Sorry, we couldn't find any article matching ''

Pernikahan Anak di Bawah 15 Tahun Masih Terjadi: Di Mana Peran Negara?
Kasus pernikahan anak di Lombok Tengah kembali memicu keprihatinan publik. Bagaimana negara seharusnya hadir mencegah praktik ini dari berbagai sisi?
Pernikahan anak masih menjadi persoalan pelik di berbagai daerah di Indonesia. Kasus terbaru di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), kembali menyita perhatian publik. Sepasang remaja—masing-masing berusia 14 dan 16 tahun—menikah melalui prosesi adat merariq, sebuah tradisi dalam budaya Sasak yang secara turun-temurun dilakukan. Meski dilakukan dalam bingkai budaya, fakta bahwa keduanya masih anak-anak menimbulkan kekhawatiran yang serius tentang masa depan, hak, dan perlindungan anak di Indonesia.
Situasi ini pun memunculkan pertanyaan besar: Bagaimana seharusnya negara hadir untuk mencegah dan menangani praktik pernikahan anak?
BACA JUGA: Viral Pernikahan Anak SMP dan SMK di Lombok Tengah, Ini 5 Faktanya!
Pernikahan Anak adalah Pelanggaran Hak Anak
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Perkawinan, usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun untuk laki-laki maupun perempuan. Selain itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) juga mengkategorikan pemaksaan pernikahan anak sebagai bentuk kekerasan seksual.
Artinya, negara secara hukum telah mengakui bahwa pernikahan anak bukan hanya persoalan sosial, melainkan bentuk pelanggaran terhadap hak anak yang harus dicegah dan ditindak tegas.
Peran Negara: Pencegahan, Perlindungan, dan Penegakan Hukum
1. Regulasi dan Penegakan Hukum
Negara telah mengatur batas usia perkawinan melalui UU, tetapi tantangannya adalah penegakan di lapangan, terutama ketika berhadapan dengan praktik adat seperti merariq. Dalam kasus Lombok Tengah, aparat telah memeriksa orangtua, tokoh adat, dan penghulu yang terlibat. Langkah ini penting, namun harus konsisten diterapkan di seluruh wilayah.
Selain itu, beberapa daerah telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) khusus, seperti Perda No.5 Tahun 2021 di NTB tentang Pencegahan Perkawinan Anak. Negara perlu memastikan bahwa regulasi ini disosialisasikan secara masif dan dijalankan dengan melibatkan lintas sektor.
2. Edukasi dan Sosialisasi Budaya yang Progresif
Negara tidak bisa serta-merta menghapus tradisi, tetapi bisa dan harus hadir untuk mereformasi praktik budaya yang bertentangan dengan hak anak. Melalui edukasi berbasis komunitas, negara dapat menggandeng tokoh adat dan agama untuk mentransformasi tradisi seperti merariq agar tidak mencederai masa depan anak-anak.
Misalnya, memperjelas batas usia dan persetujuan dalam praktik merariq, serta mengganti simbolisasi pernikahan dengan prosesi budaya non-perkawinan hingga anak cukup umur dan siap.
3. Intervensi Sosial dan Ekonomi
Banyak pernikahan anak terjadi karena faktor kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan ketimpangan gender. Negara harus memastikan anak-anak, terutama perempuan, memiliki akses pendidikan yang layak, program pemberdayaan ekonomi keluarga, serta layanan kesehatan reproduksi dan konseling.
Melalui program seperti PKH (Program Keluarga Harapan), Puspaga (Pusat Pembelajaran Keluarga), dan BKKBN, negara bisa memberikan intervensi lebih awal agar keluarga tidak menjadikan pernikahan sebagai solusi kemiskinan atau aib sosial.
4. Peran Lembaga Perlindungan Anak
Lembaga seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) perlu diperkuat fungsinya sebagai pengawas, pengadvokasi, dan pendidik masyarakat. KPAI sendiri sudah meminta sanksi tegas atas kasus di Lombok Tengah, tetapi peran tersebut perlu dibarengi dengan upaya preventif dan transformatif di level akar rumput.
Perlunya Negara Hadir
Foto: Freepik
Membiarkan praktik pernikahan anak atas nama adat adalah bentuk pembiaran terhadap kekerasan sistemik. Negara tidak boleh bersikap netral dalam hal ini. Karena ketika negara diam atau tidak cukup aktif, maka anak-anak kehilangan perlindungan mereka yang paling mendasar: hak atas masa kecil, pendidikan, dan tubuhnya sendiri.
Pernikahan bukan sekadar seremoni. Ia adalah komitmen dan tanggung jawab besar yang memerlukan kesiapan emosional, mental, fisik, dan finansial. Anak-anak belum siap untuk itu.
Kasus pernikahan anak di Lombok Tengah adalah cermin dari tantangan besar yang dihadapi Indonesia: antara hukum positif dan adat, antara norma sosial dan hak asasi anak. Peran negara harus diperkuat dalam tiga aspek: penegakan hukum, edukasi budaya, dan pemberdayaan keluarga. Karena perlindungan anak bukan pilihan, melainkan kewajiban konstitusional.
BACA JUGA: Viral Kasus Dekorasi Pernikahan Berantakan, Ini Tips Memilih Wedding Organizer dan Rekomendasinya
Cover: Freepik
Share Article


POPULAR ARTICLE


COMMENTS