
Kejadian di SMAN 72 Jakarta benar-benar mengagetkan pihak sekolah hingga masyarakat. Ini fakta, pandangan psikolog, dan apa yang bisa orang tua lakukan.
Mommies dan Daddies sudah tahu kasus ini? Ada ledakan yang terjadi dan diduga dari bom rakitan di area sekitar SMAN 72 Jakarta pada Jumat, 7 November 2025.
Dilansir dari detikNews, ledakan tersebut terjadi setidaknya dua kali, di masjid sekolah dan di luar masjid. Peristiwa ini berlangsung ketika warga SMAN 72 sedang melaksanakan salat Jumat tepatnya ketika khotbah atau sekitar pukul 12 siang.
Untungnya, tidak ada korban jiwa akibat insiden ini. Meski begitu, tetap saja, sebanyak 96 orang yang mayoritas terdiri dari siswa mengalami luka ringan hingga berat sehingga harus dirawat intensif di rumah sakit, serta 67 korban sudah pulang ke rumah berdasarkan data per Sabtu (8/11).

Sebelumnya, sejumlah 96 warga SMAN 72 Jakarta menjadi korban ledakan di sekolah tersebut. Menurut laporan detikNews, salah satu dari yang terluka itu merupakan siswa yang diduga menjadi pelakunya dan masih dalam perawatan medis. Pihak kepolisian sudah mengamankan terduga pelaku dan sedang mendalami motif pengeboman.
Beberapa kabar berseliweran, Mommies dan Daddies. Ada dugaan bahwa alasan terduga pelaku nekat melakukan hal ekstrem itu adalah karena menjadi korban perundungan di sekolahnya. Selain itu, dugaan lainnya seperti terpapar konten ekstrem atau mengikuti paham tertentu juga mengikuti.
Sejauh ini, pihak kepolisian masih menyelidiki motif di balik ledakan tersebut. Termasuk apakah ada unsur terorisme atau tidak. Selain itu, ditemukan juga barang bukti yang mirip senjata api di sekitar lokasi. Namun, benda itu sudah terbukti merupakan senjata mainan dan bukan senjata asli.
BACA JUGA: Agar Tidak Jadi Korban atau Pelaku Bullying, Remaja Wajib Punya 2 Hal Ini!
Sebagaimana diketahui, motif di balik ledakan SMAN 72 Jakarta adalah karena pelaku merupakan korban perundungan. Ia pun disebut juga suka menonton konten-konten ekstremisme. Bagaimana pandangan psikolog terkait ini?
Mommies Daily pun berkesempatan mendapatkan insight dari seorang pakar. Psikolog Anak dan Remaja Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi., Psikolog. menjelaskan, “Kasus seperti ini umumnya tidak muncul secara tiba-tiba. Biasanya, ada akumulasi emosi dan pengalaman traumatis yang tidak tersalurkan dengan sehat,”
Menurutnya, bila benar pelaku merupakan korban pem-bully-an, maka akumulasi emosi negatif, seperti rasa sakit, marah, dan tak berdaya bisa saja menumpuk. Hingga akhirnya kumpulan emosi itu mencari jalan keluar yang ekstrem.
“Konsumsi konten kekerasan atau ekstrem, seperti video tembak-menembak atau aksi teror, dapat memperkuat persepsi bahwa kekerasan adalah cara untuk mendapatkan kontrol atau ‘membalas’,” tambah Psikolog Vera.
Konsumsi konten kekerasan atau yang berbau ekstrem bisa saja menjadi salah satu penyebab tetapi bukan satu-satunya, melainkan seperti pemicu tambahan pada seseorang yang sudah memiliki kerentanan emosional, sosial, dan psikologis.

Psikolog Vera juga membagikan tentang cara-cara yang bisa dilakukan Mommies dan Daddies sebagai orang tua untuk mencegah anak melakukan tindakan ekstrem. Berikut langkahnya:
Mommies dan Daddies, jadilah tempat aman bagi anak untuk bercerita tentang apapun dan jangan langsung menghakimi. Menurut Psikolog Vera, terkadang anak butuh waktu dan kepercayaan untuk membuka hal-hal yang menyakitkan seperti pembulian.
Selain bangun komunikasi, orang tua perlu peka dengan tanda-tanda ketika anak mengalami tekanan emosional. Misalnya, perubahan drastis pada perilaku, murung, menarik diri, agresif, atau terobsesi pada hal-hal kekerasan. Jangan anggap remeh hal-hal ini. Kalau bisa segera ajak anak bicara atau konsultasikan dengan tenaga profesional.
Mommies dan Daddies bisa memantau aktivitas digital anak secara bijak, seperti konten apa yang dikonsumsi, tanpa harus bersikap mengintimidasi. Psikolog Vera menyarankan untuk ajak anak berdiskusi soal nilai-nilai kemanusiaan, empati, serta dampak nyata dari kekerasan. Tidak ada hal yang baik yang diperoleh melalui kekerasan.
Misalnya, orang tua bisa mengajarkan anak cara menghadapi amarah, kecewa, atau rasa malu secara sehat. Aktivitas semacam olahraga, seni, atau kegiatan komunitas bisa membantu anak menyalurkan energi emosional yang positif.
Ini juga sangat penting, yaitu berkoordinasi dengan sekolah. Orang tua dan sekolah harus bekerja sama membangun lingkungan yang aman dari perundungan. Saat ada tanda-tanda anak jadi korban atau pelaku, penanganan harus cepat dan suportif, bukan hanya menghukum.
Terakhir, Psikolog Vera menjelaskan ulang bahwa pencegahan dimulai dari hubungan yang terbuka dan hangat antara orang tua dan anak.
“Anak yang merasa diterima dan didengarkan cenderung lebih mampu menyalurkan emosi negatif secara sehat.” pungkasnya.
Mommies dan Daddies tentu akan merasa sangat terpukul bila anaknya menjadi salah satu korban. Lantas, ada tindakan dan penanganan apa saja yang diberikan?
Dikutip dari CNBC Indonesia, Menteri Sekretaris Negara menyampaikan pesan dari Presiden Prabowo terkait insiden ini. Ia meminta untuk memprioritaskan korban dan penanganannya. Bapak negara RI tersebut juga mengingatkan untuk terus peduli dengan sekitar dan lingkungan supaya kasus ini tidak terjadi lagi.
Menteri Mendikdasmen, Abdul Mu’ti, turun langsung untuk menjenguk para siswa yang menjadi korban ledakan. Ia pun menegaskan bahwa Kemendikdasmen turut bergerak memberikan dukungan dan pendampingan psikososial kepada seluruh warga SMAN 72 Jakarta seperti dilansir dari detikEdu.
Pihak kepolisian bekerja sama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan psikolog untuk membangun pusat trauma healing bagi para korban ledakan SMAN 72 Jakarta. Fasilitas ini disiapkan untuk menangani keluhan dan memberikan bantuan.
Usai insiden ledakan di SMAN 72 Jakarta, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengatakan kegiatan belajar mengajar akan dilakukan secara daring mulai Senin, 10 November 2025. Ini dilakukan karena lingkungan sekolah masih dalam proses sterilisasi dan berlangsung sampai kondisi sekolah dinyatakan sudah aman.
Dinas PPAPP juga akan memberikan pendampingan psikologis kepada para korban ledakan hingga benar-benar stabil dan pulih kesehatan mentalnya. Dukungan psikologis ini diberikan selama masa pemulihan termasuk saat kegiatan belajar mengajar berlangsung secara daring. Tersedia juga Mobil SAPA (Sahabat Perempuan dan Anak) yang hadir di lingkungan sekolah untuk mendukung psikis para siswa, guru, keluarga terdampak, hingga warga sekitar yang perlu konseling. Layanan ini gratis.
BACA JUGA: Bullying di Sekolah Masih Marak, Ini Ciri-ciri Pelaku dan Korban Bullying
Peristiwa ledakan di SMAN 72 Jakarta menjadi pengalaman traumatis bagi banyak orang. Semoga tidak ada lagi kejadian seperti ini di ranah pendidikan yang seharusnya menjadi tempat untuk anak-anak mengemban ilmu dengan aman, ya.
Penulis: Retno Raminne Nurhaliza Pitoyo
Cover: Jonas Augustin/Unsplash