banner-detik
MARRIAGE

Mendampingi Kerabat yang Ingin Bercerai

author

?author?06 Nov 2018

Mendampingi Kerabat yang Ingin Bercerai

Sesederhana hadir dan mendengarkan, bisa meringankan beban perasaan yang sedang mereka hadapi. Bahkan menyingkirkan bisikan niat jahat ingin mengakhiri hidup.

Mendampingi Kerabat yang Ingin Bercerai - Mommies DailyImage: by Vero Photoart on Unsplash

Suatu hari, saya melihat insta story seorang kerabat yang bernada sedih. Reflek langsung menyapanya lewat direct message: “Are you okay?.” Karena saya tahu betul, dia tuh ekspresif banget. Benar adanya, sekali dipancing, luruh semua isi hati. Berawal dari direct message, obrolan kami bergeser ke what’s app. Belum sempat bersua, karena jarak rumah saya dan dia, dibedakan antar provinsi.

Makanya saya memaksimalkan obrolan. Menemani dia secara virtual. IMHO, mereka yang sedang kalut dirundung masalah, merasa tidak punya teman. Bertubi-tubi datang masalah-masalah kecil di keseharian rumah tangganya. Di sisi lain, masih harus mengurus anak. Tapi sang kepala keluarga tak lagi menafkahi. Perasaannya pun ikut tercabik, karena keberadaannya tak lagi dianggap, pergi tak pamit, pulang semau hati.

Baca juga: Cara Sederhana Untuk Menjadi Suami yang Baik

Seperti merangkai puzzle cerita. Saya berusaha menyelami  apa yang dirasakan dirinya. Tapi pantang bilang “I feel you!,”, ya bohong lah, wong saya tidak ada di posisi itu kok. Gimana caranya “menyelami” perasaan? Tergambar dari kalimat-kalimat ekstream yang dilontarakan.

“Aku sampai level stress tingkat dewa.”

“Aku nggak sempet mikirin diri aku.”

“Aku drop banget. Butuh pelukan!.”

GONGNYA…

“Kalau nggak ingat anak, aku udah bunuh diri sepertinya.”

Tidak mau menambah beban pikirannya, saya nggak mengulik terlalu jauh soal kesalahan suaminya. Sebatas dia cerita, saya dengarkan. Saya fokus membenahi emosinya. Artinya, mengalihkan emosi negatif ke hal-hal baik dalam keseharian yang masih bisa dia improved. Terutama soal usaha dulu untuk membenahi rumah tangganya (terlepas nantinya jadi cerai atau tetap bersama). Beruntung, kerabat saya masih punya niat baik mempertahankan pernikahan. Saya bilang, jika memang bermuara pisah. Kamu bisa bilang ke banyak pihak. "Usaha saya sudah maksimal, hingga melibatkan expert yang valid ilmunya, yaitu psikolog pernikahan,” papar saya meyakinkan dirinya untuk konsultasi dulu ke pihak yang mumpuni.

Baca juga: Apakah Ada Sebuah Pernikahan yang Sempurna?

Tak berhenti sampai ke diri dan suaminya. Anaknya juga wajib mendapat intervensi. Walau belum menangkap signal misbehave di anaknya, ia ingin membawa gadis kecilnya ke psikolog anak, sebagai tindakan pencegahan. Sampai di sini, saya sedikit lega. Karena nalar sehatnya masih bekerja.

Tapi saya masih kepikiran kalimat dia yang, “Aku nggak sempet mikirin diri aku.” Dengan tegas saya bilang, “Mulai besok nggak boleh!.” Saya kasih analogi menyelamatkan antar penumpang di pesawat. "We must put our oxygen mask first, so we are in a position to help others." Artinya,  gimana dia mau urus anak dan dirinya sendiri, kalau nggak punya energi positif. Sekecil apapun kita apresiasi diri sendiri, kita punya energi cukup buat urus anak dan tetap memanusiakan diri sendiri.

Untuk kamu yang masih berusaha keras menyelamatkan pernikahan. Hang on there! Pasti masih ada alasan untuk tetap menghargai diri sendiri dan berbahagia.

Baca juga: Saat Hidup Menjadi Ibu Terasa Berat…

Share Article

author

-

Panggil saya Thatha. I’m a mother of my son - Jordy. And the precious one for my spouse. Menjadi ibu dan isteri adalah komitmen terindah dan proses pembelajaran seumur hidup. Menjadi working mom adalah pilihan dan usaha atas asa yang membumbung tinggi. Menjadi jurnalis dan penulis adalah panggilan hati, saat deretan kata menjadi media doa.


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan