banner-detik
PHYSICAL WELLNESS

Mental Load Time: Beban Mental pada Wanita Dialami Bahkan Jauh Sebelum Menjadi Ibu

author

RachelKaloh11 Oct 2020

Mental Load Time: Beban Mental pada Wanita Dialami Bahkan Jauh Sebelum Menjadi Ibu

Mental Load Time perempuan yang terjadi jauuuuuh sebelum perempuan menjadi seorang ibu.

Menurut Pooja Lakshmin, MD, Asisten Profesor Klinis di Departemen Psikiatri dan Ilmu Perilaku di Fakultas Kedokteran Universitas George Washington, “Mental load adalah beban kognitif dan emosional yang dialami ketika menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga sekaligus mengurus keluarga.” 

“Ini merupakan pekerjaan yang tidak terlihat, jobdesc-nya samar, tidak bisa dijabarkan, namun ditanggung oleh wanita. Ini dimulai saat Anda memutuskan ingin punya bayi,” tambahnya. 

Baca juga: Mendidik Anak Perempuan yang Anti Menye-menye Club

Mental Load Time Awal: Karier vs Rencana Berkeluarga

Wanita “tertuntut” untuk menghadapi pilihan besar dalam hidup, menemukan pasangan untuk memulai keluarga, sekaligus menavigasi jalur karirnya, apakah kira-kira akan sesuai dengan masa depannya ketika membentuk sebuah keluarga (jadi istri, ibu, mengurus rumah tangga, dan mengurus anak). 

Prakonsepsi dan kehamilan

Psikolog dan asisten profesor di Universitas Auburn, Evelyn Hunter, Ph.D. mengatakan tanggung jawab untuk mencegah atau merencanakan kehamilan demi mengendalikan angka kelahiran masih harus dipikul wanita. 

Saat pasangan mencoba untuk hamil, wanitalah yang, lagi-lagi, jauh lebih effort menanggung beban, dari jadwal konsultasi dengan Obgyn, melacak siklus kesuburan, memantau diet, bahkan dalam beberapa kasus, memberikan suntikan untuk dirinya sendiri. Di balik konsep pra-kehamilan sebetulnya tersirat bahwa wanita perlu bekerja lebih banyak dalam mempersiapkan tubuhnya untuk kehadiran janin. 

Kelahiran anak hingga tahun pertamanya

Kita semua tahu tantangan yang dihadapi ibu baru itu merupakan kejutan yang benar-benar tidak pernah bisa diduga sebelumnya. Hal ini juga ada kaitannya dengan pemberlakuan cuti melahirkan bagi ayah. Seorang profesor sekaligus penulis buku Parents Who Lead: The Leadership Approach You Need to Parent with Purpose, Fuel Your Career, and Create a Richer Life, Alyssa Westring, Ph.D., menjelaskan, "Salah satu keuntungan dari pria yang mengambil cuti ketika istrinya melahirkan adalah mereka dapat berada di rumah untuk melihat dan ikut menjalani pekerjaan fisik, emosional, dan mental dalam mengasuh anak.” Jika seorang ayah tidak langsung melihat hal ini, tentu akan jauh lebih sulit mencari cara untuk membantu. 

Baca juga: 36 Hal yang Harus Dilakukan Agar Anak Tumbuh Bahagia

Masa balita

Ketika anak menjalani potty-training, ibu biasanya akan lebih jeli melihat dan memastikan yang anak lakukan. Meski memang, di masa balita ini, kedua orangtua akan jauh lebih mudah menerapkan pembagian tugas antara ibu dan ayah. 

Usia SD

Mulai les sana-sini yang seringkali tentu ibulah yang membuat janji. Jam segini ada kegiatan A, sore nanti akan ada kegiatan B. Sementara, ayah cenderung berperan dalam kegiatan olahraga anak. Meski banyak juga ayah yang sudah sangat aware dengan jam les anak dan tahu kapan harus mengantar maupun menjemput anak. Akan tetapi, buat ayah yang bekerja office hours, kembali dianggap wajar kalau tidak tahu menahu kegiatan anak selain sekolah. 

Masa remaja

Menurut ahli, ketika anak memasuki masa remaja dan harus lebih mandiri, para ibu yang menanggung beban kerja kognitif menghadapi isu-isu seperti screen time, disiplin, kehidupan sosial anak, belum lagi tekanan akademis. 

Efek kumulatif

Pada akhirnya, mengenai wanita yang memikul lebih banyak beban terhadap kehidupan anak, perawatan kesehatan anggota keluarga di rumah, pekerjaan rumah tangga, dan ketidakmampuan pria untuk “melihat” keseimbangan sepanjang perjalanan menjadi orangtua bermuara pada hak istimewa atau privilege. Menurut Evelyn Hunter, pria memiliki hak istimewa untuk tidak “menyandang” mental load, seperti halnya wanita. 

Namun, dalam setiap langkah di sepanjang garis waktu kehidupan, tentu ada cara untuk mengubah hal ini menjadi lebih seimbang. Beban mental adalah masalah struktural dan sistemik, belajar untuk menetapkan batasan dan mengatakan 'tidak' adalah bagian penting dalam menanganinya. 

Tulisan ini pun bukan dibuat untuk membandingkan beban antara pria dan wanita, namun, sebagai wanita yang memiliki mental load lebih penuh dari pria, pastikan diri sendiri juga tahu batasannya. 

Mungkin banyak dari kita yang beranggapan bahwa equal parenting is impossible, namun ada cara untuk setidaknya berbagi peran dengan pasangan agar lebih seimbang, demi kewarasan. Setuju, kan?

Baca juga: Teori Triangulation: Anak Bermasalah, Mungkinkah Kita Penyebabnya?

Share Article

author

RachelKaloh

Ibu 2 anak yang hari-harinya disibukkan dengan menulis artikel dan content di media digital dan selalu rindu menjalani hobinya, menjahit.


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan