Beban Mental yang Dialami Ayah Bekerja Selain Mikirin Gaji

Work & Career

dewdew・7 hours ago

detail-thumb

Ternyata ada beban mental dirasakan para ayah bekerja yang seringkali tak terungkap. Apa saja, sih? Apakah salah satunya Anda rasakan?

Kita sudah tidak lagi hidup di zaman peran ayah hanya sebatas memberi makan, membeli baju, dan bayar sekolah. Thank God! Menjadi ayah di era ini bukan lagi sekadar mencari nafkah. Tapi ayah juga dituntut hadir secara fisik dan emosional di tengah keluarga. 

Sementara tuntutan pekerjaan ayah era digital ini juga semakin tinggi dan ritme hidup kini serba cepat. Banyak ayah yang harus menyeimbangkan dua peran besar sekaligus, yaitu sebagai profesional di kantor dan sebagai figur hangat di rumah. 

Tak pelak ada beban mental para ayah yang mungkin jarang dibicarakan. Tekanan untuk tetap produktif, hadir secara emosional bagi keluarga, sekaligus memenuhi ekspektasi sosial tentang “ayah ideal”, sering kali menimbulkan kelelahan yang tak kasat mata. 

Apa saja beban mental tersebut? Mengapa hal ini perlu mendapat perhatian, dan apa yang bisa dilakukan agar keseimbangan antara karier dan keluarga tetap terjaga?

Dituntut menjalankan dua peran sekaligus

Ayah yang bekerja sering kali harus membagi fokus antara karier dan keluarga. Di tempat kerja, si ayah harus menunjukkan performa yang optimal, berpikir cepat, dan sering kali harus lembur. Namun ketika sampai di rumah, tanggung jawab sebagai ayah menunggu. Mulai dari bekerjasama dengan istri mengasuh anak hingga mengurus urusan rumah yang jadi tanggung jawabnya. Tekanan untuk bisa “sempurna” di dua dunia ini membuat hari-hari terasa padat tanpa jeda, nyaris tak ada ruang untuk istirahat atau kesalahan kecil sekalipun.

Baca juga: Paternity Leave. Mengapa Cuti Buat Ayah Itu Penting

Takut anak terpengaruh hal negatif

Buat para ayah, terutama yang dulunya sempat bandel, kekhawatiran anak terpengaruh hal-hal negatif sangat dirasakan. Di pikirannya,”Sudahlah saya aja yang bandel, anak saya jangan.” Tentu saja tidak bisa begitu.

Di tengah derasnya arus informasi, pergaulan, dan media digital, banyak ayah merasa khawatir apakah mereka cukup mampu melindungi dan membimbing anak ke arah yang benar. Rasa takut ini bisa menimbulkan tekanan batin tersendiri, terutama ketika waktu bersama anak terbatas karena kesibukan kerja. Para ayah sering kali merasa bersalah atau cemas berlebihan jika tidak bisa selalu mengawasi anak secara langsung. 

Waktu untuk diri sendiri makin langka

Ibu-ibu mungkin hanya tersenyum membaca ini. Tapi ini serius. Dengan banyaknya tanggung jawab, para ayah merasa waktu untuk diri sendiri jadi barang langka. Tekanan untuk terus produktif, baik di kantor maupun di rumah, membuat waktu bersantai dan menekuni hobi pribadi sering kali harus dikorbankan. Padahal, hal-hal kecil seperti itu penting untuk menjaga kesehatan mental dan keseimbangan hidup. 

Antara harapan dan kenyataan seringkali tak sama

Lingkungan menuntut ayah menjadi sosok ayah yang ideal. Sukses di pekerjaan, tapi juga selalu hadir untuk keluarga. Sayangnya, realitas tidak selalu seindah itu. Banyak ayah merasa tertekan karena harus memenuhi standar tinggi yang sulit dicapai. Perbedaan antara harapan dan kenyataan inilah yang sering membuat mereka merasa tidak cukup baik, bahkan gagal menjalankan peran sebagai pekerja sekaligus kepala keluarga. Semua ini menambah beban mental yang tak selalu terlihat, tapi nyata terasa.

Baca juga: Penyebab Anak Tidak Dekat dengan Ayah. Ini Solusi dari Psikolog. 

Umur makin tua, saingan di kantor makin muda

Berkompetisi dengan Gen Z di kantor menjadi tekanan baru di kantor. Apalagi generasi yang jauh lebih muda ini seringkali hadir dengan semangat, ide segar, dan kemampuan teknologi yang lebih sat set. Hal ini tentu saja bikin persaingan di kantor terasa makin ketat. 

Manalah generasi ini pulang kantor masih bisa gaul, menjalankan hobi mereka. Sementara para ayah sudah harus pulang memenuhi tanggung jawabnya sebagai suami dan ayah. Tanpa disadari, perasaan tertinggal atau “tidak sekekinian” muncul tanpa disadari, menimbulkan kekhawatiran akan posisi dan masa depan karier. Padahal, pengalaman dan kedewasaan justru menjadi nilai penting yang tidak bisa digantikan.

Khawatir kehilangan pekerjaan dengan pengalaman senior

Buat para ayah yang pengalamannya dikategorikan senior, tentunya memiliki nilai tambah tersendiri. Namun, realitas di lapangan sering kali berkata lain. Dunia kerja saat ini cenderung mencari tenaga dengan biaya lebih murah, bahkan jika itu berarti mengorbankan kualitas dan pengalaman. Akibatnya, para ayah dengan kemampuan matang justru menghadapi kesulitan bersaing, meski mereka telah puluhan tahun membangun keahlian di bidangnya.

Kondisi ini tak jarang menimbulkan tekanan mental tersendiri. Rasa tidak dihargai, khawatir kehilangan peran sebagai pencari nafkah, hingga kecemasan akan masa depan keluarga, semua bercampur menjadi beban yang berat. Di tengah gempuran perubahan industri dan tuntutan ekonomi, banyak ayah berjuang diam-diam untuk tetap relevan, sambil menanggung beban emosional yang jarang mereka ungkapkan.

Mengamankan keuangan untuk biaya sekolah anak

Salah satu sumber tekanan terbesar bagi banyak ayah adalah tanggung jawab untuk memastikan masa depan finansial keluarga tetap aman. Apalagi pendidikan anak mulai dari pendidikan dini hingga ke jenjang kuliah. Siapa juga yang nggak ingin anaknya bersekolah di sekolah yang bagus, kan?

Nggak sedikit,lho, ayah yang merasa cemas saat memproyeksikan kebutuhan pendidikan anak di masa depan, khawatir apakah penghasilannya cukup untuk menutup semua itu.

Itu tadi beban mental para ayah masa kini. Coba tanya suami masing-masing di rumah, punya kekhawatiran dan beban mental yang sama nggak?

Cover photo by Freepik