banner-detik
PARENTING & KIDS

Pelecehan Seksual oleh Anak SD, Kenapa Bisa Terjadi dan Apa yang Harus Dilakukan? Ini Jawaban Psikolog

author

Katharina Menge21 hours ago

Pelecehan Seksual oleh Anak SD, Kenapa Bisa Terjadi dan Apa yang Harus Dilakukan? Ini Jawaban Psikolog

Terjadi lagi kasus pelecehan seksual yang pada anak-anak, tetapi pelakunya juga anak-anak. Kenapa ini bisa terjadi? Lihat jawaban psikolog di bawah ini!

Beberapa hari belakangan media sosial diramaikan oleh kisah memilukan dari seorang influencer, Ndputriw, yang membagikan cerita tentang anaknya yang berusia 5 tahun menjadi korban pelecehan seksual. Hal yang membuat kasus ini terasa makin menyedihkan adalah fakta bahwa pelakunya adalah anak berusia 8 tahun. Ya, Mommies. Seorang anak kecil, masih duduk di bangku SD, menjadi pelaku pelecehan terhadap balita.

BACA JUGA: 7 Cara Edukasi Anak Menghindari Pelecehan Seksual

Kronologi Singkat Kasus yang Viral

Foto: Freepik

Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, termasuk penuturan Ndputriw sendiri, kejadian bermula saat anaknya enggan diajak ke masjid untuk shalat, padahal sebelumnya dia selalu bersemangat menjalani kebiasaan tersebut. Sang anak kehilangan semangat untuk ke masjid, bahkan untuk sholat Jumat seminggu sekali pun dia tidak mau.

Dari situ, terbongkar bahwa ada tindakan pelecehan seksual yang terjadi pada anaknya. Sang anak bercerita bahwa dia mengalami hal tidak menyenangkan. “Aku gak mau sholat, karena kalau sholat si Y main masukan alat kelaminnya ke pantat,” tulis Ndputriw dalam unggahannya. Singkat cerita, setelah melalui pengusutan, korban mengaku telah melakukan pelechan itu sebanyak tiga kali kepada anak Ndputriw, dan ada tiga anak lain yang juga mengalami hal serupa dari pelaku yang sama.

Kasus ini viral karena menyentil satu kenyataan pahit: bahkan anak-anak kini tidak aman di antara sesamanya, dan banyak orang tua yang masih bingung harus mulai dari mana untuk mencegah hal seperti ini terjadi pada anak mereka.

Kenapa Anak Usia 8 Tahun Bisa Jadi Pelaku Pelecehan Seksual?

Untuk menjawab pertanyaan ini, Mommies Daily bertanya pada Belinda Agustya, S.Psi., M.Psi. psikolog klinis anak dari Rainbow Castle. Menurut Belinda, kasus seperti ini tidak bisa dilepaskan dari tiga faktor utama: pengalaman traumatis, paparan konten seksual tanpa pengawasan, dan pola asuh orang tua.

“Faktor terbesarnya bisa jadi karena anak ini sebelumnya juga pernah menjadi korban pelecehan. Atau bisa juga karena paparan dari konten seksual melalui gadget dan media sosial yang tidak diawasi. Dan semua ini kembali ke pola asuh, seberapa jauh orang tua memberi edukasi seksual dan membatasi akses anak ke informasi yang tidak sesuai usia mereka,” ujar Belinda.

Artinya anak tidak tiba-tiba jadi pelaku, Mommies. Mereka menyerap, mengimitasi, dan memproyeksikan kembali hal-hal yang mereka alami atau lihat. Bila tidak ada filter dari orang dewasa, maka semua informasi yang mereka dapat akan dianggap “normal”.

Bukan Termasuk Eksplorasi Dini

Apakah ini cuma bentuk eksplorasi anak yang belum terarah? Jawabannya, tidak sesederhana itu.

Menurut Belinda, jika pelaku yang berusia 8 tahun itu sudah menunjukkan bahwa ia mendapatkan kepuasan tertentu dari perilaku yang dilakukan, dan bahkan mengakuinya secara sadar, maka itu bukan lagi eksplorasi polos, melainkan bentuk penyimpangan yang harus ditangani secara serius.

“Pada usia SD, anak belum seharusnya memiliki sensasi seksual seperti yang terjadi pada masa pubertas. Kalau ini sudah muncul lebih dini, artinya ada penyimpangan yang terjadi dan harus segera ditangani, bukan hanya pada korban, tapi juga pelakunya,” tegas Belinda.

Kapan Sebaiknya Edukasi Seks pada Anak Dimulai?

Jawabannya sejak bayi. Namun tentu bukan dengan materi yang rumit atau vulgar. Edukasi seksual dimulai dari penghargaan terhadap tubuh anak sendiri, mengenalkan area pribadi, membedakan sentuhan aman dan tidak aman, hingga membangun komunikasi terbuka soal hal-hal yang membuat mereka tidak nyaman.

“Misalnya, saat mengganti popok, orang tua bisa mengatakan, ‘Maaf, ya, Nak, mama mau bersihkan bagian pribadimu.’ Itu sudah bagian dari edukasi seksual. Anak jadi belajar bahwa tubuhnya miliknya, dan tidak semua orang bisa menyentuhnya sembarangan,” jelas Belinda.

Semakin dini edukasi seksual dimulai, semakin kuat fondasi anak untuk mengenali, melindungi, dan menyuarakan batasannya.

Jika Anak Menjadi Korban, Apa yang Harus Orang Tua Lakukan?

Ini bagian paling penting, Mommies. Jangan panik tapi juga jangan tunda. Psikolog Belinda menyarankan dua langkah paralel yang harus segera diambil orang tua, yaitu:

1. Pendampingan psikologis

Bawa anak ke psikolog atau psikiater anak untuk pemulihan trauma dan pendampingan jangka panjang.

2. Jauhkan anak dari pelaku dan lingkungan berisiko

Pastikan anak tidak lagi bertemu atau berada di lingkungan yang membuatnya terancam.

Jika memungkinkan dan siap secara mental, laporkan kasus tersebut ke pihak berwenang. Ini bukan hanya soal keadilan, tetapi juga cara kita menunjukkan bahwa anak kita layak dilindungi.

“Jangan lupa juga untuk menjaga komunikasi terbuka, dan validasi emosi anak. Katakan bahwa mereka tidak salah, dan mereka tidak sendiri. Itu penting untuk proses pemulihan,” tambah Belinda.

Foto: Freepik

Kasus ini merupakan alarm keras bagi kita semua. Pendidikan seksual bukanlah hal yang tabu, gadget bukan mainan sembarangan, dan anak-anak, mereka adalah tanggung jawab kolektif orang tua.

Sebagai orang tua, Mommies dan Daddies mungkin tak bisa mengubah dunia dalam semalam. Namun kita bisa mulai dari ruang paling kecil, yaitu dari rumah, dari pelukan, dari percakapan dengan anak sendiri. Dan mungkin, dari keberanian untuk tidak lagi diam.

BACA JUGA: Ciri-ciri Predator Seksual, Orang Tua Wajib Kenali agar Bisa Hindari Tindakan Pelecehan Seksual!

Foto: Freepik

Share Article

author

Katharina Menge

-


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan