Asisten Rumah Tangga Juga Manusia

Domestic

fiaindriokusumo・20 May 2015

detail-thumb

Dibuat oleh: Sheika Rauf

Membahas soal Asisten Rumah Tangga / ART ini memang nggak pernah ada habisnya. Drama ART, begitu banyak teman-teman saya menyebutnya. Sekarang banyak majikan (termasuk juga saya), yang merasa ART zaman sekarang itu belagu, nggak niat kerja dan lain sebagainya. Coba sekarang kita lihat dari kacamata ART. Katanya, nih, put yourself in someone’s shoes.

maid

*Gambar dari sini

Saya jadi teringat video yang sempat heboh di social media soal kampanye libur ART di Singapura. Masih ingat ? Video itu memperlihatkan bagaimana ART lebih  paham mengenai anak majikan dibanding majikannya itu sendiri yang notabene ibu si anak. Menurut video yang berjudul “Mums and Maids”, ART di Singapura bekerja hampir 24 jam selama tujuh hari tanpa libur.

Sayangnya, fokus kampanye video ini jadi sedikit bergeser. Sebenarnya fokusnya adalah pemberian hari libur untuk ART. Sementara kalau kita melihat videonya, banyak ibu-ibu netizen yang lantas lebih fokus pada anak yang lebih dekat dengan ART atau seperti menyalahkan ibu-ibu bekerja atau ibu-ibu bekerja yang jadi merasa bersalah karena meninggalkan anak terlalu lama bersama ART. Fokus korbannya ada pada anak dan bukan ART.

Belajar dari video ini, sekarang mari kita fokus pada masalah drama ART. Coba tempatkan posisi kita seandainya kita menjadi ART. Bekerja di rumah orang, hanya mendapat ‘sekotak’ ruang privat dengan kamar mandi mungil, sedikit ruang kebebasan, jam kerja panjang, harus siap 24 jam membantu majikannya, dengan gaji yang kadang membuat majikannya pun mengeluh karena gaji ART zaman sekarang terlalu tinggi. Belum lagi kalau melakukan kesalahan, dimarahi tapi tidak berani protes.

Kalau kita dimarahi atasan atau muak dengan pekerjaan, hati bisa sakit, tapi kita bisa melarikan diri dengan bergosip bersama teman-teman, menghibur diri nonton film, makan di restoran dan sebagainya. Minimal, setelah jam  kerja usai, ada kehidupan lain, yaitu rumah dan keluarga, tanpa harus melihat muka atasan. Kalau ART ? Kesal dengan majikan atau pekerjaan, apa yang bisa dia lakukan selain menunggu momen pulang kampung atau pindah ke tempat lain dengan harapan yang lebih baik?

Mungkin sudah saatnya kita menjadikan ART lebih profesional atau setidaknya melatihnya untuk menjadi profesional. Hubungannya bukan majikan dan ‘pembantu’, tapi atasan dan bawahan. Terlalu canggih kedengarannya? Yah, mau gimana lagi, kita pun sekarang hidup di zaman serba canggih, bukan lagi zaman feodal, apalagi zaman perbudakan.

Bagaimana cara kita membuat ART menjadi lebih profesional? Ada 6 cara yang bisa kita lakukan

BPJS

 *Gambar dari sini

  • Sebutkan jam kerja dan jenis pekerjaan yang jelas dalam surat perjanjian, jam berapa dia harus mulai bekerja, jam berapa selesai, jam istirahat dan pekerjaan apa saja yang harus selesai selama masa itu. Di luar jam kerja ini, berarti terhitung lembur dan kita perlu memberikan uang lembur.
  • Wawancara mendalam dan buat perjanjian kerja dengan ART pada awal masuk. Kalau kita mengambil ART dari yayasan penyalur, kita akan diberikan surat perjanjian dari yayasan tapi bukan surat perjanjian kerja. Bacakan surat perjanjian itu di depan ART, supaya dia juga tahu. Sebaliknya minta yayasan penyalur menyebutkan perjanjian apa saja yang dibuat bersama ART. Selebihnya, kita bisa membuat surat perjanjian kerja sendiri dengan segala ketentuan dan sanksi bila kedua pihak melanggar. Tentu ada baiknya, diketahui juga dari yayasan. Surat perjanjian kerja seperti ini memang tidak kuat secara hukum, tapi setidaknya kedua belah pihak tahu dari awal apa hak dan kewajiban masing-masing. Ini juga melatih ART untuk lebih profesional.    
  • Tunjangan kesehatan. Sekarang kita lebih terbantu dengan adanya BPJS ataupun Kartu Indonesia Sehat. Jangan lupa untuk turut mendaftarkan ART kita dan membayarkan preminya.
  • Buat evaluasi penilaian kerja secara berkala, misalnya enam bulan sekali atau maksimal satu tahun sekali. Kalau dia melakukan semua job description dengan baik, patut diberi penghargaan misalnya insentif, tambahan libur satu hari sampai kenaikan gaji. Sebaliknya, kalau dia melakukan pekerjaan dengan asal-asalan, beri peringatan dengan, misalnya, katakan bahwa dia bisa diberhentikan kapan saja. Yang terakhir ini memang susah, tapi untuk lebih profesional, kita juga harus bisa lebih tegas.
  • Hari libur dan uang hiburan. Seperti kita, ART juga butuh liburan, refreshing dan bebas dari pekerjaannya. Satu hari seminggu sangat ideal. Kita bisa mengizinkannya ke rumah sanak saudara atau melakukan sesuatu yang ia suka. Kalau dia suka menonton film, mungkin pada hari liburnya bisa meminjamkan DVD player untuknya dan membiarkan dia menonton bebas seharian penuh, atau mengajaknya bersama nonton bioskop. Kenapa tidak ? Hari libur untuk menghibur diri biasanya juga butuh uang. Uang hiburan ini juga bisa diberikan sebagai suatu fasilitas atau insentif dia untuk bekerja lebih baik dan betah menjadi bawahan kita.
  • Beri dia pelatihan keterampilan untuk menambah keterampilannya, misalnya kursus menjahit atau memasak. Kalau tidak diikutkan dalam institusi, Anda bisa melatihnya sendiri dengan menunjukkan cara dan resep masakan dari internet dan tugaskan ia untuk belajar dari situ.
  • Kalau segala fasilitas seperti itu sudah diberikan dan perlakuan kita juga sudah cukup ‘manis’, tapi perilaku ART tetap tidak sesuai dengan nilai yang kita terapkan, mungkin sudah saatnya mencari ART lain yang bisa diajak bekerja secara profesional. Bagaimana menurut mommies?