Sorry, we couldn't find any article matching ''

7 Ciri Orang Tua yang Terlalu Fokus pada Nilai Akademik Anak dan Pendapat Psikolog
Nilai akademik memang penting, tetapi bukan satu-satunya tolok ukur keberhasilan anak. Simak 7 ciri orang tua yang terlalu fokus pada prestasi akademik dan pandangan psikolog.
Bagi sebagian orang tua, nilai akademik masih menjadi tolok ukur utama keberhasilan anak, bahkan sering ditempatkan di posisi teratas dibandingkan aspek perkembangan lainnya seperti keterampilan sosial, karakter, atau kesehatan mental.
Foto: Pexels
Pandangan ini biasanya berakar dari keyakinan bahwa prestasi akademik akan membuka peluang masa depan yang lebih cerah, seperti kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau mendapatkan pekerjaan yang baik.
Namun, hal ini memang tidak bisa dibilang benar atau salah sebab setiap keluarga memiliki nilai (value) yang mereka junjung dan standar keberhasilan yang berbeda-beda. Perbedaan ini wajar, selama tetap mempertimbangkan keseimbangan antara prestasi akademik dan perkembangan holistik anak.
BACA JUGA: Bantu Anak Menghadapi Stres Akademik, Lakukan 10 Cara Ini
7 Ciri-Ciri Orang Tua yang Terlalu Menilai Anak dari Prestasi Akademik
Secara umum, tanda-tanda berikut bisa berarti bahwa orang tua terlalu menilai anak dari nilai akademik saja tanpa mempertimbangkan aspek perkembangan yang lain.
Foto: Pexels
1. Selalu Bertanya Berapa Nilai Akademiknya
Setiap kali selesai ujian harian atau menerima rapor, pertanyaannya selalu seputar: dapat nilai berapa? Peringkat berapa? Seolah yang dipedulikan hanya angka yang tertera di selembar kertas. Bagus kalau nilainya baik, kalau tidak? Pertanyaannya tidak sampai situ saja tapi kadang berubah menjadi ceramah yang panjang.
2. Suka Membandingkan Nilai Anak dengan Anak Lain
Segala bentuk perbandingan pasti tidak enak rasanya, apalagi kalau kita ditempatkan di posisi yang lebih inferior. Dengan membandingkan anak dengan orang lain atau diri orang tua sendiri di masa lalu—tanpa memahami tantangan yang kini dihadapinya—hanya menambah tekanan, bukan motivasi.
3. Topik Diskusi Selalu Berkaitan dengan Prestasi
Seperti tidak ada topik yang lain, setiap hari pembicaraannya pasti selalu terkait kisah sukses orang-orang dengan prestasi gemilang. Baik itu cerita tentang anak kolega yang berhasil mendapat beasiswa ke luar negeri, anak yang diterima universitas bergengsi, atau anak yang selalu juara dan membawa pulang medali.
4. Gencar Menyuruh Anak Ikut Kompetisi
Belum tentu anak benar-benar ingin melakukannya. Namun, karena dorongan orang tua dan rasa hormat, mereka memilih menurut. Mungkin anak bersedia ikut 1–2 kompetisi, tetapi bukan berarti harus terus-menerus.
5. Abai Terhadap Perasaan Anak
Orang tua yang menilai anak dari skor cenderung sulit membangun komunikasi dua arah, karena fokusnya semata pada hasil belajar, hal lain tidak penting. Saat prestasi anak belum sesuai harapan, mereka enggan mencari tahu penyebabnya, mendengar perasaan anak, atau menghargai usaha yang sudah dilakukan.
6. Memaksakan Target
Orang tua sering mengarahkan anak pada satu atau dua jalur kehidupan saja dan tidak boleh ke mana-mana, padahal masih banyak pintu kesempatan di luar sana. Menentukan les tambahan atau kegiatan belajar tanpa memedulikan minat, kondisi fisik, atau kesiapan mental anak pun menjadi ciri bahwa orang tua hanya terpaku pada nilai akademik anak saja.
7. Mengabaikan Prestasi Nonakademik
Ketika anak berprestasi di bidang lain, prestasi tersebut tidak dianggap sepenting performa mereka di bidang akademik. Tidak menerima apresiasi selayaknya tentu akan berdampak pada kondisi mental anak.
Menurut Psikolog, Anak Harus Dilihat Secara Utuh
“Melihat anak harus secara utuh, karena dengan cara inilah orang tua bisa mendampingi anak sesuai kebutuhannya,” cetus Alia Mufida, M.Psi., Psikolog., seorang Psikolog Klinis Anak dan Remaja. Menurut psikolog yang akrab disapa Fida ini, tidak adil bila anak dilihat hanya dari satu aspek perkembangan saja. Padahal, seluruh aspek tumbuh kembang sama pentingnya.
“Perlu diingat, setiap anak itu unik. Tidak ada anak yang sama, walau kembar sekalipun. Potensi dan kombinasi potensi yang Tuhan berikan ke setiap anak terlalu luar biasa. Jadi, sayang sekali jika orang tua harus melihat dari satu aspek saja yaitu aspek akademik. Itu tidak fair untuk anak.”
Untuk mengukur optimal atau tidaknya perkembangan anak, Fida menjelaskan bahwa nilai akademik bukan menjadi satu-satunya. Masih banyak aspek lain yang mendukung keoptimalan perkembangan anak secara utuh.
Bukan Hanya IQ, Tetapi EQ dan Soft Skill Juga Penting
Foto: Pexels
“Melihat anak secara utuh artinya melihat juga keberfungsian anak secara emosional, sosial hingga kemampuan problem solving ketika anak menghadapi masalah atau berada di dalam tekanan,” ujar Fida.
Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa unggul di bidang akademik saja tidak membantu keberlanjutan hidup anak selepas lulus dari seluruh jenjang pendidikan dan memasuki dunia kerja.
“Biasanya orang tua yang hanya berfokus kepada nilai akademik anak saja, punya tujuan akhir untuk anak bisa masuk ke sekolah di mana nilai akademis menjadi syarat utama pendaftaran. Sayangnya, itu sebetulnya hanyalah tujuan jangka pendek. Hidup anak berlanjut ketika selesai kuliah, di mana nilai-nilai tersebut tak lagi jadi hal utama, melainkan kematangan emosional, sosial, soft skills-lah yang menjadi lebih diuji,” Fida menambahkan.
“Menurut penelitian, justru Emotional Quotient (EQ) yang butuh lebih difokuskan, sambil mengobservasi apa kebutuhan anak. Contohnya, anak memiliki nilai akademik kurang baik, namun perilakunya baik, memiliki minat olahraga yang tinggi, kemudian minatnya didukung sambil dibantu agar nilai akademiknya membaik dengan diberikan les privat, bukankah anak akan berkembang lebih baik?
Sebaliknya, anak dengan nilai akademik yang baik, juga perlu dicek apakah soft skills-nya juga berkembang dengan baik? Jika iya, bagus sekali. Namun apabila seorang anak yang memiliki nilai akademik baik, namun ternyata sangat kompetitif, perfeksionis, tidak mau kalah, dan mudah stres jika tidak mencapai prestasi yang diinginkan, itu berarti perkembangan mental anak belum baik dalam menghadapi kegagalan,” jelas Fida.
Intinya, keberhasilan hidup bukan sebatas unggul dalam bidang akademik saja, tetapi juga berasal dari berbagai aspek kehidupan yang sama-sama perlu dikembangkan sejak dini. IQ dan EQ harus seimbang, disertai soft skills yang mumpuni.
“Kembali lagi, melihat anak perlu secara utuh. Orang tua juga perlu melihat bagaimana anak berproses, bukan melulu berfokus pada hasil akhir,” tutup Fida.
BACA JUGA: Anak Punya Nilai Bagus, Belum Tentu Sukses? Ini Penyebabnya!
Ditulis ulang oleh: Retno Raminne Nurhaliza Pitoyo
Cover: Pexels
Share Article


POPULAR ARTICLE


COMMENTS