-anak dengan pelukan. Karena buat saya pelukan itu suatu hal yang sangat mewah, karena nggak semua anak-anak bisa mendapatkan pelukan hangat dari orangtuanya. Kalau mereka tidur dan saya peluk mereka, ada rasa yang nggak bisa saya gambarkan dengan kata-kata. Yah, sepreman-premannya saya jadi Ibu, ketika saya sudah bisa memeluk anak-anak berapa menit saja, itu rasanya seperti dapat uang milyaran rupiah. Apalagi anak-anak zaman sekarang kan susah untuk dipeluk, ya.
Menurut Mbak Indy, orangtua yang sukses itu orangtua yang seperti apa, sih, Mbak?
Buat saya itu, sampai saya menutup mata saya ini mungkin belum jadi orangtua yang sukses buat anak-anak. Karena ketika saya merasa sudah sukses membesarkan anak-anak, maka saya akan berhenti untuk belajar mendidik anak-anak. Jadi, kalau nanti ke depannya saya sudah bisa melihat anak-anak saya tumbuh besar dan jadi orang seperti yang mereka mau, sesuai dengan jalur yang semua orangtua idamkan, tapi saya tetap merasa belum sukses. Sampai kapan pun, ketika saya sudah tua pakai tongkat pun, dan anak-anak tetap menanyakan pendapat saya maka tandanya saya belum berhenti untuk terus belajar menjadi role model buat anak-anak. Setiap hari saya terus belajar jadi orangtua yang baik buat anak-anak.
Benar kan apa yang saya bilang kalau obrolan kami ini banyak memberikan pandangan yang patut kita aplikasikan dalam pola asuh ke anak-anak. Sebenarnya, kemarin saya pun sempat bertanya mengenai suka duka Indy Barends menjadi working mom, termasuk cerita mengenai bisnis restoran Torino yang ia bangun bersama suaminya. Nantikan obrolan saya ini dalam bentuk video, yah!