Biasanya anak belajar nggak mesti disuruh, nilainya juga di atas rata-rata. Tapi, pas pubertas datang, kok berubah? Simak alasan secara psikologisnya di sini.
Sebelum bertanya kenapa saat pubertas datang, anak berubah; ya, jadi malas belajar; nilainya sering anjlok, baiknya kita ingat-ingat lagi, deh, dulu pas lagi kesengsem sama teman seangkatan atau Kakak kelas, sempet ngerasa jadi sering salah fokus juga, kan? Biasanya ke sekolah siap-siapnya 10 menit, ini jadi 30 menit sendiri. Nah, kalau dari hati Mommies sudah keluar kalimat, “Oh, iya, setelah diingat-ingat, kayanya dulu saya juga begini”, bahkan merasa geli sendiri saat mengingat hal ini, dijamin Mommies bakal lebih mengerti sama inti dari artikel ini. Yuk, kita bahas.
Sebuah studi ilmiah “The role of puberty in the developing adolescent brain” menyebutkan bahwa saat pubertas, terjadi lonjakan hormon seperti estrogen, testosteron, dan dopamin. Hal ini memengaruhi kemampuan konsentrasi, kontrol impuls, bahkan fungsi eksekutif anak. Sehingga, biasanya:
Saat pubertas terjadi, bagian otak yang terkait dengan emosi dan perilaku sosial berkembang lebih cepat dibandingkan dengan bagian yang mengontrol perilaku, seperti korteks prefrontal. Perubahan ini mendorong:
Baca juga: Begini Cara Membangun Body Confidence pada Anak Remaja di Era Tiktok
Jaman anak masih balita, biasanya lebih mendengarkan saat ajakan kita untuk tidur berkumandang. Masuk usia remaja, mereka sendiri yang menentukan kapan waktunya tidur. Bahkan makin besar, biasanya makin senang tidur lebih larut, didukung oleh aktivitas malam hari yang mulai disenangi, sehingga waktu tidurnya jadi lebih sedikit. Perubahan perilaku ini didorong oleh faktor eksternal, terutama peningkatan tekanan dari kegiatan akademik maupun non-akademik (sosial dan ekstrakurikuler). Meskipun perubahan pola tidur di masa remaja ini normal, banyak dampak yang kemudian timbul, seperti kecenderungan tidak berprestasi di sekolah, lebih mudah mengalami gangguan suasana hati, bahkan obesitas. Bila hal ini dibiarkan, dampaknya bisa jauh lebih bebahaya, seperti risiko mengalami kecelakaan lalu lintas, penyalahgunaan alkohol, dan narkoba.
Dalam sebuah artikel yang ditulis DR. Rahmi Lubis, M.Psi, Psikolog mengenai minat belajar anak, tinggi rendahnya prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh dua hal paling mendasar:
Minat belajar dipengaruhi oleh aspek kognitif, afektif, dan konatif. Dari aspek kognitif berarti siswa yang berminat akan berusaha memahami materi pelajaran yang diberikan. Aspek afektif berarti bahwa siswa yang berminat belajar akan merasa senang dan menikmati kegiatan belajar yang dijalani. Sedangkan aspek konatif berarti siswa yang berminat akan melakukan kegiatan yang diminta oleh guru selama proses belajar. Sebaliknya, siswa yang tidak berminat belajar akan menunjukkan keengganan untuk memahami, merasa tidak nyaman atau tertekan, serta tidak melakukan kegiatan belajar yang diharapkan.
Meski tergolong faktor internal, orang tua dapat ikut mendukung dengan cara memahami minat belajar anak.
Atau, suatu dorongan yang dimiliki siswa untuk melakukan usaha belajar. Siswa yang memiliki motivasi tinggi dalam belajar akan menunjukkan perilaku memiliki alasan untuk belajar, adanya hasrat untuk belajar, memiliki tujuan yang ingin dicapai, memberi penghargaan atas hasil belajarnya, lingkungan yang mendukung belajar, serta merasa senang saat belajar. Sebaliknya siswa yang motivasi belajarnya rendah tidak memiliki tujuan belajar yang ingin dicapai, tidak memiliki alasan yang kuat untuk belajar, tidak ada keinginan belajar, menganggap hasil belajar sebagai hal yang tidak penting, lingkungan kurang mendukung, serta tidak menikmati kegiatan belajar.
Orang tua dapat mendukung anak untuk tetap termotivasi dengan cara:
Nah, bagaimana? Sudah lebih bisa memahami alasan di balik nilai anjlok anak, kan? Sekarang coba Mommies jalani tips di atas.
Image by Freepik