Sorry, we couldn't find any article matching ''
Jerat The Hustle Culture yang Menghancurkan Hidup Kita Tanpa Sadar
Sering merasa harus selalu aktif dan produktif, mudah panik, selalu menyesal, dan merasa waktu 24 jam tidak pernah cukup? Anda mungkin bagian dari The Hustle Culture.
‘Kutukan’ menjadi perempuan, sepagi-paginya saya bangun, saya selalu merasa kesiangan. Selarut apa pun saya tidur, saya selalu terbangun pukul empat pagi. Dan, sepagi itu, saya merasa sudah sangat terlambat. ‘Harusnya kan bisa lebih pagi lagi’. ‘Coba kalau bangun sebelum itu, nggak bakal buru-buru’. Tiap pagi seperti ini, rasanya sungguh tidak nyaman. Padahal, saya Ibu rumah tangga (IRT), yang tidak sedang dikejar-kejar deadline dan laporan kantor. Bahkan, bagi saya yang IRT ini, waktu 24 jam sehari serasa kurang.
Fast forward, beberapa tahun silam, saat saya masih kerja kantoran, kehidupan saya lebih gila lagi. Saya merasa, meskipun telah mengerjakan ‘PR’ kantor yang menghabiskan seluruh waktu 24 jam saya, performa kerja saya masih saja kurang. Saya seperti terhisap ke dalam ‘never ending deadline’. Belakangan, saya baru sadar, masalahnya ada di mindset.
Baca juga:
Mental Load Time: Beban kerja pada Wanita Jauh Sebelum Menjadi Ibu
Psikolog Bryan E. Robinson Ph.D mengistilahkannya dengan The Hustle Culture. Jangan-jangan, saya masih ada di dalam tempurung budaya hiruk pikuk itu. Cirinya, kata Bryan, kira merasa diri kita harus selalu aktif dan produktif. Tidak boleh santai-santai. Banyak daftar yang harus dikerjakan, mudah panik, selalu menyesal, dan keras berlebihan terhadap diri sendiri. Ujung-ujungnya, jadi mudah stres, mudah frustasi, depresi, kecemasan, ketidakstabilan mental, dan riskan punya kecenderungan melakukan bunuh diri. Slow living, sebagai lawan dari The Hustle Culture, terlihat mudah diucapkan, tapi sungguh tidak mudah untuk diterapkan. Ada tiga pendapat menarik yang menurut saya bisa mengeluarkan kita dari sisi gelap The Hustle Culture.
Baca juga: Kapan Gangguan Kecemasan Perlu Diwaspadai?
Sleep Your Way to The Top Berlawanan dengan Hustle Culture
Empat tahun silam saya menemukan quote ini, sampai sekarang masih sangat membekas. Di saat Sheryl Sandberg sedang getol-getolnya menggaungkan Lean In untuk kaum perempuan, gerakan agar perempuan punya mimpi tinggi dan semangat mencapai ambisinya, Ariana Huffington punya mantra yang bertolak belakang, yakni Sleep Your Way to The Top. Pendiri The Huffington Post ini mengkritik budaya kerja keras hingga mengabaikan jam tidur. Menurut Ariana, selama bertahun-tahun ia menganut definisi sukses yang ‘sesat’, yang harus dibayar dengan kelelahan. “Betapa sulitnya punya waktu cukup, untuk bisa bersantai. Betapa sulitnya untuk tidur nyenyak, bahkan walaupun saya sudah menyisihkan cukup waktu. Saya merasa kelelahan sepanjang waktu,” kata Ariana.
Ia menambahkan, “Saya adalah bukti nyata bahwa begitu kita mengubah mindset tentang tidur, kita bisa mulai mengubah kebiasaan kita.” Termasuk mendefinisikan ulang kata sukses, dimulai dengan punya waktu tidur cukup dan berkualitas.
Produktivitas dengan Jam Kerja Singkat
Pendapat menarik ini dikemukakan oleh Rian Doris, Co-Founder Flow Research Collective. Menurut Rian, budaya hiruk pikuk telah menjadi lazim di abad ke-21 dalam komunitas pebisnis. Namun, bekerja lebih keras dan lebih lama tidak selalu menjadi jawabannya. Rian mengemukakan, pandangan kerja keras ini haruslah diubah menjadi kerja pintar. “Apakah kalau seseorang bekerja 17 jam sehari, ia sudah produktif dan jaminan untuk lebih sukses?” sindirnya. Kata Rian, produktivitas bukanlah tentang bekerja dalam waktu yang lebih lama, tapi tentang keberhasilan menyelesaikan pekerjaan. Caranya? “Batasi waktu kerjamu menjadi lebih singkat.” Dalam tekanan waktu yang lebih pendek, Rian mengaku jadi bisa lebih strategis dalam menyelesaikan tugas, ia jadi mampu melihat mana yang perlu diprioritaskan, mana yang bisa didelegasikan. Dan, di luar itu semua, ia jadi punya waktu untuk menikmati hari dengan lebih santai.
Jadilah Orang Biasa
“An ordinary life is a good life,” saya suka sekali saran bagus dari Alain de Botton ini. Ia mengkritik cara pandang masyarakat kita yang menganggap bahwa kesuksesan adalah segalanya. Kesuksesan berarti menjadi pemenang, menjadi sosok yang menonjol, hebat, luar biasa. Ambisi adalah hal yang fantastis. Ambisi untuk menjadi hebat. Kalau tidak hebat, itu artinya pecundang. Kegagalan, karenanya, adalah sesuatu yang menakutkan. Padahal, kata Alain, 99% dari kita ditakdirkan untuk menjadi orang biasa-biasa saja. “It’s okay to fail, it’s okay to be lost.”
Baca juga:
Share Article
COMMENTS