Rencana Mendikdasmen mengembalikan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA mendapat berbagai tanggapan. Fenomena 5 tahun ini lagi-lagi terulang kembali.
Kemundurankah ketika Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti berencana menerapkan kembali sistem penjurusan di tingkat sekolah menengah atas pada tahun ajaran 2025/2026?
Jujur sebagai orangtua murid, saya, tuh, capek banget, sih, menghadapi fenomena per 5 tahun ini. Ganti menteri, ganti kebijakan. Setiap 5 tahun sekali, kurikulum gonta-ganti. KTSPlah, Kurtilaslah, Merdekalah. Kapan Indonesia punya roadmap pendidikan yang lebih ajeg 10 hingga 20 tahun, atau bahkan 50 tahun ke depan?
China sudah bisa ekspor SDM untuk jadi juara olimpiade matematika sebagai perwakilan Amerika Serikat. Negara kita? Pergantian kurikulum adalah prestasinya. LELAH!
Berikut ini adalah tanggapan dari perwakilan guru, siswa, dan orangtua mengenai rencana Abdul Mut’i. Untuk testimonial guru, nama disamarkan demi kepentingan bersama ;)
Ini, tuh, makin nggak efektif, sih. Malah bikin sekolah makin ribet. Ini, kan, udah setengah jalan sama Kurikulum Merdeka. Kasihan adik-adik kelas 10 sekarang. Selama 1 tahun ini sudah belajar sesuai Kurikulum Merdeka. Kita di kelas 10 ada tes minat bakat. Dari situ kita bisa tentukan pilihan jurusan pas kuliah, jadi mata pelajarannya sudah disesuaikan.
Saat ini mereka sedang siap-siap memilih mata pelajaran pilihan, sesuai dengan minat bakat. Kalau sekarang diganti lagi, sia-sia dong apa yang sudah dikerjakan dan disiapkan oleh tim BK dan kurikulum sekolah. Sekolah juga jadi ribet.
Aku sebagai anak kelas 11, jujur lebih suka kurikulum merdeka, karena siswa bisa memilih pelajaran sesuai dengan passion. Kita, kan, udah di-guide untuk milih apa pas kuliah nanti dari kelas 10, pas milih jurusan di kelas 11 udah sesuai dengan apa yang mau kita pilih nanti pas kuliah.
Aku sempat juga diskusi sama teman-teman soal ini. Kita merasa jadi kayak kelinci percobaan. (Awan, kelas 11 SMA Swasta, Jakarta Selatan)
Baca juga: Link Soal-Soal UTBK dengan Nilai Bagus
Menurut saya malah dengan kembalinya jurusan IPA, IPS, dan Bahasa malah jadi kembali seperti dulu. Anak-anak dikotak-kotakkan di dalam “kasta” jurusan.
Sudah jamaklah, ya, kalau anak-anak IPA pasti akan dikategorikan anak pintar, sementara 2 jurusan lainnya dianggap anak-anak buangan. Dulu saja, di sekolah saya (sekolah di bawah yayasan Katolik khusus wanita) orangtuanya sampai dipanggil ke sekolah, ketika si anak tidak memilih IPA sebagai jurusannya. Segitu ‘pentingnya’ untuk memilih IPA.
Selain itu, belum tentu semua anak suka dengan semua mata pelajaran IPA, atau dipakai ketika kuliah nantinya. Seperti misalnya ketika si anak bercita-cita jadi dokter, mata pelajaran Fisika mungkin tak perlu dipelajari di SMA. Ambil mapel Biologi dan Kimia saja misalnya. Pilihan lain bisa ambil mapel yang dia suka seperti bahasa asing.
Minusnya di kurikulum merdeka, pilihan jadi lebih lebar. Kalau orangtua dan guru nggak bisa mengarahkan dengan baik, malah bisa menimbulkan kebimbangan buat sebagian anak. Ini termasuk anak saya. Hahaha…
Sementara buat anak-anak sendiri, di Kurikulum Merdeka mereka bisa memilih mapel yang mereka lebih suka. Anak-anak jadi lebih enjoy sekolahnya, lebih membaur tanpa ada sekat jurusan, dan lebih banyak pilihan prodinya karena bisa lintas jurusan. Yang penting pengarahannya bagus. (Ayudia, orangtua murid kelas 11 SMA Swasta, Jakarta Selatan)
Baca juga: Kegiatan Volunteer yang Bisa Diikuti Oleh Anak SMA dan SMP
Sebagai guru, sebenarnya tidak akan terlalu mengalami kesulitan yang berarti jika formatnya dikembalikan ke jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Toh, sebelumnya juga sudah begitu. Tinggal dikembalikan lagi saja kurikulumnya seperti yang sudah-sudah.
Soal bagus mana, keduanya memiliki plus minus. Untuk Kurikulum Merdeka plusnya adalah anak-anak jadi bisa memilih mata pelajaran sesuai tujuan mereka nanti saat kuliah. Apalagi bila disertai dengan tes minat bakat sebelumnya.
Sementara dengan penjurusan, untuk anak-anak yang sedianya masih bimbang alias galau, bisa lebih fokus dalam memilih jurusan kuliah.
Namun begitu, menilai bahwa Kurikulum Merdeka sama sekali tidak efektif, tidak bisa dikatakan fair. Karena penerapannya sendiri belum ada 5 tahun. Menurut saya, mengembalikan penjurusan di tahun ajaran 2025/2026 ini merupakan keputusan buru-buru. Tapi sebagai guru, saya dan rekan guru lainnya akan selalu siap dengan materi-materi dalam kurikulum apa pun, yang dibutuhkan anak-anak dalam proses belajar mengajar. (Bapak Kuncoro, guru SMA Swasta, Depok)
Photo cover by Freepik