Kantor perlu memiliki alat defibrillator eksternal otomatis (Automated External Defibrillator/AED), penyelamat saat terjadi henti jantung mendadak.
Menurut data Riset Kesehatan Dasar Indonesia, prevalensi penyakit jantung di Indonesia pada 2018 mencapai 1,5 persen. Hampir sebesar 80% kematian jantung mendadak di Indonesia terjadi di luar rumah sakit dengan tingkat kelangsungan hidup hanya 5% tanpa penanganan segera. Peluang korban untuk bertahan hidup berkurang sekitar 10% untuk setiap waktu berlalu setelah kolaps. Angka kematian akibat henti jantung mendadak di Indonesia ini diharapkan bisa berkurang dengan memasang alat defibrillator eksternal otomatis (Automated External Defibrillator/AED) sebagai P3K di perkantoran, ucap dr. Radityo Prakoso SpJP(K), FIHA, FAsCC selaku Ketua PP Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) dalam acara yang diselenggarakan oleh Yayasan Jantung Indonesia, Juni lalu.
Apa itu AED atau defibrillator eksternal otomatis?
AED (automated external defibrillator) atau defibrillator eksternal otomatis adalah sebuah alat medis yang dapat menganalisis irama jantung secara otomatis dan memberikan kejutan listrik untuk mengembalikan irama jantung jika dibutuhkan. Akses awal ke AED merupakan prosedur emergency yang membuat kemungkinan bertahan hidup pasien henti jantung mendadak meningkat hingga 75% bila digunakan dalam tiga hingga lima menit pertama kolaps dengan resusitasi jantung paru (CPR), diikuti oleh gelombang kejut pertama yang diberikan oleh AED, membuat adanya perbedaan antara kehidupan dan kematian.
Pentingnya ketersediaan AED di fasilitas umum
Peralatan AED harus ditempatkan di area publik dengan kepadatan tinggi seperti tempat olahraga, pusat perbelanjaan, bandara, pesawat terbang, tempat kerja, pusat konvensi, hotel, sekolah, kantor dokter, dan di tempat umum atau pribadi di mana banyak orang berkumpul atau di mana orang berada pada risiko tinggi mengalami insiden henti jantung mendadak.
Pemasangan AED juga harus di lokasi yang mudah diakses, seperti:
“Edukasi yang baik kepada masyarakat tentang cara membantu pasien henti jantung mendadak dan melatih staf untuk melakukan CPR, diharapkan dapat menurunkan angka kematian akibat henti jantung mendadak di Indonesia”, jelas dr. Radityo. Yayasan Jantung Indonesia dalam acaranya kemarin, bertujuan untuk meluruskan dengan memberdayakan bisnis (perusahaan dan perkantoran) untuk meninjau kembali peralatan darurat yang mereka miliki dan mulai melengkapi perangkat penyelamat di tempat mereka untuk melindungi kehidupan komunitas, karyawan, klien, dan pengunjung dengan lebih baik.
Semakin banyak orang dalam fasilitas yang terlatih dalam teknik ini, semakin besar kemungkinan korban henti jantung mendadak akan bertahan.
Menjaga gaya hidup dan pola makan sehat tetap penting
Berdasarkan data Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia tahun 2015, insiden henti jantung mendadak (SCA) terjadi hingga sekitar 300.000 – 350.000 insiden per tahunnya. Dr. Radityo juga mengingatkan, “Gaya hidup dan pola makan yang tidak sehat merupakan penyebab utama penyakit jantung koroner (PJK). Sebanyak 50% pasien PJK berpotensi mengalami henti jantung mendadak atau kematian jantung mendadak.”