Sorry, we couldn't find any article matching ''
Nadine Alexandra: Mandiri Secara Finansial Sangat Penting untuk Perempuan
Nadine Alexandra percaya bahwa kemandirian finansial sangat penting sekali untuk kesejahteraan perempuan. Lihat alasannya di bawah ini!
Di tengah kesibukan menjalankan promo series terbarunya, Dating Queen, yang tayang eksklusif di Vidio, Nadine Alexandra ternyata punya banyak proyek kecil lainnya yang sedang dikerjakan. Bahkan di pertengahan tahun ini, berbarengan dengan ulang tahunnya, Puteri Indonesia 2010 tersebut berencana untuk menuangkan energinya pada sebuah proyek impian yang sudah lama ingin dilakukan.
Mommies Daily pun berkesempatan ngobrol dengan Nadine seputar hal yang banyak menginspirasinya, termasuk cerita masa kecil hingga pesan orang tua yang terus dipegangnya. Nadine pun juga bercerita tentang bacaan yang mengubah mindet dan membuatnya melihat sesuatu dari perspektif baru. Tak kalah seru, dia juga bagikan alasan kenapa penting bagi perempuan untuk menjadi sejahtera secara finansial.
Intip obrolan Mommies Daily bersama Nadine Alexandra di bawah ini!
BACA JUGA: Sekian Tunjangan yang Dibutuhkan Ibu Bekerja dari Perusahaan
Apa tiga sifat atau sikap yang kamu suka dari seorang Nadine Alexandra?
Hmm.. ternyata ini pertanyaan yang sulit untuk dijawab, ya! Pertanda aku kurang memperhatikan hal-hal positif dari diri sendiri. Thank you for this exercise!
Menurut aku hal pertama yang aku suka dari diri aku adalah sikap peduli dan sayang terhadap alam dan lingkungan hidup. Kedua adalah sifat penganalisa yang melihat segala sesuatu dari perspektif “big picture” dan tidak hanya dari satu segi. Kalau yang ketiga adalah sifat perhatian dan memprioritasikan kebutuhan orang lain.
Apa pengalaman masa kecil yang membentuk kamu memiliki 3 hal tersebut?
SIkap peduli dan sayang pada alam itu ditanam sejak aku masih kecil oleh kedua orang tuaku. Aku dibiarkan main di taman sampai lumpur-lumpuran dan berinteraksi serta belajar dari alam tanpa dilarang hanya karena aku seorang anak perempuan. Aku justru dibekali kaca pembesar, sekop, dan ember kecil untuk penjelejahan aku.
Ketika pulang yang aku ingat hanya ditanya, “Ketemu apa aja hari ini?” Orang tuaku memprioritasikan rasa penasaran dan ingin tahuku ketimbang hal lain. Lewat pengalaman itu aku jadi merasa memiliki hubungan dekat dengan alam dan isinya.
Perasaan itu terus berkembang sampai hari ini, hingga aku bisa terlibat dengan banyak organisasi yang bertujuan menyelamatkan flora dan fauna bumi. Aku jadi teringat pepatah “Tak kenal maka tak sayang,” dan aku sekarang bisa sesayang ini sama bumi hanya karena dulu diberi kesempatan untuk mengenalnya.
Sifat penganalisaku yang mempertimbangkan segala aspek dan segi dari satu situasi bisa dibilang adalah berkah tanggal lahirku — kalau percaya astrologi dan horoskop, ya! Katanya, sih, Gemini Sun dan Libra Moon memang sifatnya begini tapi, ya, percaya nggak percaya.
Kalau dilihat dari pengalaman hidup, menurutku sifat ini muncul dari posisiku sebagai anak bungsu dari dua orang tua yang memiliki latar belakang dan budaya yang sangat berbeda. Ayahku lahir dan besar di Reading, Inggris sedangkan Ibuku lahir dan besar di Solo, Indonesia. Dari kecil aku harus belajar cepat untuk memahami konflik antara kedua orang tuaku, terutama dari segi bahasa.
Ternyata banyak yang bisa lost in translation dan karena aku dibesarkan dengan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, jadilah peran aku untuk menjadi seorang mediator dan penerjemah, tetapi peran itu bukan hanya tentang kemampuan mengenal kedua bahasa yang digunakan di rumah, melainkan memahami konteks setiap pihak secara detil.
