5 Ciri Orang Tua yang Hanya Melihat Anak dari Nilai Akademik dan Apa Kata Psikolog

Parenting & Kids

Sisca Christina・07 Jun 2024

detail-thumb

Anak perlu dilihat secara utuh; tak adil hanya melihat perkembangan anak hanya dari satu aspek yaitu nilai akademik saja.

Penilaian akhir tahun ajaran sudah berakhir. Tak lama lagi anak-anak memasuki waktu bagian terima rapor. Selain memperoleh hasil belajar, juga penentuan apakah anak lulus atau tidak lulus, naik kelas atau tidak naik kelas.

Anggaplah anak lulus atau naik kelas; nggak berhenti sampai situ. Beberapa orang tua kemudian concern: “Eh, tunggu dulu, tapi nilainya berapa?” Eng ing eng…

Buat beberapa orang tua, nilai akademik masih dianggap sebagai aspek perkembangan anak yang mahapenting, di atas aspek perkembangan lainnya. Tak bisa dibilang benar atau salah juga, karena setiap keluarga punya value yang dianggap penting.

Ciri-ciri Orang Tua yang Hanya Melihat Anak dari Nilai Akademik

Umumnya, orang tua yang hanya melihat anak dari nilai di atas kertas memiliki ciri-ciri berikut ini.

1. Selalu menanyakan skor akademik anak

Nggak setiap habis penilaian harian atau terima rapor, yang ditanya: dapat nilai berapa? Peringkat berapa? Pedulinya hanya dengan hasil berupa angka di atas kertas.

2. Suka membandingkan nilai akademik anak dengan anak lain

Baik itu membandingkan anak dengan anak orang lain yang lebih baik nilainya, atau membandingkan anak dengan dirinya di masa lalu. “Dulu papa/mama selalu dapat tiga besar di kelas, kamu 10 besar aja nggak dapat!” Bisa juga membandingkan anak dengan diri anak yang dulu. “Dulu kamu waktu SD selalu juara, ini SMP kok jeblok terus?” tanpa mau memahami mungkin pelajarannya lebih rumit, jarak sekolah lebih jauh, anak kelelahan karena banyak mengikuti kegiatan selain sekolah, dan seterusnya.

3. Topik diskusi dengan anak sehari-hari selalu berkaitan dengan prestasi gemilang

Memberikan referensi kisah sukses orang-orang yang memiliki prestasi gemilang. Entah cerita tentang anak kolega yang bisa mendapat beasiswa, anak yang diterima lebih dari satu universitas bergengsi di luar negeri, atau anak yang selalu juara lomba matematika.

4. Rajin menyuruh anak mengikuti kompetisi

Padahal, belum tentu anak mau mengikutinya. Namun karena dorongan orang tua dan atas dasar respek, anak jadi mengalah saja ikut apa kata orang tua. Bisa saja anak sebetulnya mau mengikuti 1-2 kompetisi, tapi bukan berarti terus-terusan!

5. Mengabaikan perasaan anak

Umumnya, orang tua yang hanya melihat anak dari skor saja sulit membuka komunikasi dua arah dengan anak, karena selalu berorientasi pada hasil belajar anak belaka. Ketika anak belum mencapai prestasi yang diharapkan, orang tua tidak mau menanyakan apa penyebabnya, bagaimana perasaannya, apa usaha yang sudah dia lakukan, dan seterusnya.

Baca juga: Mengenal Kurikulum IPC, Tak Hanya Fokus Pada Nilai Tapi Juga Karakter Anak

Nilai Akademik Bukan Satu-satunya Aspek Perkembangan Anak yang Paling Penting

Menurut Psikolog Klinis Anak dan Remaja Alia Mufida, M.Psi, Psikolog, yang akrab disapa Fida, tidak adil jika melihat anak hanya dari satu aspek perkembangan saja. Pasalnya, setiap anak memiliki minat masing-masing yang juga bisa dilatihkan untuk berkembang. Selain itu, anak juga masih dalam proses pematangan, pengoptimalan dan perkembangan otak, sehingga keseluruhan aspek perkembangan sama pentingnya.

“Melihat anak harus secara utuh, karena dengan cara inilah orang tua bisa mendampingi anak sesuai kebutuhannya,” tegas Fida.

“Perlu diingat, setiap anak itu unik. Tidak ada anak yang sama, walau kembar sekalipun. Potensi dan kombinasi potensi yang Tuhan berikan ke setiap anak terlalu luar biasa. Jadi, sayang sekali jika orang tua harus melihat dari satu aspek saja yaitu aspek akademik. Itu tidak fair untuk anak.”

Lebih lanjut, Fida menjelaskan bahwa nilai akademi tidak bisa menjadi tolok ukur optimal atau tidak optimalnya perkembangan anak. Masih banyak aspek lainnya yang menyertai keoptimalan perkembangan anak secara utuh.

Baca juga: Jangan Menghargai Anak Hanya Sebatas Nilai di Kertas Ujian Mereka

Jangan Lupakan Aspek Emosional, Sosial, dan Soft Skill Anak

“Melihat anak secara utuh artinya melihat juga keberfungsian anak secara emosional, sosial hingga kemampuan problem solving ketika anak menghadapi masalah atau berada di dalam tekanan,” kata Fida

“Biasanya orang tua yang hanya berfokus kepaa nilai akademik anak saja, punya tujuan akhir untuk anak bisa masuk ke sekolah di mana nilai akademis menjadi syarat utama pendaftaran. Sayangnya, itu sebetulnya hanyalah tujuan jangka pendek. Hidup anak berlanjut ketika selesai kuliah, di mana nilai-nilai tersebut tak lagi jadi hal utama, melainkan kematangan emosional, sosial, soft skills-lah yang menjadi lebih diuji,” Fida menambahkan.

“Menurut penelitian, justru Emotional Quotient (EQ) yang butuh lebih difokuskan, sambil mengobservasi apa kebutuhan anak.  Contohnya, anak memiliki nilai akademik kurang baik, namun perilakunya baik, memiliki minat olahraga yang tinggi, kemudian minatnya didukung sambil dibantu agar nilai akademiknya membaik dengan diberikan les privat, bukankah anak akan berkembang lebih baik?

Sebaliknya, anak dengan nilai akademik yang baik, juga perlu dicek apakah soft skills-nya juga berkembang dengan baik? Jika iya, bagus sekali. Namun apabila seorang anak yang memiliki nilai akademik baik, namun ternyata sangat kompetitif, perfeksionis, tidak mau kalah, dan mudah stres jika tidak mencapai prestasi yang diinginkan, itu berarti perkembangan mental anak belum baik dalam menghadapi kegagalan,” jelas Fida.

“Kembali lagi, melihat anak perlu secara utuh. Orang tua juga perlu melihat bagaimana anak berproses, bukan melulu berfokus pada hasil akhir,” tutup Fida.

I couldn’t agree more, nih, dengan penjelasan Mbak Fida. Mommies sendiri gimana?

Baca juga: Bahaya Orang Tua Terlalu Memberikan Beban Akademis pada Anak, Ini Kata Studi dan Psikolog

Cover:Image by prostooleh on Freepik