Benarkah kebijakan 4 hari kerja bisa meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan karyawan? Cek pandangan pakar berikut ini!
Dalam beberapa tahun terakhir, konsep bekerja 4 hari dalam seminggu semakin populer di berbagai negara. Beberapa negara seperti Jerman, Belgia, Inggris, dan Finlandia telah menerapkan kebijakan ini tanpa mengurangi gaji karyawan.
Bahkan, Menteri BUMN di Indonesia juga telah melakukan uji coba kebijakan serupa di beberapa perusahaan BUMN. Namun, apakah sistem ini benar-benar efektif? Apakah kebijakan ini bisa diterapkan di Indonesia secara luas?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Mommies Daily berbincang dengan Dr. Arum Etikariena, M.Psi., Psikolog, guna menggali manfaat, tantangan, serta peluang penerapan sistem kerja ini di Indonesia.
BACA JUGA: Wacana 4 Hari Kerja di Jakarta, Dampak hingga Manfaatnya bagi Ibu Bekerja
Menurut Dr. Arum, kebijakan 4 hari kerja adalah salah satu bentuk desain lingkungan kerja yang bertujuan meningkatkan kenyamanan karyawan. Kebijakan ini didasarkan pada berbagai manfaat yang bisa dirasakan baik oleh karyawan maupun perusahaan.
Manfaat bagi Karyawan dan Perusahaan:
Namun, di sisi lain, ada beberapa tantangan yang perlu dipertimbangkan, seperti:
Untuk perusahaan berbasis teknologi, kebijakan ini mungkin lebih mudah diterapkan karena fleksibilitas kerja yang lebih tinggi. Namun, bagi perusahaan dengan sistem pelayanan langsung kepada pelanggan, tantangan ini masih cukup besar.
Salah satu faktor utama dalam kebijakan ini adalah bagaimana sistem kerja akan diterapkan. Menurut informasi yang dihimpun dari Tempo.com, jika 4 hari kerja diterapkan dengan konsep work compressed, di mana total jam kerja tetap 40 jam per minggu (dengan 10 jam kerja per hari), maka efektivitasnya masih perlu dikaji lebih lanjut.
“Bekerja lebih dari 8 jam sehari dapat berdampak negatif bagi karyawan, baik secara fisik maupun mental. Batas optimal waktu kerja manusia dalam satu hari adalah 8 jam. Jika dipaksakan menjadi 10 jam sehari, risiko kelelahan fisik dan mental meningkat, yang justru bisa menurunkan produktivitas,” jelas Dr. Arum.
Idealnya, jika ingin menerapkan kebijakan 4 hari kerja, jam kerja maksimal dalam seminggu adalah 32 jam, bukan 40 jam. Jika karyawan dipaksa bekerja lebih lama dalam sehari demi menutup jam kerja yang hilang, maka manfaat keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi justru bisa hilang.
Apakah kebijakan ini bisa diterapkan di Indonesia? Menurut Dr. Arum, kebijakan ini bisa dicoba, tetapi memerlukan studi komprehensif terlebih dahulu.
Indonesia sudah memiliki pengalaman dalam fleksibilitas kerja selama pandemi COVID-19, dengan adanya sistem kerja dari rumah (work from home/ WFH) dan sistem kerja hibrida. Namun, ada beberapa tantangan yang perlu diperhatikan.
Meskipun begitu, dengan persiapan yang matang dan edukasi yang menyeluruh bagi karyawan dan perusahaan, sistem ini masih mungkin untuk diuji coba di Indonesia. Negara-negara yang telah sukses menerapkannya bisa menjadi referensi untuk memahami tantangan dan solusi yang dapat diterapkan di Indonesia.
Kebijakan 4 hari kerja menawarkan banyak manfaat, seperti peningkatan keseimbangan hidup dan produktivitas karyawan. Namun, tantangan dalam hal stabilitas keuangan perusahaan, efektivitas kerja, dan kesiapan industri harus menjadi pertimbangan utama sebelum kebijakan ini benar-benar diterapkan secara luas di Indonesia.
Jika sistem ini diterapkan tanpa mengurangi jam kerja mingguan, dampak negatifnya bisa lebih besar daripada manfaatnya. Oleh karena itu, perlu kajian lebih dalam sebelum kebijakan ini diterapkan secara nasional.
Mommies, bagaimana menurut kalian? Apakah kebijakan 4 hari kerja ini menarik untuk diterapkan di Indonesia? Yuk, bagikan pendapat kalian di kolom komentar.
BACA JUGA: Usia Pensiun Naik Jadi 59 Tahun Mulai 2025, Ini Dampaknya bagi Pekerja
Ditulis oleh: Nazla Ufaira Sabri
Cover: Freepik