Terakhir, sifat perhatian dan memprioritasikan kebutuhan orang lain aku rasa datang lagi dari posisi aku yang aku ceritakan di poin sebelumnya. Selain itu, aku juga selalu dididik untuk berbaik hati kepada semua orang dan untuk saling menghargai. Kalau melakukan suatu hal yang malah merugikan atau menjengkelkan orang lain, aku pasti dikasih tahu kalau tindakan atau ucapan aku “inconsiderate” = tidak pengertian terhadap orang lain.
Jadi kombinasi antara didikan dan pengalaman membentuk aku agar selalu memikirkan kenyamanan orang lain dalam satu situasi. Aku rasa sebagai anak bungsu yang mendapat peran sebagai penengah juga membentuk sifat yang satu ini. Sisi buruknya adalah jadi terlalu sering mengesampingkan perasaan dan kebutuhan diriku sendiri, jadi meski ini adalah hal positif, aku harus belajar bagaimana untuk memberi secara seimbang, without neglecting myself.
Ada buku atau film favorit tertentu yang mengubah cara pandang kamu terhadap suatu hal?
Salah satu buku yang betul-betul merubah perspektif aku terhadap hidup dan perjalanan aku sebagai manusia adalah “A New Earth” oleh Eckhart Tolle. Aku percaya semua yang kita baca atau tonton itu memang terjadi pada waktunya. Aku membaca buku tersebut kurang lebih sebelas tahun lalu dan sepertinya pada saat itu aku memang sangat membutuhkan ajarannya.
“A New Earth” adalah buku tentang bagaimana bisa hidup lebih bahagia dan berada di momen ini, sekarang, dan disini. Sebelum itu, aku merasa sangat stuck dengan segala trauma yang pernah aku alamin dan buku itu membantu aku untuk melihat lebih dari itu. Untuk pertama kalinya dalam hidup aku, aku merasa lega dan tidak terbebani lagi oleh trauma (meskipun itu baru awalnya sekali dan proses itu terus berjalan sampai sekarang).
Buku itu juga menyadarkan aku bahwa hanya diri kita sendiri yang bertanggung jawab atas kebahagiaan kita dan bukan orang lain. I definitely recommend this book.
BACA JUGA: Mengenal Teknik Pomodoro yang Bisa Diterapkan untuk Ibu Bekerja
Apa pesan dari orang tua yang menjadi pegangan hidup kamu?
Saat aku sedang bersiap mengikuti ajang pemilihan Putri Indonesia tahun 2010, Ibu aku sempat menyampaikan pesan ini, “Kamu harus siap-siap menang, tapi kamu juga harus siap-siap kalah.” Sampai sekarang kata-kata itu melekat di benakku.
Sejak momen itu, aku menyadari bahwa seringkali kita terobsesi dengan suatu goal dan hanya membayangkan bagaimana situasi kita akan berubah hanya kalau goal itu tercapai. Namun karena terlalu terobsesi dengan kemauan itu, kita malah jadi buta terhadap kemungkinan lain. Ketika yang diluar ekspektasi itu terjadi, kita hancur dan tidak sanggup menerima realita.
Jadi sejak itu aku selalu mebcoba untuk mempersiapkan diri untuk semua kemungkinan – yang terbaik dan terburuk. Kalau yang terbaik terjadi, ya, syukurlah, tapi kalau yang terburuk terjadi, karena aku sudah siap-siap juga, aku lebih tangguh menghadapinya.
Sebagai seorang perempuan yang bekerja, menurut kamu seberapa penting bagi seorang wanita untuk bekerja, terutama bagi yang sudah menikah?
Bekerja atau tidak, itu pilihan setiap perempuan, tetapi menurutku kemandirian finansial sangat penting sekali untuk kesejahteraan perempuan. Aku pernah berada di posisi dimana sangat dependen secara finansial kepada pasanganku dan itu akhirnya membuahkan sifat-sifat toksik dalam hubungan tersebut karena pada dasarnya ada isu relasi kuasa.
Sejak itu, aku menyadari pentingnya tetap memiliki kemandirian finansial. Sayangnya, banyak sekali perempuan yang dilarang bekerja oleh pasangan mereka dan akhirnya hubungannya berubah menjadi abusif dan para perempuan tidak memiliki resources untuk meninggalkan hubungannya.
