Sorry, we couldn't find any article matching ''

Seperti Apa Kurikulum yang Cocok untuk Gen Beta? Ini Kata Psikolog Pendidikan
Bagaimana kurikulum yang sesuai dengan Gen Beta (2025–2039) menurut psikolog pendidikan? Ada beberapa yang harus diperhatikan.
Generasi Beta, sebutan bagi anak-anak yang lahir mulai tahun 2025 ke atas, masih menjadi misteri dalam banyak literatur dan kajian akademis. Tentu saja, bayi-bayi ini baru saja menyicip kehidupan sehingga yang ada hanyalah beberapa prediksi oleh ahli.
Minimnya riset tentang Gen Beta membuat banyak pihak, termasuk para pendidik dan orang tua, masih mengandalkan pengamatan dan pendekatan berdasarkan pola pengasuhan generasi sebelumnya. Namun, satu hal yang pasti: kita tidak bisa membesarkan generasi baru dengan cara lama—terutama di tengah pesatnya kemajuan teknologi.
Mommies Daily pun berkesempatan untuk berbincang dengan Kara Handali, M.Psi, psikolog pendidikan, mengenai langkah yang bisa dilakukan orang tua untuk mempersiapkan Generasi Beta dengan pendekatan yang disesuaikan dari kebutuhan tumbuh kembang anak secara umum, serta mempertimbangkan konteks era digital yang kini semakin dominan.
BACA JUGA: Gen Alpha vs Gen Beta, Kenali Persamaan dan Perbedaannya
Literasi Digital dan Stimulasi Sensori Tetap Utama
Dalam fase awal kehidupan anak, khususnya usia 0–5 tahun, psikolog Kara menjelaskan bahwa stimulasi sensori tetap menjadi fondasi utama tumbuh kembang. Hal itu didasarkan dari pengamatannya terhadap orang tua Gen Beta yang adalah Gen Y dan Gen Z. “Pada dasarnya kebutuhan stimulasi tumbuh kembang anak dari masa ke masa adalah optimalisasi stimulasi sensori,” jelasnya saat dihubungi oleh Mommies Daily.
Usia 0–5 tahun adalah masa emas di mana otak anak berkembang dengan sangat cepat. Karena itu, psikolog Kara menyarankan untuk pendidikan Gen Beta kelak menggunakan kurikulum yang juga memenuhi kebutuhan sensori anak, seperti yang saat ini sudah umum dilakukan. Contohnya bisa seperti kegiatan yang merangsang pancaindra, gerak tubuh, dan interaksi langsung dengan lingkungan sekitar.
Dijelaskan juga bahwa terkait perkembangan teknologi, hal yang lebih penting adalah memperkenalkan literasi digital dan pembatasan screen time. Menurutnya orang tua pun perlu membekali diri. “Selain anak, orang dewasa (orang tua) juga perlu membekali diri dengan literasi digital sehingga lebih paham bagaimana membesarkan anak di era digital ini,” ujarnya.
Literasi digital bukan hanya soal cara menggunakan teknologi, tetapi juga mencakup kemampuan memilih konten yang sesuai, memahami dampak penggunaan layar berlebih (screen time), hingga membentuk kebiasaan digital yang sehat.
Pengelolaan Emosi Sejak Dini
Foto: Pexels
Selain literasi digital dan stimulasi sensori, psikolog Kara juga menjelaskan bahwa aspek sosial emosional tidak kalah penting. Anak-anak perlu dikenalkan pada berbagai emosi, belajar mengelolanya, serta membangun hubungan sosial yang sehat, termasuk kesadaran dan keterampilan sosial. Ini akan menjadi modal dasar yang akan mereka bawa hingga dewasa.
“Selain itu, beriringan dengan teknologi yang serba cepat, anak perlu mengembangkan resiliensi sejak kecil,” tambahnya. Kemampuan seperti menunggu, menghadapi kegagalan, mengatasi rasa bosan, dan hal-hal lain yang sifatnya membutuhkan ketahanan diri perlu ditanamkan. Inilah yang akan menjadi bekal penting bagi Gen Beta dalam menghadapi tantangan zaman mereka nanti.
Meski kita belum tahu persis bagaimana wajah Gen Beta kelak, orang tua dapat mulai menyiapkan anak-anaknya dari sekarang dengan memberi stimulasi yang tepat, membekali diri dengan literasi digital, serta membangun ketahanan emosional yang kuat—tentu saja, dengan dukungan pemerintah, pendidik, dan sistem kurikulum yang terus beradaptasi dengan zaman.
BACA JUGA: 8 Produk Eco-Friendly untuk Gen Beta: Langkah Kecil, Dampak Besar
Ditulis oleh: Retno Raminne Nurhaliza Pitoyo
Cover: Freepik
Share Article

COMMENTS