Anak usia SD sudah bisa kita berikan pemahaman agar ia terhindar dari penculikan. Tanamkan 5 hal ini!
Maraknya kasus penculikan anak membuat kita sebagai orangtua kian khawatir. Pasalnya, ini bisa terjadi di mana saja, bahkan di tempat yang kita pikir sudah cukup familiar buat anak, seperti di mal yang kita dan anak kunjungi hampir setiap hari, bahkan area komplek maupun kluster perumahan tempat kita tinggal. Karena kita sendiri tidak bisa menjamin anak akan selalu baik-baik saja dan terhindari dari penculikan, maka yang bisa kita lakukan adalah membekali anak pemahaman agar ia bisa jaga diri.
Orangtua milenial dan gen X pasti lekat dengan kalimat yang dipopulerkan oleh almarhum Bang Napi, yaitu “Waspadalah! Waspadalah! Ingat, kejahatan terjadi bukan karena ada niat pelakunya. Tapi juga karena ada kesempatan.” Hal ini bisa kita benarkan dan menjadi peringatan juga buat anak untuk tidak membuka kesempatan tersebut. Cara yang paling bisa dilakukan untuk menjaga diri adalah dengan waspada.
Anak usia SD tentu sudah bisa mengerti bahwa ia tidak boleh sembarangan pegang gadget (main hp maupun ipad) dan benda berharga lainnya ketika sedang berada di keramaian. Kalau lagi jalan-jalan di mal, sebaiknya taruh atau simpan dulu gadgetnya di dalam tas. Anak perlu kita ingatkan untuk selalu memiliki kesadaran penuh untuk berjalan mengikuti kita dan tidak bengong sendirian.
Kita tidak pernah tahu penculik anak itu karakternya seperti apa. Mungkin ada saja yang pintar mencuri hati anak, yaitu dengan memberikan iming-iming yang sesuai dengan keinginan anak saat itu. Misalnya, ada orang yang memerhatikan anak kita ketika ia terlihat menginginkan sesuatu, kemudian ia pakai kesempatan tersebut untuk mencuri perhatian anak. Maka, inilah pentingnya menanamkan nilai pada anak, bahwa sesuatu yang too good to be true itu seringkali mustahil. Kita perlu berusaha dulu untuk mendapatkannya, misalnya mau beli sepatu incaran, maka menabunglah dulu. Maka, ketika anak dihadapi tawaran yang sangat menggiurkan, ia patut waspada.
Selain orangtua (termasuk wali, pengasuh maupun kakek/nenek yang memang sedang in charge menjaga anak) dan guru (saat di sekolah), anak berhak untuk meragukan orang lain ketika ia diajak pergi ke suatu tempat atau ditawari sesuatu. Caranya, kita bisa mengajarkan anak untuk memberi penolakan tegas dengan kalimat seperti, “Kenapa aku harus ikut/harus terima ini?”, “Aku hanya bisa ikut/terima ini kalau kamu bilang sama Mama/Papaku!”. Namun, bila konteksnya adalah ia ditawari sesuatu oleh orangtua dari temannya, maka ia bisa menolak dengan kalimat yang lebih sopan, seperti, “Makasih, Tante, tapi aku harus tanya Mamaku dulu.”
Bila kalimat di atas kurang meyakinkan untuk anak menolak ajakan atau tawaran dari orang yang benar-benar asing, maka ia bisa menegaskannya dengan bilang, “Aku nggak mau!” atau “Stop, jangan paksa aku!”.
Ingat juga bahwa sebelum kita membekali anak dengan lima hal di atas, anak sudah harus memahami informasi penting yang mendasar, seperti nama orangtuanya, nomor telepon orangtua, alamat rumah, dan kepada siapa mereka bisa lapor saat butuh bantuan ketika berada di tempat umum. Anak perlu kita berikan penjelasan akan peran pelayan publik, bahwa ada Pak Satpam yang bisa anak temui untuk melapor ketika ia tersesat atau merasa tidak aman di tempat umum.
Image by Freepik