Self-harm adalah gejala yang nampak dari masalah kesehatan mental yang dirasakan oleh seseorang. Belakangan, self-harm marak terjadi pada remaja.
Bulan Oktober 2022 lalu, Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), survei kesehatan mental nasional pertama yang mengukur angka kejadian gangguan mental pada remaja 10 – 17 tahun di Indonesia, mengumumkan hasil yang mencengangkan. Menurut hasil survei, satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental, atau setara dengan 15,5 juta remaja. Sementara satu dari dua puluh remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir, atau setara dengan 2,45 juta remaja.
Faktanya lagi, gangguan mental nomor dua yang paling banyak diderita remaja yaitu gangguan depresi mayor. Depresi bisa menjadi salah satu penyebab seseorang melakukan self-harm, atau tindakan menyakiti diri sendiri. Beberapa tahun belakangan, self-harm menjadi marak di masyarakat Indonesia, terutama ketika pandemi melanda. Self-harm ini juga menjangkiti para remaja.
Tentu setiap orang tua nggak ingin anak melakukan self-harm. Tapi apabila terjadi, kita harus berbuat apa? Simak penjelasan dari Mbak Firesta Farizal, M.Psi, Psikolog, seorang Psikolog Klinis Anak dan Remaja, yang akrab disapa Mbak Eta berikut.
Mbak Eta menjelaskan, self-harm adalah tindakan menyakiti diri sendiri yang skalanya bisa berbeda-beda. Mulai dari menyakiti diri dengan anggota tubuh, misalnya memukuli diri sendiri, hingga menggunakan alat, misalnya cutting atau “menyilet” sejumlah anggota tubuh. Self-harm termasuk perilaku dan bukan gangguan. Self-harm merupakan gejala yang nampak dari adanya masalah tertentu.
Untuk tahu apa tindakan yang harus dilakukan orang tua ketika anak melakukan self-harm, kita perlu tahu dulu penyebab self-harm pada remaja yang ternyata sangat beragam, antara lain:
Baca juga: 7 Kegiatan Sekolah untuk Dukung Kesehatan Mental Remaja
Ketika self-harm pada remaja sudah terjadi, lebih lanjut Mbak Eta menjelaskan apa yang harus dilakukan orang tua.
Pertama, orang tua wajib memastikan keamanan kondisi fisik anak. Obati terlebih dahulu luka atau lebam yang terdapat pada fisik anak dan pastikan tidak ada yang mengkhawatirkan. Bila anak terluka parah, bawalah ke dokter.
Kedua, berbicara kepada anak. Sampaikan kekhawatiran kita sebagai orang tua melihat kondisi anak. Kemudian, dengarkan dari sudut pandang anak, karena pasti ada sesuatu yang membuat anak memunculkan perilaku tersebut.
Ketiga, berkonsultasi dengan psikolog agar bisa mendapat penanganan yang tepat. “Psikolog sebagai pihak yang netral dan objektif dapat membantu membuat anak lebih terbuka dan gambaran tentang anak niscaya bisa didapat dengan lebih baik,” terang Mba Eta. Perlu diingat, ketika anak sudah melakukan self-harm, artinya ada sesuatu dalam dirinya yang perlu mendapat pertolongan. Bantuan psikolog bisa menolong remaja mengatasi penyebab dirinya melakukan self-harm. “Jadi, ketika remaja melakukan self-harm, wajib banget dibawa ke psikolog.”
Self-harm pada remaja bisa dihentikan dan tak berulang lagi jika akar permasalahannya sudah terselesaikan dan tertangani dengan baik. Kemudian, jika anak juga sudah dibekali pengetahuan tentang bagaimana mengelola emosi dan stres dengan cara yang positif, self-harm bisa tidak terulang kembali.
Namun, self-harm juga bisa berpotensi terjadi lagi saat dewasa jika permasalahan yang menjadi penyebab self-harm belum tertangani dan terselesaikan dengan baik.
Baca juga: SMP Millennia World School: Peduli Kesehatan Mental dan Didik Siswa Jadi Warga Digital yang Baik