
Korea Selatan kini mulai menerapkan kebijakan “memajang” catatan bullying murid ketika mereka daftar kuliah. Tampaknya Indonesia tergugah dengan kebijakan ini. Bahas, yuk!
Mommies dan Daddies sudah dengar? Ada perbincangan hangat soal kemungkinan Indonesia meniru kebijakan dari Korea Selatan, yaitu “memajang” riwayat kekerasan dan/atau bullying murid saat mereka mendaftar kuliah. Kebijakan ini ramai dibahas warganet, apalagi kasus-kasus perundungan di sekolah atau kampus yang beberapa waktu terakhir terus menghantui dunia pendidikan Indonesia.
Diketahui, Korea Selatan memberlakukan kebijakan baru yang sempat bikin ramai, yaitu riwayat murid pelaku kekerasan dan bullying di sekolah akan dipajang. Riwayat ini akan terpampang saat mereka akan mendaftar kuliah ke perguruan tinggi. Kebijakan ini dibuat untuk menekan angka perundungan pada ranah pendidikan di sana, dan berlaku efektif mulai tahun 2026.
Kabar tentang kebijakan ini pun sampai ke telinga pemerintah dan masyarakat kita. Dikutip dari detikEdu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, MY Esti Wijayati, menyebutkan bahwa kebijakan Korea Selatan tersebut bisa dicontoh sebagai bentuk ancaman sosial bagi para pelaku bullying dengan harapan mereka akan berhenti atau sama sekali tidak melakukan kekerasan atau perundungan.
Munculnya ide ini tak lepas dari sorotan pada kasus-kasus dalam negeri. Salah satu yang paling banyak disorot adalah kasus kematian Timothy. Kasusnya bikin geram masyarakat lantaran tangkapan layar chat beberapa mahasiswa tampak mengolok-olok kabar kematian Timothy sehingga muncul dugaan perundungan. Selain itu, tentu masih banyak kasus perundungan atau kekerasan di sekolah lainnya yang luput dari perhatian masyarakat.
BACA JUGA: Agar Tidak Jadi Korban atau Pelaku Bullying, Remaja Wajib Punya 2 Hal Ini!
Dikutip dari The Korean Herald, Kementerian Pendidikan Korea Selatan sudah merilis kebijakan ini sejak tahun 2023. Selanjutnya, kebijakan ini mulai berlaku pada penerimaan mahasiswa tahun 2025. Meski begitu, pilihannya masih opsional, artinya kampus tidak diwajibkan memasukkan riwayat bullying sebagai faktor seleksi, tetapi mereka diperbolehkan jika ingin.
Nah, mulai tahun ajaran 2026, aturan berubah menjadi wajib. Artinya, semua universitas harus menggunakan dan mempertimbangkan catatan kekerasan di sekolah dalam proses penerimaan mahasiswa. Tidak ada lagi pilihan untuk tidak memakainya.
Kenapa kebijakan ini dibuat? Perdana Menteri Han Duck Soo mengatakan bahwa kebijakan ini menjadi upaya negara dalam menekan angka perundungan dan meningkatkan kesadaran kolektif warga sekolah. Munculnya kebijakan ini juga menjadi sinyal bahwa perundungan dalam bentuk apapun tidak akan ditoleransi. Harapannya, pendidikan bisa menjadi lingkungan yang aman dan menyenangkan bagi seluruh murid.
Nah, terkait kebijakan ini, pemerintah kita nggak ketinggalan dalam memberi tanggapan.
Menurut keterangan tertulis yang diterima detikEdu pada Selasa (25/11/2025), Esti menyebutkan, “Ini menarik, bisa menjadi contoh untuk penanganan sanksi sosial kepada pelaku bullying. Norma sanksi yang jelas dapat membuat mereka yang terindikasi punya sikap bullying lebih berhati-hati dan memiliki pengendalian diri.”
Wakil Ketua Komisi X DPR RI itu baru bilang bahwa kebijakan Korea Selatan bisa menjadi contoh. Apakah akan diterapkan di Indonesia? Kita tunggu kabar barunya, ya.

Apakah akan efektif jika diterapkan di Indonesia? Itu mungkin menjadi pertanyaan utama di benak Mommies dan Daddies. Korea Selatan dengan Indonesia punya sistem pendidikan, kultur, dan masyarakat yang berbeda satu sama lain. Yang jelas, banyak pengguna media sosial mengutarakan pendapat pro kontranya soal ini.
Dirangkum dari beberapa sumber, pihak pro bilang bahwa kebijakan ini tentu bisa bikin jera para pelaku bullying. Sebab bisa menurunkan kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih baik, alhasil masa depan akademik dipertaruhkan. Di sisi lain, lingkungan pendidikan bisa jadi lebih aman.
Namun, pihak kontra mengatakan sebaliknya. Beberapa bilang bahwa catatan bullying siswa bisa “diakali” jika punya hak istimewa, seperti bias, tidak objektif, atau tidak akurat. Ada juga yang mengatakan bahwa tidak semua bullying mudah dibuktikan, seperti pembulian verbal atau sosial.
Intinya, kebijakan ini masih perlu banyak dikaji jika Indonesia ingin menerapkan hal yang serupa. Seperti bagaimana Korea Selatan melakukannya, pemerintah kita juga perlu pendapat dan pandangan dari para ahli, orang tua, siswa, hingga otoritas pendidikan.
BACA JUGA: Bullying di Sekolah Masih Marak, Ini Ciri-ciri Pelaku Bullying dan Korban
Ditulis oleh: Retno Raminne Nurhaliza Pitoyo
Cover: Freepik