Selain itu, pandemi ini telah mengajar kita bahwa tidak ada pekerjaan yang aman dan semuanya bisa berubah dalam sekejap mata. Lalu yang terjadi selama dua tahun terakhir ini adalah banyak perempuan yang benar-benar bangkit karena pandemi untuk menafkahi suami atau keluarga mereka yang kena PHK.
As a rule, two incomes are better than one to begin with anyway karena akan menghasilkan kenyaman lebih tinggi dan affordability yang lebih tinggi juga, tetapi juga security yang lebih kalau ada musibah apa-apa. Jadi menurutku, zaman sekarang sangat penting sekali untuk perempuan tetap bekerja setelah menikah.
Banyak perempuan yang merasa tidak punya keahlian atau memiliki beragam pertimbangan lainnya sehingga ragu untuk bekerja atau kembali bekerja setelah menikah dan memiliki anak, apa ada tips atau saran kamu untuk memotivasi mereka?
Aku bisa bayangin kalau berada di posisi seperti itu sangat susah sekali. Banyak sekali tantangan bagi perempuan sampai sekarang yang harus dilewati. Namun menurut aku, kita sebagai perempuan harus ingat bahwa tidak ada yang tidak bisa kita pelajari. Mungkin kita akan mulai dari nol, tetapi dengan dedikasi waktu dan usaha, pelan-pelan kita akan belajar dan kita jadi bisa.
Hal yang paling susah adalah memulai karena kita punya rasa takut dan perasaan lainnya, yang sebenarnya wajar sekali. Namun rasa takut itu ada karena kita merasa ada kemungkinan gagal. Kalau kita mengubah perspektif dan tidak melihat kesempatan baru sebagai hal yang akan mendefinisikan nilai diri kita, melainkan kesempatan untuk BELAJAR, ya, secara tidak sadar kita akan menghilangkan rasa takut berhasil atau gagal.
Karena dengan percaya bahwa semuanya adalah kesempatan untuk belajar, hasilnya akan selalu positif. Terlepas dari hasilnya sendiri. Perspektif ini bukan datang dari otakku sendiri, tetapi dari buku “Mindset” oleh Dr. Carol S. Dweck.
Ini juga salah satu buku that I would highly recommend. Percaya bahwa nilai diri kita terikat langsung pada hasil dari ujian atau pekerjaan atau skill adalah fixed mindset dan banyak sekali self-limiting beliefs yang berputar disitu. Saatnya kita mengubahnya ke growth mindset; dimana semuanya di dunia ini bisa kita pelajari dengan mendedikasikan waktu dan usaha dan hasilnya tidak penting; tetapi proses tumbuh dan belajarnya yang menjadi prioritas. In that way, we can never fail.
Jika di masa depan Nadine memiliki anak, hal apa yang ingin kamu hindari sebagai seorang ibu? Dan hal apa yang ingin kamu ajarkan kepada anak?
Seandainya suatu hari aku bisa menjadi seorang ibu, aku ingin membuat anakku merasa aman dan nyaman untuk mengekspresikan dirinya tanpa takut dihakimi. Aku ingin membangun relationship yang secure dimana anakku akan selalu merasa bisa depend on me, regardless of the situation. Bahwa dia akan selalu memilikki support system.
Aku juga ingin anakku menikmati masa kanak-kanaknya — bebas untuk mengeksplor dan berkembang tanpa terlalu banyak responsibility emotional. Kalau dikaruniai anak perempuan, aku ingin dia belajar menjadi mandiri dan percaya bahwa dia sudah cukup secara fisik dengan apa adanya, untuk tidak mengendorse beauty standards yang konvensional.
Kalau dikaruniai anak laki-laki, aku ingin dia tahu bahwa kuat dan tangguh bukan berarti tidak pernah merasakan emosi dan bahwa dia berhak untuk menangis. Aku ingin dia bisa untuk vulnerable dan tumbuh menjadi laki-laki yang gentle dan penyayang.
Untuk keduanya, aku ingin mereka memahami secara betul-betul apa itu consent, pentingnya saling menghormati boundaries dan above all else, saling menghormati sebagai sesama manusia. Aku juga ingin mengajarkan mereka bahwa bumi ini hanyalah warisan yang harus dijaga dengan baik, jadi untuk bisa membuat mereka peduli dan sayang kepada bumi.
BACA JUGA: 7 Perusahaan Indonesia yang Menerapkan Kesetaraan Gender
Cover: Rico Leonard
Share Article
COMMENTS