The Power of "Amplop Putih"

Financial Wellness

nenglita・05 Mar 2014

detail-thumb

Menggunakan amplop untuk mengatur keuangan sounds soooooo yesterday, ya? Tapi walaupun cara ini jadul, masih banyak orang yang menggunakannya untuk mengatur keuangan keluarga. Adies, salah satunya, seperti yang ia ceritakan di artikel ini.

Awalnya, saya nggak terlalu mengindahkan hal tersebut. Masa iya, nyimpen uang dalam amplop berpengaruh segitu besarnya bagi keuangan keluarga? Bukannya lebih enak ke atm setiap berapa hari sekali, uangnya malah jadi nggak keganggu, kan?

Ternyata salah besar, saudara-saudara!

Seperti yang pernah saya tulis di artikel ini, saya bukan orang yang pandai membuat perencanaan. Dalam hal apapun, liburan keluarga saja sering kami lakukan secara dadakan, apalagi keuangan? Haha. Aheum, mungkin membuatnya saja bisa, ya. Tapi menjalankannya itu yang terlalu sering improvisasi.

*Abaikan tulisan trasportasi :D

Akhirnya sekitar 6 bulan yang lalu (saat menyadari bahwa Langit bakal masuk SD, yang berarti keuangan harus lebih diperhatikan), saya mencoba memasukkan uang-uang ke dalam amplop putih sesuai dengan pos masing-masing.

Amplop pertama dan paling penting: belanja harian.

Sebelumnya, saya mencampur uang belanja harian dan kebutuhan transportasi saya. Kondisi ini menyebabkan saya harus mengunjungi ATM setidaknya 2 hari sekali. Percaya deh, menyaksikan langsung saldo berkurang sedikit demi sedikit itu, perih! #lebay

Jadi, saya tarik tunai langsung untuk sebulan belanja harian plus pembelian air mineral kemasan dan gas. Pokoknya, kebutuhan dapur! Jumlahnya sekitar 1,5 juta. Nggak terlalu besar, kan? Asumsinya, setiap hari dapur butuh belanja Rp50.000. Realitasnya, yang kami belanjakan harian di tukang sayur yang lewat rumah itu hanya sekitar 20-30 ribu saja. Kok bisa? Ya, karena yang dibeli di tukang sayur hanya sayuran dan aneka bumbu yang kurang. Karena saya rutin juga belanja mingguan untuk ikan, ayam atau daging. Sisa uangnya? Disimpan di amplop lain untuk kemudian digunakan untuk beli air mineral kemasan atau gas.

Amplop ke dua dan nggak kalah penting: transportasi saya ke kantor

Karena jarak rumah cukup jauh ke kantor, dan saya memilih untuk naik kendaraan umum, maka sehari itu minimal Rp50.000 saya habiskan untuk transportasi saja. Dalam kondisi tertentu, malah sering 50ribu hanya untuk sekali jalan. Mahal? Iya. Suami saya bilang, lebih murah kalau saya menyetir mobil sendiri. Tapi kan kalau nyetir mobil sendiri, nggak jamin kesehatan mental saya menghadapi macetnya jalanan :D

Selain transportasi, dalam amplop ini saya gabung dengan kebutuhan konsumsi.

Untuk ini, sebenarnya beragam sekali kondisinya. Sesekali ingin makan enak, toh? Alibinya, “Saya udah kerja capek-capek masa mau makan enak nggak bisa?”. Tapi untungnya saya bukan penggemar makanan fancy nan mewah, demikian juga dengan kopi, saya cenderung biasa saja. Makan apapun, jadi. Haha. Kopi? Kalau ada buy 1 get 1, baru mau! #ibupelit? Nggak dong, #ibubijak lebih tepatnya :p

Untuk pengeluaran rutin seperti rumah, listrik, sekolah, tabungan, investasi, zakat, orangtua, dsb, langsung ditransfer ke rekening yang bersangkutan.

Sisanya saya anggap sebagai biaya tak terduga yang langsung saya transfer ke rekening di mana saya nggak punya ATM-nya :D Nah, punya rekening yang nggak ada ATM-nya juga membantu sekali, lho. Selama Mommies nggak mengaktifkan internet banking atau mobile-nya saja, ya, yang memungkinkan transfer ke online shop, haha!

Dengan pengaturan seperti ini, mungkin belum terlalu ideal, ya. Tapi bagi saya, ini sangat membantu saya lebih disiplin saat mengeluarkan uang, karena jumlah uangnya benar-benar saya lihat, bukan seperti di ATM yang cuma tertera di layar saja. Somehow, efeknya seperti ditampar saat melihat lembaran uang berkurang hari demi hari. Haha.