Saat membaca artikel ‘Selingkuh Teks di era SosMed’ dan bagaimana cara mengatasinya, saya jadi teringat obrolan dengan Zoya Amirin beberapa waktu lalu.
Kebetulan waktu itu saya memang ingin mewawancarainya untuk salah satu majalah pria dewasa dengan tema seputar selingkuh hati atau selingkuh fisik, tema yang saya pilih karena terinspirasi cerita salah satu teman dekat.
Kalau Bunga dan Kembang, jadi pihak yang teraniaya karena pasangannya, selingkuh teks di sosial media ini justru dilakukan oleh teman saya sendiri. Saat mendengar ceritanya, saya pun langsung bertanya, apa yang membuat dirinya melakukan perselingkuhan tersebut, meskipun hanya sebatas teks saja. Dan dengan entengnya, dia menjawab, “Hanya iseng."
What? Selingkuh, kok, iseng? Duh!
Padahal, selingkuh, kan, tetap selingkuh. Yang berarti sudah melanggar komitmen dengan pasangan.
Zoya Amirin, satu-satunya seksolog wanita yang berlatar belakang pendidikan psikologi ini juga mengatakan, bahwa apa pun alasannya, dengan siapa seseorang berselingkuh, dan lewat media mana pun, selingkuh adalah selingkuh. Sebuah bentuk pelanggaran besar atas komitmen pasangan.
“Apa pun bentuknya, selingkuh tetap selingkuh, yang artinya sudah menodai kepercayaan pasangannya sendiri. Karena kesalahan yang lebih besar dari selingkuh itu karena salah satu pihak, atau keduanya telah melanggar komitmen.Baik bentuknya selingkuh emosi ataupun selingkuh fisik. Padahal dalam ikatan rumah tangga, sebuah kerpercayaan dan komitmen haruslah dijaga satu sama lain,” paparnya.
Bahkan katanya, terlalu fokus dengan handphone atau barang gadget lainnya, tanpa mengindahkan pasangannya, hal ini sudah masuk dalam kategori selingkuh.
“Coba, deh, bayangkan, jika pasangan jauh lebih asik dengan gadget-nya ketimbang berbincang atau melakukan aktivitas bersama. Pasti rasanya nyebelin, kan? Dan itu sebenarnya sudah termasuk selingkuh emosional, lho. Karena tanpa sadar, kita atau pasangan justru lebih terikat dengan device."
Jadi, mau selingkuh hati ataupun selingkuh fisik, memiliki dampak yang sama. Bisa menghancurkan komitmen dalam pernikahan dan berujung dengan perpisahan.
Untung saja, untuk kasus teman saya ini, sebelum sang suami memergoki apa yang telah dilakukannya, ia memilih untuk tidak melanjutkan perselingkuhan isengnya di sosial media. Rupanya, teman masih cukup sadar bahwa keluarga merupakan prioritas utamanya dalam hidup.
Memang, sih, kemajuan teknologi seperti sekarang ini sering membuat orang lupa diri. Hal yang seharusnya menjadi prioritas utama, justru sering kali terbengkalai bahkan terlupakan. Tanpa disadari gadget tersayang pun telah menggantikan posisi orang yang sangat kita sayangi, suami atau anak.
Saya sendiri, entah sudah berapa juta kali, sering terlena memperhatikan timeline Twitter, atau notification yang ada di BlackBerry. Panggilan dan ajakan Bumi untuk ngobrol, atau main, sering kali tertunda gara-gara saya sedang asyik sendiri.
Bisa jadi, saya sudah ‘diperbudak’ oleh seperangkat gadget ini. Padahal, jangankan Bumi, saya pun nggak pasti merasa kecewa kalau dinomorduakan, meskipun oleh barang elektronik.
Jika sebelumnya saya terbiasa langsung menjamah BlackBerry saat baru bangun tidur, kebiasaan ini harus diganti dengan memeluk pasangan dan si kecil, Bumi. Kemudian, akan dilanjutkan dengan sebuah percakapan kecil. Karena saya nggak mau kalau sampai melakukan selingkuh emosi dengan gadget. Karena seperti apa yang dikatakan Zoya Amirin, apa pun bentuknya, selingkuh tetap selingkuh. Makanya saya dan suami sepakat, gadget tidak dibawa ke tempat tidur, supaya kami bisa bebas ber-pillow talk demi menjaga kualitas komunikasi. Bagaimana dengan Mommies?