banner-detik
PARENTING & KIDS

Begini Cara Membangun Body Confidence pada Anak Remaja di Era Tiktok

author

RachelKalohin 3 hours

Begini Cara Membangun Body Confidence pada Anak Remaja di Era Tiktok

Body confidence kian jadi isu di kalangan remaja di era Tiktok, bagaimana kita bisa membantu anak supaya tidak minder dan tetap paham self-worth-nya?

Bagi remaja, penilaian dari teman sebaya dianggap hal yang utama. Tidak heran, pendapat orang lain jauh lebih penting dan didengar, dibanding dirinya sendiri, terutama di era Tiktok (dan media sosial lainnya) ini. Bagaimana kita menanggapi hal tersebut dan apa yang bisa kita lakukan agar anak tidak kehilangan body confidence-nya, tidak mudah merasa insecure, melainkan tetap memiliki self-love?

Baca juga: Overthinking di Kalangan Remaja Meningkat, Ini 9 Penyebab dan Cara Menghadapinya

Tentang body confidence yang menjadi isu di kalangan remaja

Jaman sekarang, media sosial kian berpengaruh pada kehidupan sehari-hari, terutama pada remaja. Dari banyaknya konten yang muncul, tren menjadi mudah terbentuk. Sayangnya, beberapa tren tersebut berhubungan dengan penampilan fisik perempuan, yang lalu menimbulkan kecemasan, seperti:  

    • Kecantikan yang tidak realistis (berhubungan dengan eating disorder, seperti #SkinnyTok ─pernah muncul, tetapi sekarang sudah dilarang). Tren tersebut mempromosikan tubuh yang sangat kurus dan mendorong pola makan yang tidak teratur di kalangan remaja dan perempuan muda. 
    • Micro-insecurities & Self Policing. Salah satunya obsesi terhadap thigh gaps (meski bukan isu baru), bahwa paha berjenjang masih sering dianggap sebagai tolok ukur tubuh yang ideal. Hal ini nampak dari banyaknya content yang bermunculan, yang kemudian membuat anak menjadi insecure ketika tubuhnya jauh dari yang dianggap ideal. 
    • Perbandingan Sosial & Tekanan untuk Diterima yang kian tercipta lewat angka Likes, Comments, maupun jumlah Followers menjadi validasi penampilan mereka dan memicu self-worth menjadi rapuh. Jerawat muncul sedikit saja, ada yang komen.

Kita sebagai orang tua mungkin sudah lebih mahir dalam menetapkan batasan sehingga kita tidak mudah overthinking, namun di kalangan remaja, hal ini bisa memengaruhi kehidupannya.

Ini yang bisa orang tua lakukan untuk membangun body confidence pada remaja

Memberikan pemahaman yang tidak keliru mengenai berat badan dan bentuk tubuh 

Bahwa tubuh yang ideal bukan yang kurus dan skinny. Berat badan ideal tergantung dari tinggi badan, usia, jenis kelamin, komposisi tubuh (otot vs lemak), maupun faktor genetik. Begitu juga dengan bentuk tubuh (body shape) setiap orang yang berbeda-beda. Bila anak paham akan bentuk tubuhnya, ia tidak akan terobsesi untuk punya bentuk tubuh yang jauh dari yang ia miliki.

Motivasi anak untuk menjadi versi terbaik dirinya sebagai bentuk dari self love.

Ketika anak sudah mulai insecure dengan berat badannya, kita sendiri bisa menilai, apakah memang anak sudah masuk dalam kategori obesitas. Bila, ya, sebaiknya kita yang justru menjadi motivator utamanya untuk olahraga, kita juga yang perlu memastikan kalori harian anak cukup, sesuai kebutuhannya. 

