Saya yakin, pasangan suami istri yang tinggal terpisah tentu nggak akan mudah. Lah wong, yang tinggal serumah saja konfliknya sudah cukup bejibun, bagaimana yang LDR? Wah nggak sanggup, deh, ngebayanginnya.
Memang, sih, hidup di zaman era teknologi sudah sangat canggih lebih memudahkan kita berkomunikasi kapan pun, tapi buat saya kehadiran suami di samping kita sangat berarti. Rupanya Intan, salah satu sahabat saya memiliki pemikiran yang sama. Ketika suaminya mendapatkan kesempatan bekerja di luar negeri dengan penawaran gaji yang lebih besar, sahabat saya justru meminta suaminya untuk stay di Jakarta. Keputusan sahabat ini memang bukan tanpa alasan. Salah satu faktor yang paling memberatkan tentu saja masalah anak.
Ketika pasangan suami istri akan memutuskan untuk LDR, persoalan anak memang harus jadi perhatian yang paling besar. Biar gimana anak akan tumbuh, berkembang, belajar menjadi orang, antara lain dengan meniru dari orangjtuanya. Mereka perlu pengisian peran yang lengkap dari ayah-ibunya. Oleh sebab itulah sebelum memutuskan tinggal terpisah, perhitungkan dulu secara cermat. Mungkin secara materi lebih menguntungkan . Tapi perlu dipikir pula, benarkah hal itu sama menguntungkannya dalam upaya membentuk keluarga harmonis? Kalau lebih banyak ruginya, apalagi jika itu menyangkut anak-anak, lebih baik nggak.
Beruntung dalam kasus sahabat saya ini, suami sangat sadar bahwa beban sahabat saya tentu akan lebih berat karena harus mengurus kedua anaknya sendirian. Soalnya, bisa saja, kan, ketika kita sedang melakukan LDR, lalu ada masalah dengan anak, lantas suami menuding kita nggak becus mengurus anak? Hal seperti ini tentu saja bisa jadi sumber konflik. Memang, konflik bisa diminimalisir jika komunikasi antara suami istri tetap terjaga dengan baik
Setelah ngobrol-ngobrol dengan sahabat saya ini, ternyata masih ada beberapa faktor yang harus diperhatikan. memutuskan LDR. Faktor sosial, misalnya. Meskipun nggak bisa dipukul rata, pada kenyataannya masyarakat kita ada yang belum terbisa dengan kondisi melihat perempuan yang harus menjalankan LDR dengan suaminya. Misalnya begini, ketika kita harus pergi sendirian dalam kesempatan sosial, bukan tidak mungkin kalau kita bertemu orang nyinyir yang bisa ngomong miring?”. Belum lagi ada yang usil bertanya, “Kenapa, sih, tinggal terpisah?”. Nah, kalau tak kuat menghadapi semua itu, malah jadi kacau, kan? Paling nggak ketika kita harus harus menjalankan LDR, mental harus kuat lebih dahulu.
Kemudian, masalah kehidupan seksual. Siapa yang setuju kalau kehidupan seksual merupakan salah satu aspek penting dalam perkawinan? Bahkan banyak yang bilang, tanpa kehidupan seksual maka perkawinan jadi nggak utuh. Sementara kalau LDR, gimana dong? Apakah lewat phone sex saja, cukup? Setelah menikah hampir 6 tahun, saya menyadari kalau kehidupaan seksual suami istri merupakan suatu bentuk komunikasi yang paling dalam dan indah. Keindahan kehidupan seksual suami istri terutama karena berlangsung dalam keterlibatan perasaan yang dalam sehingga dapat memberikan kepuasan seksual yang total. Tetapi keadaan ini tentu saja dapat dicapai kalau kehidupan seksual berlangsung harmonis. Kalau tidak, maka dapat timbul masalah yang dapat mengganggu hidup perkawinan, terutama dalam perkawinan jarak jauh.
Jangan lupa untuk melakukan review, evaluasi, dan revisi atas komitmen yang pernah dibuat secara berkala. Sehingga, bila dalam perjalanannya kita bisa memutuskan prioritas dalam rumah tangga. Toh, dalam hal ini saya nggak bilang kalau perkawinan pasangan suami istri yang LDR-an tidak akan harmonis. Saya malah salut dengan Mommies yang sanggup melakukannya, seperti Mommies yang pernah dilalui Dona Kamal dan diceritakan di sini.