banner-detik
#MOMMIESWORKINGIT

Kisah Para Perempuan Breadwinner, Bekerja Tanggung Biaya Hidup Keluarga

author

Katharina Menge24 Feb 2022

Kisah Para Perempuan Breadwinner, Bekerja Tanggung Biaya Hidup Keluarga

Beberapa perempuan breadwinner berbagi cerita tentang perjuangan dan tantangan yang dihadapi ketika tugas mencari nafkah utama ada di pundak mereka.

Breadwinner atau pencari nafkah selama ini diasosiasikan pada sosok para pria. Namun, di zaman sekarang bukan hal yang sulit menemukan sosok perempuan yang jadi pencari nafkah untuk keluarganya. Baik mencukupi kebutuhan keluarga inti ataupun keluarga kecilnya.

Banyak alasan yang memicu perempuan mengambil alih tugas menjadi pencari nafkah. Beberapa perempuan breadwinner yang ada di komunitas Mommies Daily pun berbagi kisah mereka menjadi tulang punggung keluarga. Yuk, intip kisahnya di bawah ini!

BACA JUGA: 5 Alasan Ibu Bekerja Takut Pindah Kerja dan Cara Mengatasinya

Beratnya Jadi Breadwinner

1. Tantangan datang dari saudara sendiri

Dewi – 40 tahun

Semenjak suami berpulang mendadak pada September 2017 silam, saya otomatis menjadi breadwinner untuk keluarga. Meski sebelumnya, dengan pekerjaan suami yang tidak menentu, saya juga sudah turut andil jadi tulang punggung keluarga. Kini 100 persen tugas itu ada di pundak saya.

Di rumah saya bertanggung jawab mencukupi kebutuhan keluarga, mulai dari ibu, 2 anak, 1 sepupu, dan 1 om yang menumpang tinggal di rumah. Dari A-Z kebutuhan rumah juga saya yang bayar. Tantangannya sebagai breadwinner lebih dari diri sendiri, sih.

Saya jadi harus bisa menahan diri saat menginginkan sesuatu. Kalau itu terjadi, saya selalu sadari saat itu prioritasnya apa, karena semua bergantung sama uang yang saya punya. Saya juga harus pintar-pintar investasi dan menabung untuk simpanan anak anak di masa depan.

Kalau omongan orang sekitar soal peran saya sebagai breadwinner tidak pernah saya hiraukan. Selama orang itu tidak memberi saya makan, tidak usah didengarkan dan dimasukkan ke hati. Namun yang sering membuat kesal bukan orang memandang saya sebelah mata, tapi masih ada saja orang (saudara) yang sudah tahu kondisi saya ini masih tega sering minta uang ke saya, meski jumlahnya tidak banyak. Untungnya ibu dan anak-anak saya sangat pengertian dan tidak pernah merengek minta sesuatu yang tidak penting.

2. Tidak membahas pembagian tanggung jawab

FL- 38 Tahun

Kemampuan finansial saya yang lebih tinggi jadi alasan saya menjadi breadwinner dalam keluarga. Tidak hanya keluarga inti, tetapi juga dalam keluarga kecil saya. Selama lima tahun saya menanggung 100 persen pengeluaaran keluarga inti.

Pada dua tahun pertama pernikahan pun saya juga turut menanggung 70 persen pengeluaran keluarga kecil saya sambil tetap memberikan nafkah untuk orang tua. Kesalahan utama ini bisa terjadi karena sejak awal pernikahan saya dan suami tidak pernah membahas tentang pembagian tugas dan tanggung jawab.

Jadi otomatis saja yang memang sudah saya cover sejak dulu akhirnya saya lanjutkan, sisanya suami saya. Tantangannya cukup berat, mulai dari kondisi mental dan emosi, harus bisa mengatur keuangan dengan baik, dan menjaga hidup tetap sehat agar tidak ada masalah kesehatan yang terjadi dan menghabiskan biaya.

Namun, sejak saya kena lay-off tahun 2020 lalu, saya sudah tidak lagi menanggung apa-apa.

3. Pandemi Jadi Tantangan Berat

Ariena – 32 tahun

Sejak awal menikah, penghasilan saya sudah lebih besar dari suami. Karena kondisi kantor, akhirnya suami terpaksa berhenti kerja dan setelah dirundingkan, akhirnya diputuskan kalau saya jadi pencari nafkah dan suami fokus mengasuh anak. Sampai sekarang 80 persen pengeluaran saya tanggung. Suami bantu-bantu juga karena dia sambil kerja freelance.

Suami fokus mengurus anak dari pagi hingga saya pulang kerja, setelah itu saya ambil alih dan gantian dia yang bekerja. Untuk urusan masak dan beres-beres rumah masih saya yang pegang. Tidak banyak yang tahu kondisi kami seperti ini, hanya keluarga dan teman dekat.

