Perilaku Toxic ke Diri Sendiri di Dunia Kerja, Hati-Hati, Ya!

#MommiesWorkingIt

RachelKaloh・13 Oct 2022

detail-thumb

Nggak hanya bisa jadi korban toxic atas perilaku orang lain, kita juga bisa toxic ke diri sendiri, khususnya di dunia kerja. Coba, cek, pernahkah kita berlaku demikian?

Di dunia kerja, banyak hal yang tidak kita harapkan kerap terjadi di luar kendali kita. Tetapi, ketika hal ini datang dan kita malah terus menyalahkan diri sendiri, bisa jadi kita menjadi orang yang toxic, pada siapa? Ya, pada diri sendiri. Sayangnya, kita seringkali tidak menyadari hal tersebut. Dalam rangka memeringati Hari Kesehatan Mental Sedunia 10 Oktober, yuk, coba introspeksi lagi ke diri sendiri, apakah kita masih sering melakukan hal-hal ini di tengah kesibukan kita sebagai pekerja.

Aku adalah penyebab utama kegagalan atas pekerjaanku

“Ih, bego banget gue!”, “Duh, Ma (memanggil nama sendiri), why are you so stupid?”, “Eh, iya, aduh, otak gue mislek, nih!” Kalimat ini adalah satu dari beberapa ciri ketika seseorang berlaku toxic pada dirinya sendiri. Nggak hanya becanda, ya, konteksnya, tapi hampir setiap saat ngomong begini. Padahal, kesalahan yang dilakukan mungkin tidak seberapa. Atau, kesalahan dilakukan oleh orang lain, tapi kita malah menyalahkan diri sendiri, meskipun dengan alasan, biar masalah cepat selesai, malas nyalahin siapa-siapa, jadi diri sendiri saja yang dianggap bersalah. Seringkah demikian, Mommies?

THE YES MAN

Padahal nih, ya, Yes Man itu adalah istilah lain dari people pleaser alias nggak pernah bisa menolak permintaan orang lain. Kalau atasan yang minta, mungkin kita patut berusaha semaksimal mungkin. Demikian pula dengan rekan kerja, sah-sah saja membantu urusan pekerjaan. Tapi patut dicatat ya, pekerjaan atas permintaan siapapun itu tetap perlu kita lakukan dengan mindful, begitu kita sudah tidak punya boundaries, rela mengabaikan waktu, tenaga dan pikiran kita sendiri hanya demi membuat mereka senang atas apa yang kita kerjakan, tandanya kita sudah menjadi toxic pada diri sendiri. 

Baca juga: Perusahaan Ramah Ibu Bekerja Seharusnya Memiliki 7 Hal Ini

Bangga menjadi “Workaholic”

Memang, sah-sah saja, kok, kalau senang bekerja, menikmati setiap pekerjaan yang kita jalani, justru bagus. Tapi, istilah workaholic itu sebenarnya punya arti yang negatif, yaitu seseorang yang bekerja secara kompulsif, tidak kenal waktu. Kembali lagi, bekerja itu kan perlu dilakukan dengan mindful, ingat kapan waktunya untuk rehat, makan, maupun minum. Tapi kerap di usia produktif, seringkali kita merasa fine-fine aja sama kebiasaan begadang, alasannya nanggung! Sedikit lagi kelar! Eh tahu-tahu jam makan sudah lewat, jam tidur sudah lewat, perut yang tadinya lapar sudah hilang rasa laparnya. Akibatnya, badan jadi mudah drop, asam lambung dan maag menghantui di saat kita lagi sibuk-sibuknya.

Menyalahkan diri ketika berlaku benar 

Di jam istirahat, seharusnya, ya, makan dan beristirahat, bukan bekerja. Namun ketika terjadi suatu masalah tepat di jam istirahat yang di luar kendali, kita tidak bisa menahan untuk tidak menyalahkan diri sendiri. “Duh, harusnya daritadi standby aja di meja kerja, nggak usah makan, pasti nggak akan terjadi masalah ini.” Atau misalnya ada presentasi dadakan yang harus dilakukan ketika kita sudah terlebih dahulu mengajukan cuti untuk hadir di acara performance anak. Namun, kita menyesal, “Ah, harusnya nggak usah cuti, nih!” Padahal cuti adalah hak kita dan masih ada rekan kerja yang bisa mengambil alih peran kita di presentasi tersebut. Artinya, kita memang tidak bisa menghargai diri sendiri.

Baca juga: 6 Tips Manjur Supaya Bisa Dapat Promosi dan Naik Gaji di Kantor

Dia bisa, aku juga harus bisa

Anggapan ini, di satu sisi mungkin bisa menjadi penyemangat buat diri sendiri bahwa ada saatnya kita harus berusaha lebih lagi demi karir yang meningkat, tidak berjalan di tempat. Tapi, begitu kalimat ini dilontarkan hanya karena kita sudah tidak sanggup melakukan sesuatu yang memang sudah di luar kendali kita, misalnya bekerja 100x lebih keras dari sekarang, padahal rekan kerja kita bisa dipuji atasan karena kecurangan, tandanya, ya, kita menikmati berada di lingkungan kantor yang toxic sehingga kita menjadi toxic terhadap diri sendiri. Maka, meninggalkan pekerjaan tersebut sebetulnya bukan sepenuhnya demi kewarasan, tapi, ya, karena kita memilih untuk sehat secara mental. Memiliki self worth adalah penting, supaya kita juga paham ketika kita memang harus membebaskan diri dari lingkungan pekerjaan yang tidak mendukung kita untuk berkembang.

Letting yourself engage in the toxic environment means you’re

being toxic to yourself.

 

Baca juga:

9 Penyebab Kenapa Kita Terjebak di Dalam Hubungan Toksik dan Abusive

 

Image by wayhomestudio on Freepik