Berlebihan Mengagumi Anak; Yay or Nay?

Parenting & Kids

irasistible・14 Oct 2013

detail-thumb

There’s only one beautiful child, and every mother has it.

Itu pepatah yang umum digunakan untuk menyatakan bahwa semua anak di dunia ini cantik/tampan. Namun, pepatah itu juga cukup tepat untuk menunjukkan betapa wajarnya jika ibu, atau orangtua, mengagumi anaknya sendiri. Bahkan jika sampai berlebihan pun, tidak masalah. Apologinya kira-kira begini “Toh ini anak gue sendiri, kalo bukan gue yang mengaguminya, siapa lagi?”

Pernah merasa begitu? Kalau iya, welcome to motherhood, then :)

Hal serupa juga dirasakan oleh suami saya. Kemarin terjadi percakapan seperti ini antara kami berdua. Kebetulan, hari itu saya berhalangan mengantar Nadira ke sekolah. Jadi suamilah yang harus mengantarnya

Suami: "Kemarin saat upacara (tiap Senin, sekolah Nadira menggelar upacara kecil-kecilan), gurunya bertanya “Siapa yang tahu apa nama sayuran warna oranye yang bagus untuk mata?” Anak-anak lain menjawab bayam, kangkung, dsb. Hanya Nadira yang bisa menjawab lho. Pinter banget deh"

Saya: "Oh iya, itu kan karena aku selalu cerita tentang si Bobo dan Bunny yang suka makan wortel dan mata mereka bagus. Habis Nadira susah makan sayur sih"

Suami: "Terus, Nadira disuruh maju ke depan, baca ikrar siswa. Aku lihat cara guru memegang dia berbeda dengan saat memegang anak lain. Kayaknya ke Nadira lebih sayang gitu ya. Pasti karena anak kita adorable"

Saya: "Please deh. Itu kan subjektivitas kamu aja. Pasti Bu Guru memeluk tiap muridnya sama aja kok. Lebay amat sih kamu!" *ketawa*

Kelihatan ya dari percakapan itu, siapa yang obyektif dan subyektif? Hehehe… Berbeda dengan kebanyakan orang, saya memang tidak suka berlebihan dalam mengagumi anak sendiri. Berhubung saya tipe orang yang (berusaha) obyektif dalam menilai berbagai hal di dunia, saya pun berusaha bersikap seperti itu dalam menilai Nadira.

Anak saya lahap makan sayur waktu MPASI? Saya bangga karena waktu kecil saya sangat tidak suka sayur. Tapi kebahagiaan itu tidak membuncah-buncah amat karena saya lihat ada teman-teman yang anaknya lebih lahap makan sayur, hingga mereka dewasa. Dan Alhamdulillah tindakan saya benar karena sekarang Nadira nggak suka sayur. Kalau dulu membanggakannya habis-habisan, sekarang saya pasti malu.

Anak saya sukses toilet training di usia 2 tahun? Banyak anak-anak lain yang sudah lepas diaper dari usia 1 tahun bahkan kurang.

Anak saya jago menyanyi, berceloteh dan bercerita sejak usia 2 tahun? Keponakan saya juga sama kok.

Anak saya bisa mengeja, hapal huruf dan angka sejak usia 3,5 tahun? Lho itu Dante sudah bisa membaca sejak usia 2 tahun.

Bukannya saya merendahkan anak sendiri ya. Sungguh deh. Saya cuma berusaha bersikap obyektif dan realistis. Saya bangga terhadap anak saya, I really do. Dan saya selalu mengatakannya kepada dia tentang ini, agar rasa percaya dirinya tumbuh. Tapi, saya berusaha tidak mau terlalu berlebihan, bahkan memamerkannya ke dunia. Bahwa anak saya pintar A, B, C, D, atau jago ina-itu. Sementara kemampuan yang ia miliki sebenarnya juga dimiliki jutaan anak-anak lain.

Banyak lho orangtua yang saking bangganya terhadap anak masing-masing, sampai-sampai mereka tidak terima saat anaknya kalah dalam lomba menyanyi, berhitung, membaca, mewarnai, dsb, you name it lah. Atau, banyak nih kita lihat di dunia hiburan, artis senior yang memproduseri album rekaman anaknya sendiri, padahal yah, suara si anak jauh dari merdu.

Mungkin sifat saya ini akibat Mama saya yang juga bersikap amat obyektif pada anak-anaknya. Waktu kecil, Mama jarang memamerkan kemampuan saya dan adik saya kepada orang lain. Makanya, saat saya mendapatkan gelar juara kelas di kelas 1 SD, Mama sendiri kaget. Sebab, ia menganggap segala kemampuan saya membaca, berhitung, dsb, juga dimiliki anak lain.

Kesannya pesimis banget ya sama anak sendiri? Hehehe… Ternyata dalam artikel  ini pun, mengagumi anak sendiri, sampai memamerkannya kemana-mana dianggap mengganggu lho oleh banyak orang. Bahkan banyak yang dijauhi gara-gara terlalu mengagumi anak sendiri dan gemar memamerkannya kepada khalayak.

Kalau saya sih, mungkin sikap saya yang sok obyektif ini bawaan dari pola asuh orangtua dan juga persepsi pribadi diri saya sendiri ya. So far so good, saya nyaman dengan sikap saya, teman-teman pun nggak pernah komplen karena saya memang jarang pamer, hehehe..

Satu hal lagi yang pasti, saya merasa, sikap saya ini membuat saya tidak berharap tinggi dan membebani anak. Seperti pepatah bilang “Keep your expectations to a minimum and you'll be less disappointed that way”. Kalau saya terus-terusan mengatakan pada dunia bahwa anak saya pintar, jagoan, etc, saya pasti akan berharap bahwa anak saya akan terus menjadi seperti itu.

Ujung-ujungnya, jika anak saya ternyata tidak seperti yang saya pamerkan, saya pasti bakal membebani dia dengan semua harapan saya itu. Padahal belum tentu si anak mau. Atau seperti orangtua lain, saya akan marah-marah ke panitia lomba saat anak saya kalah. Nah, that’s not my style! :D

*gambar dari sini

Sikap ini kayaknya cukup bertentangan dengan pola asuh tiger parents, ya. Bahkan terlalu santai kayaknya hehehe… Untung, suami saya sepertinya masih ada potensi jadi tiger dad. Jadi mudah-mudahan sih, pola parenting kami bakalan seimbang :D