WFH tidak cuma memiliki sisi baik, tapi juga ada tidak enaknya. Kalau Anda, pilih yang mana? Kerja di rumah atau balik ngantor?
Pandemi Covid-19 ini telah memaksa ratusan juta orang melakukan ‘work from home’ (WFH). Banyak orang yang beranggapan, WFH ini sifatnya hanya sementara. Saat pandemi selesai, kehidupan (profesional) kembali normal. Benarkah demikian?
Menurut lembaga survei Gartner, sebanyak 74% CFO (Chief Financial Officer) berencana untuk membuat WFH menjadi solusi permanen. Sebab, baik perusahaan maupun karyawan sendiri menganggap WFH membuat hidup jauh lebih baik, waktu kerja lebih fleksibel, produktivitas dan tingkat kepuasan meningkat. Beberapa perusahaan besar, seperti Google, telah mengumumkan untuk menjadikan skema ‘hybrid’ menjadi model kerja yang diadopsi secara permanen. Ada pula survei yang mengatakan, separuh orang Amerika setuju untuk meneruskan WFH selamanya.
WFH memang memiliki banyak sisi positif. Bebas dari kemacetan, tak perlu melakukan perjalanan komuting yang melelahkan alias tua di jalan, efisiensi waktu kerja, mengurangi rumpi-rumpi tak penting dengan rekan kerja, mengurangi pengeluaran untuk biaya transpotasi, tol, dan makan siang. Belum lagi, fleksibilitas yang bisa didapatkan di rumah, bisa dekat dengan anak dan keluarga. Namun demikian, WFH -khususnya di masa pandemi- ternyata juga punya sisi lain.
Awas, burn out. Tak sedikit yang mengeluhkan beban kerja dan sistem kerja selama WFH. Maraton zoom sepanjang hari, karyawan juga dituntut untuk ‘selalu on’ kapan pun. “Jam 8 malam baru selesai meeting. Kadang jam 1 pagi, kalau ada WA masuk dari atasan, ya harus langsung saya jawab saat itu juga,” cerita seorang teman saya. Batasan antara work dan home menjadi kabur. Setiap saat home, tapi juga setiap saat work.
Banyak perempuan menyerah pada WFH. Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh McKinsey Global, di Amerika Serikat, 1 dari 4 perempuan -selama 6 bulan terakhir ini- terancam mendowngrade kariernya atau resign sepenuhnya dari kantor. Jumlahnya sekitar 2 juta orang. Hal ini bisa diartikan sebagai sebuah kemunduran bagi perempuan dan kurangnya pemimpin perempuan dalam dunia bisnis. Menurut riset McKinsey 2025, perempuan yang menempati posisi C-level (CEO) hanyalah 17%.
Untuk perempuan dari kalangan minoritas, angkanya jauh lebih kecil, yakni 5%. Angka yang sama untuk jumlah perempuan yang menempati C-level di Indonesia, yakni 5%. Kenapa bisa begitu? Dalam laporan bertajuk Women in the Workplace, hal ini karena masih adanya beban ganda perempuan, tanggung jawab pengasuhan anak dan pekerjaan domestik masih dominan di tangan perempuan. Hal ini juga terjadi pada mereka yang punya tanggungan harus mengurus orangtua, keluarga yang sakit, atau kerabat. Hampir tiga dari empat responden mengatakan, kelelahan sebagai alasan utama.
WFH bikin orang tidak produktif. Dari riset Valoir, menemukan tingkat produktivitas selama WFH turun 1%, dan turun 2% untuk karyawan yang punya anak. Mereka yang tidak punya tanggungan alias sendirian di rumah, produktivitasnya turun 3%. Kok bisa? Salahkan media sosial. Kalau di sini, mungkin termasuk Netflix dan drakor yang jadi distraksi.
WFH membuat orang kesepian. Temuan ini terungkap dari survei yang dirilis Buffer tahun 2019, sebanyak 19% mereka yang melakukan WFH mengaku kesepian. Kehilangan momen ngobrol dengan teman kerja dan bertemu orang-orang baru. Angka ini dipercaya jauh lebih tinggi lagi di masa pandemi ini.
Apabila tren ini terus berlanjut, tentu banyak hal yang perlu dibenahi.
Kultur dan pola pikir harus berubah. WFH tidak sekadar memindahkan dari offline ke online, dari tatap muka ke Zoom, ada banyak hal yang harus disiapkan oleh perusahaan, demikian menurut Enrique Dans, pengajar Inovasi di IE Business School, Madrid. Saran Enrique, dari sisi karyawan, pola pikirnya harus berubah. WFH tidak sesederhana menyiapkan sudut kerja di rumah, tapi juga memotivasi diri sendiri dan membuat diri mau terus belajar. Untuk perusahaan, cara pandang micro-managing harus ditinggalkan.
Kebijakan yang ramah perempuan. Dari riset McKinsey, masukannya, perusahaan perlu mengeveluasi cara penilaian performa, mengatur fleksibilitas deadline dan kecepatan kerja. Tanpa kebijakan yang ramah perempuan, seorang ibu yang punya balita atau anaknya sedang SFH, tentu akan kewalahan dengan tuntutan performa selama WFH.
Perlu norma baru WFH. Perusahaan harus mencari cara untuk membangun kembali batasan kehidupan kerja. Bagi banyak orang, ini mungkin memerlukan pengaturan norma kerja baru — misalnya, menetapkan jam kerja yang ditetapkan untuk rapat, menerapkan kebijakan untuk menjawab email di luar jam kerja biasa, dan perlu komunikasi yang jelas tentang jam kerja dan ketersediaan waktu kerja masing-masing orang dalam tim. Perusahaan juga dapat mendorong karyawan untuk menetapkan batasan mereka sendiri dan memanfaatkan sepenuhnya pilihan kerja yang fleksibel.
Baca:
Atasan Mendadak Micromanage Selama Work From Home, Harus Bagaimana?
Ini Tiga Hal yang Ternyata Saya Rindukan Selama Work From Home
Stop Burnout! Ini Cara Mengatur Waktu Istirahat Selama Kerja di Rumah