Sorry, we couldn't find any article matching ''
Pak Ribut dan Tantangan Pendidikan di Indonesia
Mana lebih vulgar, konten yang dibuat pak Ribut yang menjelaskan kisah nabi dengan kalimat wajar, tanpa gambar mesum sama sekali, atau gambar orang tak berbusana yang bertebaran di YouTube?
Semenjak era pandemi, beberapa praktisi pendidikan mulai memanfaatkan media sosial untuk mendukung kegiatan belajar mengajar. Entah itu Instagram, YouTube hingga TikTok. Semuanya dimanfaatkan buat membuat kegiatan belajar jadi lebih mudah ditangkap sekaligus menyenangkan.
Pak Ribut adalah salah satu guru yang nggak mau ketinggalan. Guru honorer asal Lumajang yang belakangan lagi viral ini memanfaatkan TikTok buat mendokumentasikan kegiatan belajar mengajar bersama murid-muridnya. Ia disebut-sebut sebagai guru yang disenangi murid-muridnya karena karakternya yang lucu, dekat dengan anak-anak, dan suka memberi hadiah pada murid yang bisa menjawab pertanyaannya. Gambaran tentang situasi ini tampak di akun TikToknya.
Belum lama ini salah satu kontennya menuai kontroversi. Waktu itu ia sedang menggantikan guru agama yang sedang absen, untuk membahas kisah Nabi Luth dan kaum Sodom. Sebagian orang menilai itu terlalu vulgar. Yeah, apa sih yang nggak dikomen orang? Sedikit aja “ketelingsut”, langsung heboh.
Pak Ribut dan pendidikan seks di Indonesia
Dari pada ribut-ribut soal Pak Ribut, coba deh, lebih baik kita cermati dari sisi pendidikan. Mau sampai kapan kita denial soal pendidikan seks? Nggak henti-hentinya menganggap tabu. Padahal isu pelecehan seksual hingga peristiwa remaja putri hamil di luar nikah secara statistiks nggak menunjukkan penurunan, tuh. Naik malah iya! Lalu, mengapa pendidikan seks nggak dianggap sebagai hal darurat yang harus dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan di Indonesia?
Bukan nggak diajarkan sama sekali sih, tapi bobotnya sebatas pada seksualitas, reproduksi manusia (inipun baru ada di SMA) dan himbauan (kalau nggak mau dibilang ancaman) untuk tidak melakukan seks pranikah. Namun, materi yang fokus pada seksualitas, persetujuan hubungan badan dan sentuhan (consent), dan isu lain mengenai gender (LGBT) masih sangat sangat sangat minim.
Menurut dr. Hasto Wardoyo, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), seperti dikutip di Economica, ini akibat persepsi publik yang masih menganggap bahwa pendidikan seks lebih memberikan dampak negatif dibandingkan dampak positif. Akibatnya, terjadi penolakan terhadap pendidikan seks di sekolah. Harus kita akui, sebagian masyarakat masih menganggap pendidikan seks sebagai isu moral, bukan sebagai kebutuhan.
Contohnya ya seperti kejadian Pak Ribut ini. Masyarakat ribut soal vulgar nggak vulgar. Padahal, isi dari pendidikan seks yang dibahas Pak Ribut juga berangkat dari kisah dari kitab suci. Pemilihan bahasa yang digunakan pun nggak berbau mesum. Yang begini-begini dianggap vulgar, padahal akses pornografi sebegitu mudahnya didapat anak-anak dari internet. Haduh!
Baca juga: Persiapan Pengajuan Beasiswa untuk Mendukung Studi Anak
Sederet pelajaran lain yang sudah saatnya dimasukkan ke kurikulum pendidikan di Indonesia
Pendidikan di Indonesia sebetulnya sudah terlambat untuk memasukkan beberapa pengetahuan dasar hingga lanjutan mengenai pendidikan seks. Nggak hanya itu, literasi digital, literasi finansial, kemampuan dasar public speaking hingga kesehatan mental, juga semestinya menjadi bagian dari pendidikan Indonesia. Kurikulumnya? Tentu disesuaikan dengan jenjang pendidikan dan usia anak.
Menyoal literasi digital. Digital juga nggak bisa dilepaskan dari pendidikan era sekarang. Akibat pandemi, anak-anak usia dini dan sekolah dasar awal dipaksa bergaul dengan gadget lebih dini, dan lama dari yang seharusnya. Nggak ada yang bisa disalahkan memang. Beberapa anak jadi “digital shock”. Tadinya gadget hanya digunakan untuk hiburan dengan waktu yang terbatas. Kini, setiap hari bergaul dengan gadget dan internet, tanpa didahului dengan pembekalan akan literasi digital. Sudah begitu, anak sekolah dasar belum memiliki kekuatan karakter tanggung jawab dan penguasaan diri yang baik layaknya orang dewasa. Akibatnya, belajar online tergoda membuka YouTube, main game, hingga ada yang mabar (main bareng) saat ujian.
Ada, sih, bekal pelajaran TIK, tapi masih terbatas pada cara pengoperasian hardware dan softwarenya saja. Belum sampai pada pengetahuan tentang literasi informasi, etika menggunakan sumber digital, pemahaman jejak digital, melindungi diri sendiri secara online, berkomunikasi secara online, hingga perundungan siber. Nah, sudah saatnya komponen-komponen ini masuk ke dalam kurikulum pendidikan.
Jika anak punya pemahaman tentang literasi digital yang baik, harapnnya selain anak cakap dan cerdas menggunakan teknologi digital, juga bertanggung jawab dan beretika. Bukan nantinya asik-asik bikin akun bodong lalu menyebar fitnah. Amit-amit jangan sampe!
Menyoal pendidikan kesehatan mental. Sebenarnya ini bukan hal baru lagi. Di zaman saya sekolah dulu, sudah ada yang namanya guru BK (Bimbingan dan Konseling). Sayangnya, yang saya ingat, guru BK dulu tugasnya semacam menegur atau memanggil anak-anak “badung” ke ruang BK. Akibatnya, guru BK menjadi momok. Dihindari siswa. Kalau ada siswa masuk suang BK citranya semacam jelek aja gitu.
Peran guru BK yang sebenarnya adalah untuk memberikan penyuluhan, pengawasan, bimbingan, dan konseling bagi para siswa terkait perkembangan emosi, psikologi, sosial (termasuk masalah pribadi dan pergaulan), hingga kesehatan jasmani. Itu semua nggak lain untuk mendukung siswa dalam menjalani proses belajar.
Yaaa, kayak kita aja deh, kalau hati nggak beres, kerjaan juga terganggu kan? Nah anak-anak remaja ini juga sudah punya problemnya sendiri yang membutuhkan bantuan pihak luar. Kalau tidak dibantu, bukan nggak mungkin akademisnya juga bisa terganggu. Sayangnya, peran guru BK rasa-rasanya belum berjalan optimal. Mungkin sudah saatnya peran guru BK dijalankan oleh seorang psikolog?
Intinya, pendidikan di Indonesia sudah darurat harus beradaptasi dengan keadaan dan lebih jeli untuk menyuguhkan apa yang menjadi kebutuhan peserta didik dalam menyongsong era kehidupan yang baru. Bukan lagi sekedar mencekoki dengan hafalan teori demi mencapai syarat minimum buat naik kelas.
Baca juga: Galau Stanford atau Harvard, Begini Cara Maudy Ayunda Dididik Orangtua
Gambar: detik.com
Share Article
COMMENTS