Mengubah Cara Pandang Orangtua terhadap Matematika

Parenting & Kids

Ficky Yusrini・02 May 2021

detail-thumb

Di hari pendidikan nasional ini, saya gatal ingin menulis tentang gagalnya pengajaran matematika di sekolah-sekolah.

Seandainya saya belum belajar memahami matematika, barangkali pertengahan semester lalu saya akan sangat terpukul. Pasalnya, guru memberi tahu kalau nilai PTS anak saya 13 dari skala 100. Bisa dikatakan, sekadar bonus nulis jawaban dari guru. Saya hanya bilang, “Ow!” Sebelumnya saya sudah mendapat informasi bahwa rata-rata nilai PTS matematika di angkatan anak jatuh semua.

Reaksi ibu-ibu lain heboh, ada yang berpikir mencari tutor pribadi untuk anak, ada yang menuntut perubahan metode mengajar, sampai tuntutan perhatian sekolah terhadap subjek yang satu ini agar kemampuan matematika anak tidak ketinggalan jauh.

Sementara para ibu lain shock, reaksi saya ke guru, “Tidak masalah buat saya kalau nilai matematika anak saya jelek. Itu berarti dia memang belum paham materinya. Saya tahu setiap hari dia belajar matematika, tapi memang levelnya dia belum sampai ke situ. Jadi, kalau ini dianggap masalah, menurut saya, justru ini masalah sekolah, bukan masalah anak saya. Apalagi nilai rata-ratanya juga jatuh semua.”

BACA JUGA: 9 TANDA ORANG TUA MICOMANAGING DAN BAHAYANYA PADA ANAK

Berdamai dengan matematika

Perjalanan saya untuk bisa cool dalam menyikapi kemampuan matematika anak lumayan panjang.  Dulu saya anak IPS, salah satu korban phobia matematika. Saya merasa bodoh sekali dalam subjek ini . Nggak pernah mengerjakan PR, dan sehabis pelajaran rasanya nggak ada yang nyantel di otak. Saya bersumpah, semoga tidak akan pernah ketemu lagi dengan matematika. Setelah punya anak, reuni kembali dengan matematika yang saya takuti tak terhindarkan. Beranjak kelas 4 SD, anak mulai terengah-engah dengan materi matematika sekolah. Ayahnya terlihat lebih jago, tapi ia tidak tahu cara mengajar ke anak. Mau tidak mau, saya harus turun gunung, dia belajar, saya juga belajar. Ada sedikit perasaan bangga, ternyata saya yang bodoh matematika ini, bisa juga mengajari anak, meski dengan segala dramanya.

Krisis bernalar

Kegagalan pengajaran matematika secara umum, sependek pengetahuan saya yang awam ini, bisa dilihat dari minimnya nalar masyarakat sekarang, baik dalam berlogika (common sense) maupun dalam hitung-hitungan uang. Melek finansial membutuhkan kemampuan bernalar dan matematika. Bisa dilihat, misalnya, mereka yang gemar belanja pakai cicilan dan utang tanpa memperhitungkan pendapatan, mementingkan gengsi daripada tabungan, mudah tergiur iming-iming investasi bodong, dan lainnya. Tanda matematikanya nggak pintar. Atau, kalaupun dulu matematikanya pintar, sayangnya tidak bisa merelasikan dengan kehidupan sehari-hari. Apa pun jurusan yang dipilih anak sesuai minatnya nanti, ia tetap harus belajar matematika sebagai bekalnya, sebagai latihan mental dan pembentukan nalarnya.

Mengejar kurikulum

Saya termasuk terlambat menyadari pentingnya orangtua turun tangan dalam pengajaran matematika ini, tidak semata berpangku tangan pada sekolah. Sebab, sekolah pasti mengacu pada kurikulum nasional. Sementara, matematika di kurikulum cenderung menjejalkan materi yang begitu banyak, dengan tingkat kesulitan yang tidak memperhatikan usia anak. Masa, anak kelas 2 SD sudah belajar pecahan, kelas 4 sudah mulai digeber soal-soal UN, kelas 5 sudah belajar bangun ruang yang kompleks. Selama ini, saya beranggapan bahwa anak saya, sama seperti saya, juga lemah di matematika. Bolak-balik diajarin, nggak bisa-bisa. Sampai pernah klimaksnya, dia nangis, saya juga nangis, saking putus asa ngajarin.

Tapi kemudian, saya belajar, ternyata pandangan saya keliru. Lalu saya mengubah cara pandang saya, semua anak sebetulnya bisa matematika, hanya levelnya berbeda-beda. Nah, sekolah cenderung tidak melihat sampai di mana pemahaman anak, satu per satu. Asal kejar materi, ulangan nilai harus bagus semua. Padahal, idealnya, anak perlu belajar setahap demi setahap, dalam logika yang berurutan, sesuai kecepatannya masing-masing, dan jangan pindah materi dulu sebelum anak betul-betul paham. Itulah kenapa, tidak bisa berharap banyak dari pengajaran matematika di sekolah. Setelah saya mendapat ‘pencerahan’ ini (saat itu anak kelas 5 SD), saya coba turunkan level anak dan memberinya materi untuk kelas 3 SD. Saya ingin ia menguatkan kembali konsep dasar. Konsekuensinya, saya harus rela ‘menutup mata’ dengan materi matematika sekolah yang sudah melesat jauh dan menyiapkan mental anak kalau nilai ulangannya jeblok.

Peran orangtua

Umumnya para orangtua punya ekspektasi tinggi agar anaknya pintar matematika, sebab, matematika jadi kunci tes masuk perguruan tinggi, fundamental untuk masuk jurusan sains dan teknologi (STEM), kedokteran, ataupun jurusan yang dianggap mampu menghasilkan kesuksesan secara finansial dalam pekerjaan. Makanya, orangtua berlomba-lomba mengirim anaknya ke lembaga les agar mendapat tambahan pelajaran matematika. Anak yang dasarnya sudah anti, jadi semakin stres. Tidak semua orangtua punya kemampuan untuk mengajari sendiri anak. Tapi, menurut saya, kuncinya tetap di tangan orangtua. Kita bisa saja mendelegasikan ke tutor atau guru, tapi kuncinya tetap di tangan kita. Misalnya, memilihkan kurikulum yang pas, materi yang ramah anak, metode dan sumber belajar mana yang terbaik, sehingga kita tahu sampai mana pemahaman dan kebutuhan anak. Kekurangannya, kita yang melengkapi.

Indahnya matematika

Selain itu, peran penting orangtua adalah mengubah cara pandang terhadap matematika. Matematika bukan sekadar ilmu tentang menghafal rumus dan mengerjakan soal, matematika ada di mana-mana. Ada di dapur, di karya seni yang kita kagumi, di dedaunan dan bunga-bunga, hewan, lansekap dan alam sekeliling kita. Di balik keindahan alam ini, tersingkap hukum matematika. Peran orangtua yang tidak kalah pentingnya adalah memiliki ketakjuban terhadap matematika, kemauan dan kesenangan untuk ikut belajar, akan menjadi atmosfer yang akan diserap oleh anak.

Photo by Antoine Dautry on Unsplash