Dibuat oleh: Sheika Rauf
Membahas soal Asisten Rumah Tangga / ART ini memang nggak pernah ada habisnya. Drama ART, begitu banyak teman-teman saya menyebutnya. Sekarang banyak majikan (termasuk juga saya), yang merasa ART zaman sekarang itu belagu, nggak niat kerja dan lain sebagainya. Coba sekarang kita lihat dari kacamata ART. Katanya, nih, put yourself in someone’s shoes.
*Gambar dari sini
Saya jadi teringat video yang sempat heboh di social media soal kampanye libur ART di Singapura. Masih ingat ? Video itu memperlihatkan bagaimana ART lebih paham mengenai anak majikan dibanding majikannya itu sendiri yang notabene ibu si anak. Menurut video yang berjudul “Mums and Maids”, ART di Singapura bekerja hampir 24 jam selama tujuh hari tanpa libur.
Sayangnya, fokus kampanye video ini jadi sedikit bergeser. Sebenarnya fokusnya adalah pemberian hari libur untuk ART. Sementara kalau kita melihat videonya, banyak ibu-ibu netizen yang lantas lebih fokus pada anak yang lebih dekat dengan ART atau seperti menyalahkan ibu-ibu bekerja atau ibu-ibu bekerja yang jadi merasa bersalah karena meninggalkan anak terlalu lama bersama ART. Fokus korbannya ada pada anak dan bukan ART.
Belajar dari video ini, sekarang mari kita fokus pada masalah drama ART. Coba tempatkan posisi kita seandainya kita menjadi ART. Bekerja di rumah orang, hanya mendapat ‘sekotak’ ruang privat dengan kamar mandi mungil, sedikit ruang kebebasan, jam kerja panjang, harus siap 24 jam membantu majikannya, dengan gaji yang kadang membuat majikannya pun mengeluh karena gaji ART zaman sekarang terlalu tinggi. Belum lagi kalau melakukan kesalahan, dimarahi tapi tidak berani protes.
Kalau kita dimarahi atasan atau muak dengan pekerjaan, hati bisa sakit, tapi kita bisa melarikan diri dengan bergosip bersama teman-teman, menghibur diri nonton film, makan di restoran dan sebagainya. Minimal, setelah jam kerja usai, ada kehidupan lain, yaitu rumah dan keluarga, tanpa harus melihat muka atasan. Kalau ART ? Kesal dengan majikan atau pekerjaan, apa yang bisa dia lakukan selain menunggu momen pulang kampung atau pindah ke tempat lain dengan harapan yang lebih baik?
Mungkin sudah saatnya kita menjadikan ART lebih profesional atau setidaknya melatihnya untuk menjadi profesional. Hubungannya bukan majikan dan ‘pembantu’, tapi atasan dan bawahan. Terlalu canggih kedengarannya? Yah, mau gimana lagi, kita pun sekarang hidup di zaman serba canggih, bukan lagi zaman feodal, apalagi zaman perbudakan.
Bagaimana cara kita membuat ART menjadi lebih profesional? Ada 6 cara yang bisa kita lakukan
*Gambar dari sini
Kalau segala fasilitas seperti itu sudah diberikan dan perlakuan kita juga sudah cukup ‘manis’, tapi perilaku ART tetap tidak sesuai dengan nilai yang kita terapkan, mungkin sudah saatnya mencari ART lain yang bisa diajak bekerja secara profesional. Bagaimana menurut mommies?