Menjadi teman bagi anak bisa membantu orang tua menjalankan peran parenting atau malah memburamkan peran parenting itu sendiri, semua tergantung kita.
Sebagai orang yang semasa remajanya nggak biasa curhat masalah pribadi kepada orang tua, menjadikan saya bercita-cita ingin menjadi orang tua yang bisa sekaligus menjadi teman anak. Pengen aja gitu, kalau anak ada masalah, ceritanya ke saya, hangout-nya juga sama saya. Intinya, dekat dengan anak. Saya pikir, itu akan membantu saya juga untuk menjalankan peran parenting. Apa benar?
Menurut peneliti Gwen Dewar, PhD dari Parenting Science, Jean Twenge dan W. Keith Campbell dalam bukunya The Narcissism Epidemic, menuliskan bahwa ketika orang tua mencoba “berteman” dengan anak-anak mereka, itu bisa menjadi masalah. Orang tua jadi sulit untuk menegakkan aturan dan standar.
Sebelum memutuskan sejauh mana orang tua ingin berteman dengan anak, orang tua harus jelas dulu dengan pengertian teman itu sendiri. Salah-salah, bisa jadi kebablasan. Dalam hubungan persahabatan, teman yang satu nggak bertanggung jawab terhadap teman yang lain. Anak-anak pun bisa jadi salah pengertian.
Ketika orang tua membangun hubungan pertemanan dengan anak, ada kecenderungan orang tua jadi hanya ingin menyenangkan anak, sungkan menegakkan aturan dan konsekuensi bila anak melakukan kesalahan. Akhirnya, orang tua jadi terlalu permisif pada anak. Orang tua jadi lupa dengan tanggung jawabnya untuk mendidik dan mendisiplinkan anak. Peran orang tua menjadi buram karena berubah status menjadi teman anak.
Ini bisa berdampak buruk pada pengendalian diri anak. Anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh permisif cenderung merespons situasi konflik dengan kekerasan menurut Dewar.
Saat orang tua menganggap anak sebagai sahabatnya, orang tua juga bisa kebablasan curhat kepada anak. Orang tua jadi memperlakukan anak-anak sebagai orang kepercayaan. Akhirnya, orang tua jadi terlalu terbuka soal masalah keuangan, pekerjaan, masalah dengan pasangan atau konflik-konflik lainnya. Itu bisa membuat anak jadi stres!
Hal-hal yang belum waktunya diketahui oleh anak-anak atau remaja kita, jadi ditelan bulat-bulat karena belum memiliki kemampuan untuk menyaring informasi.
Seorang peneliti yang mewawancarai anak perempuan remaja dari orang tua yang bercerai, menemukan bahwa putri mereka berisiko mengalami tekanan psikologis ketika sang ibu menceritakan segala masalahnya terlalu detail.
Saking ingin menjadi teman anak, orang tua jadi melanggar batasan privasi dengan anak remaja. Orang tua lupa, bahwa anak juga punya teman lain di luar sana. Apalagi sudah remaja, mungkin anak sudah dipercaya temannya memegang rahasia. Namun karena orang tua merasa anak wajib terbuka padanya, jadi memaksa atau mengorek-ngorek informasi anak. Belum lagi, ingin membuntuti ke manapun anak pergi. Ingin hangout bareng teman-teman anak, dan selalu ada di setiap kegiatan anak. Alih-alih jadi teman anak, malah membuat anak risih.
Baca juga: 12 Kesalahan Orang Tua Zaman Sekarang
Nggak salah jika orang tua ingin punya hubungan yang erat atau menjadi sahabat bagi anak, selama orang tua tahu batasannya. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak menjadi lebih baik ketika orang tua mereka menunjukkan kasih sayang dan menerapkan batasan yang sesuai dengan usia anak.
Jadi, keintiman dengan anak nggak berarti membebani anak dengan masalah pribadi atau membebaskan anak melakukan semaunya. Anak lebih membutuhkan persahabatan dengan orang tua yang rasional dan berwibawa yang disertai dengan kehangatan dan kepercayaan.
Ketimbang ingin menjadi teman anak, lebih baik terapkan pola asuh yang mengutamakan:
Kesimpulannya, kita bisa membangun hubungan pribadi yang dekat dengan anak-anak dengan tetap menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab, tanpa perlu mengubah status kita sebagai orang tua menjadi teman anak. Setuju, moms?
Baca juga: Katakan 7 Hal Ini Jika Mommies Ingin Anak Tumbuh Menjadi Pribadi yang Kuat dan Berdaya