Ini Cerita Para Perempuan yang Mengalami Ketidakadilan di Dunia Kerja

#MommiesWorkingIt

RachelKaloh・01 Mar 2022

detail-thumb

Dari ejekan sampai pelecehan seksual, ini cerita para perempuan bekerja yang mengalami ketidakadilan di dunia kerja.

Buat working Mommies yang ketika baca judul masih beranggapan, “Memangnya hari gini masih ada, ya, perlakuan tidak adil pada perempuan di dunia kerja?” Jawabannya, masih banget, Bun! Berikut cerita para perempuan bekerja yang langsung mengalaminya (nama disamarkan) dan dari cerita teman dekat mereka sesama perempuan. Harap dibaca dengan bijak, ya, karena tulisan ini mengundang emosi.

Mawar, konsultan IT

Sebagai perempuan satu-satunya di kantor, paling muda, dan menguasai tools lebih baik daripada yang lain, aku mengalami betul perlakuan tidak adil di kantorku, salah satunya gap salary. Waktu aku di-promote jadi manager, gaji asistenku malah lebih besar dari gajiku. Alasannya, karena dia sudah menikah, jadi (menurut perusahaan) dia butuh uang lebih banyak. Tidak hanya di kantor, aku pun seirng diremehkan ketika bertugas di lapangan, terutama oleh kaum tua. Aku nggak paham kenapa, mungkin karena di sini posisiku adalah seorang perempuan yang membawa solusi berupa teknologi modern, sementara mereka yang selama ini sudah nyaman dengan budaya lama dan kolot, mengganggap aku hanyalah anak muda yang sok tahu.

Sarah, client service

Melayani klien memang bagian dari pekerjaan, tapi nggak jarang aku bertemu dengan mereka yang tangannya “ramah”. Lagi ngobrol basa-basi sebelum masuk ke pembahasan serius tentang kerjaan, lah, tiba-tiba tangannya sudah di paha aja! Nggak hanya itu, banyak juga yang main rangkul, main cipika cipiki, belum lagi yang topik becandaannya selalu soal seks. Pas aku pakai jilbab, kirain bakalan berubah tingkah laku mereka, eh, ternyata tidak! Berada di tengah laki-laki yang kesepian dan jauh dari rumah itu sulit, pelecehan nggak hanya secara fisik, tapi verbal! 

Baca juga: 7 Cara Bijak Menghormati Batasan Antara Rekan Kerja Pria dan Wanita

Mindy, developer aplikasi

Buatku, berat banget menjadi perempuan di dunia kerja yang isinya mayoritas laki-laki. Kalau lagi dandan rapi dan feminin sedikit, diledekin, dianggapnya mau godain orang. Aku juga mengalami betul bahwa ketika kita lebih maju dari rekan kerja lain yang adalah laki-laki, mungkin secara skill, aku diakui, tapi ada saja alasannya untuk karirku tidak bisa naik secara mulus. 

Baca juga: 5 Alasan Ibu Bekerja Takut Pindah Kerja dan Cara Mengatasinya

Risna, pegawai start up

Saat menjadi ibu baru, aku sempat khawatir, bisa, nggak, ya, menyusui dengan nyaman di kantor. Perusahaanku memang start up, tapi karena mayoritas laki-laki dan anak muda, maka ruang menyusui tidak dianggap penting. Akhirnya, aku mencoba segala cara, termasuk ngumpet di pantry untuk memompa ASI. Ketika selesai dan mau balik ke kursiku, salah satu temanku nyeletuk, “Sini gue aja yang pompain!” Anehnya, teman-teman yang lain malah tertawa, seakan-akan becandaan seperti itu bukan pelecehan terhadap perempuan. Kupingku sudah cukup kebal, sih, bodo amat sama semua omongan orang. Ya, gimana, kalau aku protes, karirku yang terancam. 

Firly, marketing

Setiap kali waktu penilaian tiba, yang artinya bakalan dapat bonus kalau memang performa kita baik, biasanya aku dan teman perempuanku (sebagai sesama kaum minoritas), saling curhat. Bahkan kita sampai hafal, lho, paling kita naik (gaji) nggak seberapa dibanding mereka. Salah satu momen yang bikin kita berdua syok adalah ketika teman senior, yang perempuan juga, bilang sama kita, “Ya, kalian kan punya suami yang kerja juga, coba bayangin, tuh, si A kan anaknya 3, dia kepala keluarga!” Akupun heran, kok, sesama wanita juga ikut mewajarkan ketidakadilan ini, ya. Padahal, aku sering juga merasa bahwa rekan kerja yang laki-laki ini kelihatan banget saat sedang terintimidasi dengan pencapaianku. Nggak jarang mereka juga “nangis-nangis” alias nyari backing-an ke sana ke mari supaya dapat promosi. 

Baca juga: Kisah Para Perempuan Breadwinner, Bekerja Tanggung Biaya Hidup Keluarga

Meski sebagai perempuan kita juga dituntut untuk bersuara, kadang hal-hal di atas menjadi alasan untuk para perempuan terima saja dengan perlakuan tidak adil di kantor. Mengapa? Karena bersuara justru bisa mengancam karir mereka. Menerima budaya toxic di kantor tidak selamanya bisa disebut pasrah dengan keadaan, sementara cara bertahan satus-satunya adalah tutup telinga alias nggak peduli dengan perlakuan tersebut. Tidak jarang ketika kita berontak, malah dibilang, “Ah, dasar cewek, baperan!”

Sudah saatnya #PerempuanBisaBerdaya berani untuk #SeeSpeakStop ketika melihat atau mengalami ketidakadilan berdasarkan gender.  Kalau sudah begini, tidak ada banyak cara yang bisa dilakukan selain terus membuktikan kemampuan kita. Biarlah otak dan etos kerja yang bicara.

Kalau dengan menunjukkan kemampuan kita, perusahaan tetap menilai kita sebelah mata, tidak ada salahnya mencari peluang di tempat lain, yang jauh lebih bisa menerima perempuan smart. Semangat, ya, working Mommies, we got this! 

Photo created by tirachardz – www.freepik.com