Seasonal Affective Disorder, Latar Belakang dari Perasaan Murung Kala Mendung

Physical Wellness

RachelKaloh・24 Nov 2021

detail-thumb

Sering murung saat mendung? Curah hujan tinggi, bawaannya galau setiap hari? Mungkin Mommies mengalami seasonal affective disorder.

Oh, enggak, kok! Ini bukan sekadar drama kebawa perasaan atau emosi berlebihan kala musim hujan. Mayoclinic.org mengkategorikan Seasonal Affective Disorder (SAD) sebagai salah satu masalah kesehatan yang kerap dialami banyak orang. SAD adalah depresi yang berhubungan dengan perubahan musim. Mungkin dari situ juga istilah “sad” (sedih) muncul. Namun, perasaan ini bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng. Bila Mommies mengalami gejala SAD, penanganan yang tepat dengan bantuan psikolog maupun psikiater mungkin diperlukan.

Baca juga: 9 Tanda Kita Meremehkan Kesehatan Mental

Mengapa seseorang bisa mengalami Seasonal Affective Disorder (SAD)?

Dilansir Klikdokter, penyebab SAD ini memang belum dapat dipahami sepenuhnya, karena terdapat berbagai faktor yang ikut berkontribusi terhadap kemunculan SAD. Di antaranya adalah faktor psikologi, faktor genetik dan faktor lingkungan. Namun kabarnya, menurut penelitian di Amerika, 4 dari 5 orang dengan SAD adalah perempuan, di rentang usia 20-30 tahun. 

Dari segi lingkungan, perubahan musim disebut menjadi penyebab SAD. Tepatnya, karena perubahan musim memengaruhi seseorang dalam mendapatkan paparan sinar matahari. Kalau selama ini kita tahu bahwa sinar UV bisa berbahaya terhadap kesehatan kulit kita, sebaliknya, sinar matahari juga punya banyak sekali manfaat, di mana ketika kita kurang mendapatkan paparan sinar matahari, hormon di dalam tubuh tidak akan bisa bekerja secara optimal, akibatnya, cara kerja otot pun terganggu.

Ketika musim dingin, terjadi perubahan dalam perputaran waktu, malam hari menjadi lebih lama dan siang hari menjadi lebih pendek. Hal ini konon memengaruhi ritme sirkadian (perputaran waktu) manusia yang kemudian berpengaruh terhadap timbulnya SAD. Hasil scan otak pada penderita SAD di musim dingin menunjukkan tingginya protein transporter serotonin yang berfungsi mengurangi kadar serotonin di dalam tubuh. Padahal, kita butuh kadar serotonin yang cukup, karena semakin rendah level serotonin, semakin mudah seseorang mengalami depresi.

Selain serotonin, cahaya juga memengaruhi kadar hormon melatonin seseorang, yaitu hormon pengatur siklus tidur yang dihasilkan oleh kelenjar pineal dalam otak. Hormon ini diproduksi saat gelap. Sementara, perubahan musim dapat berefek pada penyimpangan produksi hormon melatonin dalam tubuh yang dapat menimbulkan masalah gangguan tidur.

Tapi untungnya, kita masih tinggal di daerah yang dekat dengan garis katulistiwa, karena semakin jauh dari garis katulistiwa, angka kejadian SAD semakin tinggi, akibat makin jarang terpapar sinar matahari.

Baca juga: Defisiensi Vitamin D yang Semakin Banyak Dialami Orang Zaman Sekarang

Apa saja gejala umum SAD?

Seseorang bisa dikatakan mengalami SAD apabila gejala ini terjadi pada dirinya:

  • Perasaan depresi
  • Berkurangnya semangat menjalani aktivitas yang biasanya disenangi
  • Menurunnya energi
  • Mengalami masalah tidur (tidur berlebih maupun sulit tidur)
  • Nafsu makan meningkat dan kenaikan berat badan atau sebaliknya, tidak nafsu makan
  • Gelisah
  • Sulit konsentrasi
  • Timbulnya perasaan bersalah, sedih yang mendalam
  • Hilangnya percaya diri
  • Hilangnya minat hidup

Bagaimana mengobati SAD?

Pada dasarnya, gejala SAD tersebut akan membaik dengan sendirinya, ketika pergantian musim kembali terjadi. Namun, perlu penanganan yang sesuai agar gejala tersebut membaik dengan cepat. Salah satunya, dengan terapi cahaya atau bright light therapy (BLT) yang 85% terbukti efektif mengatasi SAD serta gangguan tidur. Terapi sinar ini dilakukan untuk menekan produksi hormon melatonin. Pasien akan berada di bawah sinar terang sebanyak 10 kali lipat lebih banyak dari orang biasa, selama 30-90 menit dan dilakukan satu sampai dua kali dalam seminggu. Alat yang digunakan berupa lampu fluoresen dengan layar plastik. Terapi ini dapat dilakukan sambil beraktivitas seperti biasa, termasuk sambil makan dan membaca. 

Sementara bagi gejala yang lebih berat, pengobatan dapat dilakukan dengan psikoterapi, tepatnya cognitive behavioural therapy (CBT), terutama bila gejala yang dirasakan semakin berat dan mengarah ke hilangnya minat hidup. Hal ini perlu penanganan lebih lanjut dengan ahli (psikolog). Penderita biasanya akan diberikan obat-obatan seperti anti depresi golongan SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor).

Meski termasuk gangguan yang cukup jarang terjadi, khususnya di negara tropis seperti Indonesia, gejala apapun yang mengarah ke gangguan mental dan perasaan ingin mengakhiri hidup harus ditangani dengan tepat.

Baca juga:

Mengenal Perbedaan Stres, Cemas, dan Depresi

Photo by Kristina Tripkovic on Unsplash