Single Mom vs Single Dad, Ini Tantangan Para Orang Tua Tunggal

Parenting & Kids

Ficky Yusrini・07 Nov 2023

detail-thumb

Yuk, lihat apa saja tantangan yang dialami oleh single mom dan single dad. Masing-masing punya kesulitannya sendiri!

Di Medium, saya menemukan tulisan tentang single Dad membesarkan anak lebih baik daripada single Mom. Judul aslinya, Single Father Households Do Vastly Better Than Single Mother — Here’s the Real Reason Why, sangat menggelitik. Selama ini saya mengira perempuan adalah makhluk multitalenta, dan ketika harus menjalankan peran sebagai single Mom, cukup tangguh dan kompeten, tapi ternyata jauh lebih berat bagi anak-anak yang dibesarkan single Mom.

BACA JUGA: 15 Hal yang Disyukuri Menjadi Single Mom

Tantangan Single Mom

Penelitian menemukan bahwa anak-anak dari keluarga ibu tunggal memiliki risiko 5 kali lebih tinggi untuk melakukan bunuh diri daripada anak-anak dari keluarga utuh dan keluarga bapak tunggal, 9 kali lebih mungkin untuk putus sekolah, 10 kali lebih mungkin untuk penyalahgunaan obat, 14 kali lebih mungkin untuk melakukan pemerkosaan, 20 kali lebih mungkin untuk berakhir di penjara, dan 32 kali lebih mungkin untuk kabur dari rumah.

Waduh, seram sekali datanya. Dan ternyata tidak berhenti di sana. Masih ditambah paparan data bahwa anak yang dibesarkan keluarga ibu tunggal juga menyumbang 70% dari semua kehamilan remaja, 70% dari semua kasus pembunuhan anak, dan sebagian besar kasus filisida. Filisida adalah tindakan sengaja orang tua yang membunuh anak. Ada apa dengan data ini? Pertanyaan berikutnya adalah, apa yang salah?

Pertama, menurut artikel tersebut, lebih mudah bagi seorang single Dad untuk memperkenalkan pengaruh perempuan yang kuat dan positif ke dalam kehidupan anak-anaknya daripada bagi seorang single Mom untuk memperkenalkan pengaruh laki-laki yang kuat dan positif ke dalam kehidupan anak-anaknya. Ada benarnya, ini juga yang saya amati pada beberapa single Mom yang saya kenal dekat.

Sebutlah, Mira, ibu dua anak, tinggal dekat dengan extended family. Selama bertahun-tahun setelah bercerai, Mira menutup diri dan komunikasi dari keluarga besar. Ia merasa dihakimi, dicemooh, dan mendapat stigma buruk dari kerabat dan tetangga karena meminta bercerai dari suami. Ia merasa selalu diawasi setiap gerak-geriknya, sehingga ketika ia terlihat bersama dengan laki-laki, walaupun itu urusan pekerjaan, langsung muncul gosip tak enak. Hal semacam ini tak dihadapi oleh laki-laki.

Ada pula, tipe single Mom yang terpuruk secara psikis dan masih terus berupaya untuk memulihkan diri, setelah keluar dari pernikahan yang toksik, seperti Diana. Selain struggling secara finansial, Diana juga masih belum sembuh traumanya, sehingga sulit baginya untuk membuka diri pada kesempatan-kesempatan baru dalam karier maupun relationship. Kasus-kasus yang jarang ditemukan pada laki-laki yang single Dad.

Mencari figur pengganti ibu bagi anak lebih mudah untuk laki-laki, bisa dari peran nenek yang turut membantu, saudara perempuan, guru perempuan, dan sebagainya. Opsi yang tersedia untuk pria lebih banyak dan lebih mudah diakses.

Figur peran pengganti ini penting karena anak-anak sangat diuntungkan dengan memiliki pengaruh positif laki-laki dan perempuan yang seimbang dalam hidup mereka. Pada perempuan single Mom lebih kesulitan menciptakan lingkungan seperti itu untuk anak-anak mereka setelah perpisahan.

Tantangan Single Dad

Dalam budaya masyarakat kita, single Dad diuntungkan karena tidak menghadapi stigma seberat single Mom. Namun, bukan berarti mereka tidak mengalami tantangan.

Beberapa persepsi negatif yang dihadapi single Dad, antara lain, dianggap tidak kompeten. Sebagian orang beranggapan bahwa pria kurang kompeten dalam merawat anak. Ayah tunggal juga kurang mendapat dukungan emosional, karena diasumsikan tangguh, mungkin. Tantangan lain, Ayah tunggal mungkin mengalami skeptisisme, karena orang mungkin meragukan kemampuannya untuk seimbang antara pekerjaan dan pengasuhan anak dengan efektif.

Tantangan laki-laki juga seringnya dirugikan dalam masalah hak asuh anak. Secara rata-rata, ibu akan lebih sering menjadi pilihan yang lebih bijak. Biasanya hakim lebih memilih ibu sebagai pengasuh utama dalam kasus perpisahan.

To be fair, alasan data yang menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga ibu tunggal cenderung mengalami kerugian adalah karena seringnya perempuan yang mendapatkan hak asuh, meskipun tidak selalu itu merupakan pilihan terbaik. Sedangkan, seorang laki-laki yang menjadi ayah tunggal, biasanya karena kasus pasangan meninggal dunia atau terjadi karena pihak ibu meninggalkan dia dan anak-anak mereka.

Baik single Mom maupun single Dad sama-sama tidak mudah, terutama bagi anak-anak. Kembali lagi, tugas kita bersama untuk lebih mengembangkan empati dan support emosional yang lebih adil bagi single Mom maupun single Dad.

BACA JUGA: 7 Hot Single Dad Indonesia, Ada yang Sudah 14 Tahun Jadi Single Father!

Cover: Freepik