Membangun relasi yang sehat terhadap makanan

Tidak ada salahnya mengonsumsi makanan yang anak suka. Namun, semua yang berlebihan itu bisa berisiko. Kita bisa menyebut makanan tertentu sebagai comfort food, namun bukan artinya bisa selalu jadi pelipur lara. Segala jenis makanan kita butuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi harian kita. Anak perlu paham akan hal ini. Nggak selamanya camilan itu berupa makanan kemasan, ada saatnya anak perlu menikmati real food yang minim olahan maupun bumbu tambahan. 

Perluas lingkaran pertemanan anak lewat kegiatan di luar sekolah… 

yang sifatnya non akademis dan menyenangkan. Menurut psikolog Nikita Yudharani, M.Psi.,Psikolog, rasa berdaya dan percaya diri remaja dapat muncul dengan adanya kegiatan lain yang dinilai mumpuni dilakukan. Pertemanan yang luas juga menambah ruang dan kesempatan anak untuk eksplorasi cara bersosialisasi, tidak hanya terpaku dengan konten-konten di sosial media. Untuk itu, dengan menciptakan atau memberikan kesempatan lebih banyak ruang poositif bagi anak untuk berinteraksi dengan peers dinilai akan menjadi salah satu protektif faktor dari masalah yang muncul terkait rasa percaya diri.

Penampilan fisik bukanlah segalanya

Anak mungkin sadar bahwa secara penampilan, ia biasa saja. Kita perlu terus ingatkan anak bahwa beauty comes from within, percuma wajah cantik, kalau perilakunya tidak pantas. Percuma enak dipandang kalau wawasannya sempit. Percuma kalau penampilannya saja yang indah, tapi hatinya tidak. 

Saat kita mengajarkan anak tentang self-worth, pastikan…

Kita juga berhati-hati ketika merasa insecure, yang mungkin secara tidak sengaja sering kita perlihatkan pada anak. Misalnya, di depan cermin, kita cemberut sambil berkata-kata, “Duh, Mama, kok, gendut banget, ya?”, “Duh, jelek banget, deh, Mama kalau pakai baju ini!”. Ketika anak mendengar kalimat berisi persepsi negatif terhadap diri sendiri ini terus menerus diucapkan oleh orang tuanya, maka ia pun akan mudah berpikir hal yang sama, yang memicu body image issue atau rasa minder. Bahkan, sewaktu-waktu ia juga akan bertanya-tanya, “Kalau Mama/Papa saja merasa begitu, apalagi aku?” 

Baca juga: 5 Alasan Kecanduan Media Sosial Membuat Anak Remaja Tidak Bahagia 

Penting juga untuk membatasi paparan yang datang dari media sosial

Faktor eksternal tetap berperan secara dominan bila kita tidak menerapkan batasan. Maka, hal-hal berikut juga penting:

Edukasi digital tanpa henti

 

Keputusan untuk memberikan gadget pada anak ada di tangan kita. Ketika Anda mempercayakan anak untuk memiliki handphone sendiri, maka edukasi digital dari kita pun tidak boleh terhenti. Anak perlu selalu tahu batasan-batasan dalam menggunakan media sosial. Bahkan saat mendaftarkan akun pribadi anak saja, orang tua juga harus aware terhadap adanya batasan usia pada calon pengguna.

Tidak ignorant dan kalah dengan trend yang serba kilat

Meski gak perlu selalu jadi yang paling up-to-date, tapi kita perlu memahami dinamika digital dan jangan lengah terhadap bahaya-bahaya yang bisa anak temui di dunia maya.

Rumah sebagai ruang diskusi terbuka yang nyaman

Kebiasaan seperti makan bersama sekeluarga, kegiatan bersama di malam hari setelah semua selesai dengan aktifitas masing-masing, bahkan kegiatan di akhir pekan perlu menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh seluruh anggota keluarga. Dengan begitu, anak tidak akan menjadikan gawai sebagai ‘’teman hidup’’ satu-satunya. 

 

Image by Freepik

Share Article

author

RachelKaloh

Ibu 2 anak yang hari-harinya disibukkan dengan menulis artikel dan content di media digital dan selalu rindu menjalani hobinya, menjahit.


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan