Yuk, kenalan dengan Nadya Pramesrani, psikolog klinis dewasa dari Rumah Dandelion yang berbagi cerita soal menjadi psikolog hingga tips akur di pernikahan.
Bercita-cita ingin membantu orang tua dan memiliki pekerjaan dengan waktu yang fleksibel akhirnya berhasil diwujudkan oleh Nadya Pramesrani, M.Psi., Psikolog. Ia juga merupakan seorang psikolog klinis dewasa dan Co-Founder Rumah Dandelion, sebuah pusat edukasi untuk mendukung perkembangan individu dalam keluarga.
Selain memberikan konseling pada setiap kliennya, Nadya Pramesrani juga sosok ibu dari dua orang anak laki-laki yang sudah beranjak remaja. Nah, mau tahu bagaimana kehidupannya menjadi seorang psikolog, istri dan juga ibu?
Mommies Daily berkesampatan untuk bertanya langsung kepada Nadya Pramesrani mulai dari bagaimana ia bisa menjadi seorang psikolog, tips membagi waktu untuk keluarga dan diri sendiri, hingga cara yang harus dilakukan saat ada konflik dengan pasangan.
Awalnya pengen jadi dokter sebenarnya. Tapi, waktu kuliah tidak lulus seleksi untuk masuk FK (Fakultas Kedokteran). Lulusnya di psikologi. Saat memilih 2 jurusan untuk seleksi PTN, sering ditanya mau kerja apa. Aku selalu jawab mau bekerja yang bisa bantu orang tua dan waktu kerja yang fleksibel.
At that time, profesi yang aku lihat bisa memenuhi kriteria tersebut adalah dokter atau psikolog. Setahun pertama kuliah di psikologi semakin jatuh cinta dengan bidang ini. Semakin belajar dan semakin penasaran dengan dinamika pikiran-emosi-perilaku manusia yang sangat bermacam-macam.
BACA JUGA: Diam-diam, Ini 7 Kekhawatiran yang Sering Dirasakan Suami! Istri Wajib Tahu
Yang dilakukan secara umum seperti mendengarkan masalah klien, bantu mereka merunutkan isi kepala dan memahami emosi yang dirasakan, sehingga dapat memilih respon yang ingin ditampilkan dengan matang. Membantu orang lain untuk merasa berdaya atas dirinya dan memiliki kendali atas hidupnya.
Seringkali, aku juga banyak belajar tentang hidup dan pengembangan diri dari masalah-masalah klien. Permasalahan yang sering ditemui seperti hal-hal yang berkaitan dengan relasi dalam keluarga, baik itu dengan pasangan, anak, orang tua, siblings.
Datang dengan keluhan kerjaan, balik lagi ada kaitannya dengan isu di keluarga.
Datang dengan keluhan pasangan, balik lagi ada kaitannya dengan isu di keluarga asal.
Datang dengan keluhan pertemanan, balik lagi ada kaitannya dengan isu di keluarga.
Hahahah pernah banget! Burnout dan compassion fatigue kayak faktor resiko seorang psikolog, ya. Waktu awal-awal praktik, selalu dipesankan sama mentor untuk punya boundaries terhadap masalah klien. Pahami sejauh mana peran kita sebagai psikolog bisa bantu mereka, sehingga ketika sesi selesai, emosi negatif yang ditumpahkan klien ke kita nggak terus menempel dan membuat kita jadi kepikiran atas hidup mereka. Empati, bukan simpati.
Semakin lama praktek, semakin mengenali juga limit diri bisa praktek dalam 1 hari atau 1 minggu untuk berapa klien. Dan maintain di limit optimal tersebut.
Setiap 2-3 bulan sekali aku juga biasanya ada waktu 1 minggu benar-benar off praktek. Buat bantu jaga diri supaya tidak mengalami compassion fatigue itu.
Kalau ada klien-klien dengan kasus tertentu yang aku sadar emosi negatifnya menetap, aku juga biasanya release emosi itu ke sesama teman psikolog. Emosinya nempel nih, aku overwhelmed. Ada momen-momen kalau aku butuh nangis karena sedemikian besar tumpahan emosi klien, ya, nangis dulu aja. Release, whoosaah, carry on.
Terakhir, makan manis membantu. Hehehe, aku suka makan cokelat kalau selesai praktik.
Suami, sahabat, teman-teman psikolog, anak. Emotional support terbesar dapat dari mereka. ART dan supir juga berperan penting untuk menjadi operational support aku.
Scheduling itu membantu. Ada waktu buat diri, waktu buat suami, waktu buat anak. Karena anak-anak udah besar, terbantu banget dengan jadwal sekolah mereka yang juga sudah panjang. Waktu sekolah mereka = waktu kerja aku.
Karena mereka udah remaja dan praremaja juga, ada waktu-waktunya mereka juga butuh me time dan waktu main mereka sendiri. Sehingga, me time anak-anak = me time aku. Waktu main mereka = waktu aku bersama suami. Family time kita jadwalkan sama-sama, yang biasanya adalah saat makan malam dan bed time routine, serta on weekend.
Waduh, apa, ya? Hahahaha. Selalu belajar dan diskusi dua arah. Dari kecil selalu biasakan untuk bertanya dan memahami apa yang membuat anak berespon tertentu. Train of thought mereka seperti apa sih, outcome yang mereka harapkan apa sih dari perilaku tertentu. Membiasakan anak-anak untuk aware dengan internal process mereka, why they are behaving in a certain way.
Dari kecil dibiasakan nggaak boleh kasih jawaban cepat malas mikir seperti “nggak tahu”. Dibiasakan untuk paham kebutuhan dirinya dan bisa menjawab pertanyaan kamu A itu kenapa? Kamu B itu kenapa? Yang bikin kamu milih merespon A apa?
Pernikahan pasti nggak selalu akur, kok. Pasti ada berkonfliknya. Tapi kita memastikan ketika berkonflik itu dilakukan secara sehat. Paham apa yang dirasakan, kenapa, dan butuhnya apa. Supaya pada saat menyampaikan pesan diri, memang fokusnya mencari solusi.
Ada juga momen-momen pingin venting out atau misuh-misuh. Disclaimer saja di depan biasanya, bilang kalau pingin misuh-misuh. Dan, kalau misuh-misuhnya terkait pasangan sendiri, make sure kata-kata yang dipilih bukan yang menyerang pasangan.
Dan yang terutama, jaga waktu main bareng pasangan. Untuk tetap bersenang-senang sama pasangan. Positive interactions dijaga untuk selalu ada dan banyak.
BACA JUGA: 8 Perbedaan Pasangan Suami Istri Baru dan Pasangan Lama
Cover: Dok. Istimewa / Nadya Pramesrani