Kami tidak pernah mempermasalahkan omongan orang. Sebab pada akhirnya keluarga kami berfungsi dengan baik dan msalah ini tidak berpengaruh pada pertumbuhan anak. Kebetulan kami juga tinggal di apartemen jadi aman dari omongan tetangga. Tantangan terasa di awal pandemi dan kondisi ini menjadi cukup challenging karena mendadak kami harus 24 jam bersama. Hamdalah masalah ini bisa kami atasi setelah rutin konseling selama 1 bulan dengan konselor.

BACA JUGA: 40 Pertanyaan yang Sukses Bikin Kesal Ibu Bekerja, Anda yang Mana?

4. Suami jadi SAHD

AH – 44 tahun

perempuan breadwinner
Foto: Freepik

Alasan yang membuat saya jadi pencari nafkah utama dalam rumah tangga itu karena gaji saya kebetulan lebih tinggi dari suami. Selama beberapa tahun sebagian besar pengeluaran rumah tangga ditutup dengan pendapatan saya. Suami juga sempat tidak bekerja selama dua kali, masing-masing kurang lebih jangka waktunya setahun.

Selain kebutuhan pribadi suami, saya menanggung 90 persen kebutuhan dasar rumah tangga. Selama tidak bekerja, suami yang cover urusan sekolah anak-anak, termasuk ke sekolah bila diperlukan. Dulu urusan rumah seperti belanja juga dilakukan sebulan sekali bila diperlukan. Tidak banyak yang tahu dengan kondisi kamu ini, karena masalah ini kami simpan sendiri, mungkin hanya keluarga dekat yang tahu.

Untungnya di tahun 2020 lalu suami sudah kembali bekerja. Namun karena saya dan suami bekerja di lingkungan yang sama, kami bekerja juga berdasarakan kontrak. Ada suatu masa ketika saya selesai kontrak dan hal ini yang membuat deg-degan. Sampai saat ini saya tidak benar-benar lepas dari menanggung pengeluaran rumah tangga. Sekarang ini pembagian tanggung jawabnya dengan suami sekitar 50-50.

5. Tak Masalah Jadi Breadwinner

GL – 38 tahun

Suami saya sifatnya cukup emosional di tempat kerja. Selalu ada masalah di tempat kerja dengan koleganya dan berujung terpaksa resign. Suami saya terakhir kerja saat anak masih berusaha beberapa bulan. Melihat itu, akhirnya kami putuskan bahwa saya yang bekerja dan suami jadi stay at home dad.

Tentu saja itu membuat semua pengeluaran rumah tangga jadi tanggung jawab saya. Di rumah suami bertugas mengurus rumah dan antar jemput sekolah. Urusan masak kami pakai catering harian dan saya bertugas mencuci piring dan sesekali membereskan kamar anak.

Tantangan dari sekitar tentu saja banyak. Awalnya suami sensitif setiap ditanya apa pekerjaan dan bisnisnya. Perlu butuh waktu bertahun-tahun sampai dia bisa bilang dengan santai kalau dia stay at home dad. Sekarang, bisik-bisik sekitar sudah tidak kami pedulikan karena tidak ada gunanya. Di kondisi pandemi pun saya sempat di PHK dan menganggur setahun sampai sudah menjual barang-barang untuk menyambung hidup. Untungnya saya sudah mendapat pekerjaan lagi.

Akhirnya saya berpikir, siapapun breadwinnernya, yang penting kehidupan harus terus berjalan. Namun sejujurnya saya memang lebih menikmati bekerja kantoran dibanding mengurus pekerjaan rumah tangga sehari-hari. Jadi buat saya, bekerja ini bukan keterpaksaan semata-mata karena hanya saya yang bisa jadi tulang punggung, tetapi lebih karena saya suka bekerja.

6. Tidak Dinafkahi Mantan Suami

PL- 37 tahun

Saya jadi breadwinner atau tulang punggung keluarga sejak cerai dan mantan suami tidak memberikan nafkah. Semua kebutuhan saya dan anak-anak, mulai dari sehari-hari sampai sekolah, saya yang tanggung. Sekarang saya tinggal dengan dua anak yang sedang mengenyam pendidikan SD dan satu orang ART. Setiap bulannya saya bisa menghabiskan biaya kurang lebih 13 juta untuk semua kebutuhan hidup.

Kalau ada orang atau tetangga yang membicarakan, saya tidak pernah memperdulikannya karena life must go on. Anak-anak butuh makan dan fokus saya bukan pada omongan orang lain tapi ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak dari berbagai sisi.

Kebetulan saya juga anak dari orang tua yang berpisah sehingga saya banyak belajar dari pengalaman sendiri dan pengalaman orang lain bahwa banyak anak-anak yang sukses meski tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh. Itu yang membuat saya bersemangat untuk terus bahagia dan bekerja untuk anak-anak saya.

Tantangan yang paling berat adalah menghadapi diri sendiri di saat ada masalah atau di saat capek karena pekerjaan dan hal sehari-hari tidak selalu mulus jalannya. Namun kembali lagi yang menguatkan saya adalah anak.

BACA JUGA: Suara Para Anak dari Ibu Bekerja, Ternyata Penuh Rasa Bangga

Cover: Freepik

Share Article

author

Katharina Menge

-


COMMENTS