Dari sejak zaman pacaran dulu, saya dan suami sudah punya panutan dalam hal rumah tangga. Panutan kami adalah kakak suami yang nomor tiga. Kakak ipar (laki-laki) ini termasuk telat menikah, baru melepas masa lajang saat usianya akhir 30-an. Menemukan tambatan hati yang hanya terpaut beberapa tahun dari dirinya. Kenapa kami look up ke mereka? Karena dari kaca mata kami, cara kakak ipar dan istrinya menjalani kehidupan berumah tangga cukup ideal. Tidak, kakak ipar bukan tipe romantis dan sang istri juga bukan tipe perempuan yang sangat ngemong suami. Kesepakatan-kesepakatan yang mereka buat sebagai suami-istri sangat masuk di akal kami.
Begitu kami berumah tangga, otomatis kami jadi lebih sering sharing soal problematika hidup (ceile) dengan mereka termasuk soal pengasuhan anak. Tidak terhitunglah kiat yang diturunkan kakak ipar kepada kami. Ada satu hal cukup mengesankan dari cara mendidik anak mereka yang saya serta suami lihat sendiri praktiknya sampai-sampai kami memutuskan untuk menjiplak mereka. Soal minta maaf. Kakak ipar cukup tegas pada anak-anaknya, begitu juga sang istri. Tapi “kerasnya” mereka dalam mendidik tidak lantas membuat anak-anak jadi takut pada mereka. Papa-mama adalah orang pertama yang didatangi saat mereka sedang kesal atau sedih akan sesuatu. Jadi, setiap kali kakak ipar selesai mendisiplinkan anak-anaknya, ia pasti minta maaf, memeluk mereka, dan menjelaskan kembali alasan kenapa mereka harus dihukum dengan bahasa yang lembut. Begitu juga jika kakak ipar melakukan kesalahan, ia tak segan-segan meminta maaf kepada anak-anaknya. Misalnya, nih, salah memberitahukan jam tayang acara favorit mereka. Sederhana tapi kadang suka terlewat, ya, oleh kita. :)
Seperti yang pernah ditulis Amel dalam Three Magic Words, maaf memang harus diterapkan betul dalam pola asuh kita. Sepertinya “maaf” lebih sulit diucapkan ketimbang “tolong”, “terima kasih”, dan “permisi”, ya. Mungkin karena maaf lebih melibatkan banyak emosi, belum lagi ego juga kadang ikut berbicara. Melihat contoh yang diterapkan kakak ipar, di mana ketiga anaknya tidak sulit bicara “maaf” saat dibutuhkan, saya dan suami sepakat menerapkan cara sama pada Igo. Sama seperti hal lain, anak lebih mudah menyerap sesuatu jika melihat sendiri contohnya. Jadi, di rumah ... kami membiasakan kembali diri untuk berkata maaf atas perbuatan salah yang kecil sekalipun, misalnya habis buang angin. Hehe. Dan berkata maaf ini berlaku juga untuk kami, orangtua, kepada Igo bahkan untuk hal yang tidak berkaitan dengan kesalahan, contohnya saat kami tidak bisa mengantarkannya ke sekolah.
Berlatar keluarga kocar-kacir, saya dan suami lekat sekali dengan sakit hati. Tidak ada yang mengajarkan kami untuk melepaskan kesumat dan kami tidak ingin hal tersebut terjadi pada Igo. Ya, konsep maaf itu termasuk juga berlapang hati mengikhlaskan kesalahan orang lain terhadap kita. Bahwa maaf tidak hanya di bibir saja. Masih belum terbayang bagaimana praktiknya ke Igo. Sejauh ini, kalau Igo kesal karena sesuatu yang telah kami perbuat ... kami biarkan dia mengeluarkan uneg-unegnya, menangis sampai puas pun tak apa. Setelah selesai, kami diskusikan situasi tersebut. Tentunya dengan penjelasan yang bisa dia pahami. Berat, ya, konsep maaf ini. Nah, dalam suasana lebaran ... ini momen tepat juga untuk mengajarkan pada anak soal maaf. Tak ada salahnya juga, kan, saat sedang bersilaturahmi, kita yang lebih tua menyodorkan tangan kepada yang lebih muda terlebih dahulu?