Banyak berita yang sedikit melegakan tentang Covid-19, meski studinya jauh dari Indonesia.
Masih seputar update Covid-19 yang perlu kita ketahui. Indonesia mencatat rekor kasus baru per Rabu, 23 September 2020 lalu dengan kasus harian 4.465, sehingga total kasus Corona di Indonesia mencapai 257.388. Dari 15 negara dengan penambahan kasus Covid-19 tertinggi, Indonesia ada di peringkat ke 14.
Tidak perlu panik, melainkan tetap waspada, sambil terus melaksanakan protokol kesehatan dan sebisa mungkin diam di rumah. Sementara itu, update berikut ini mungkin bisa sedikit membawa kelegaan:
Adanya kelemahan pada virus penyebab Covid-19
Penelitian Sekolah Biokimia Bristol, University of Bristol menemukan bahwa Covid-19 memiliki semacam ‘kantong obat’ di permukaannya yang menjadi titik kelemahannya. Menurut para peneliti, titik kelemahan itu bisa disuntikkan antivirus untuk menghentikan keganasannya sebelum menyerang sel dalam tubuh.
Mereka menemukan bahwa virus Corona menggunakan molekul kecil yang disebut asam linoleat untuk mengikat dirinya sendiri dan menyebar sehingga peneliti percaya ada cara untuk mengacaukan lemak pengikat tersebut agar virus tidak menular.
Para ilmuwan sebelumnya berhasil menerapkan cara yang sama terhadap rhinovirus dan mampu menghentikan virus tersebut menular. Mereka pun optimis bahwa strategi yang sedang direncanakan, yakni mengembangkan obat antivirus untuk melawan Covid-19 bisa berhasil.
Anak-anak disebut lebih kuat lawan Corona dibandingkan orang dewasa
Sebuah studi oleh para ilmuwan dari Fakultas Kedokteran Albert Einstein, Rumah Sakit Anak di Montefiore (CHAM), dan Universitas Yale, membandingkan sistem kekebalan antara anak-anak dan orang dewasa terkit dengan virus Corona Covid-19.
Studi tersebut melibatkan 60 pasien Covid-19 dewasa dan 65 pasien Covid-19 anak di bawah usia 24 tahun yang dirawat di CHAM dan Montefiore Health System bulan Maret hingga Mei lalu. Hasilnya, 37% pasien Corona dewasa membutuhkan ventilasi mekanis dibandingkan 5 atau 8% pasien anak. Selain itu, sekitar 28% orang dewasa atau meninggal di rumah sakit dibandingkan dengan 2 atau 3% pasien anak.
Manusia memiliki dua jenis kekebalan. Yang pertama ada kekebalan bawaan, berupa sel-sel kekebalan yang merespons dengan cepat segala jenis patogen yang menyerang dan adaptif. Kekebalan ini lebih kuat selama masa kanak-kanak. Yang kedua ada kekebalan adaptif, yaitu jenis respons imun kedua yang lebih spesifik dan menonjolkan antibodi serta sel imun yang menargetkan virus atau mikroba.
“Dibandingkan dengan pasien Covid-19 dewasa, pasien anak memiliki respons imun bawaan yang lebih tinggi sehingga melindungi mereka dari berkembangnya sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) akibat Covid-19. Sebaliknya, pasien dewasa menanggapi infeksi virus Corona dengan respons imun adaptif yang terlalu kuat sehingga dapat meningkatkan peradangan seperti ARDS,” jelas rekan penulis senior Betsy Herold, MD, kepala bidang infeksi.
Infeksi DBD disebut memicu kekebalan terhadap Covid-19
Sebuah studi di Brasil menganalisa hubungan antara penyebaran virus Corona Covid-19 dengan wabah demam berdarah di masa lalu. Disebutkan bahwa paparan penyakit yang disebabkan oleh nyamuk aedes aegypti ini ternyata bisa memberikan kekebalan terhadap virus Corona Covid-19.
Sementara sebuah studi yang memang belum dipublikasikan juga dilakukan oleh seorang profesor di Universitas Duke, Miguel Nicolelis. Ia membandingkan distribusi geografis kasus Covid-19 dengan penyebaran demam berdarah pada tahun 2019 dan 2020.
Ditemukan bahwa tempat-tempat dengan tingkat infeksi Corona yang lebih rendah dan pertumbuhan kasus yang lambat merupakan lokasi yang mengalami wabah demam berdarah yang hebat sebelumnya. Sehingga menurutnya ada kemungkinan menarik dari reaktivitas silang imunologis antara Flavivirus demam berdarah dan SARS-CoV-2 (Corona).
Bila hipotesis ini terbukti benar, dapat diartikan bahwa infeksi dengue atau imunisasi dengan vaksin dengue yang manjur dan aman dapat menghasilkan beberapa tingkat perlindungan imunologis terhadap Corona. Meski demikian, penelitian lebih lanjut tentu masih diperlukan untuk membuktikan hubungan tersebut.
Faceshield tidak efektif cegah Corona
Para ahli dan organisasi kesehatan termasuk CDC tidak menyarankan penggunaan face shield tanpa masker. Di jurnal Physics of Fluids terdapat hasil dari sebuah studi terbaru Florida Atlantic University, yang melibatkan visualisasi dengan rangkaian sinar laser dan asap sintetis dari air sulingan dan gliserin, sebagai simulasi batuk dan bersin pada manekin.
Hasilnya, face shield mampu menghalangi semburan dari bersin dan batuk. Namun ternyata, tetesan lebih mudah bergerak di sekitar face shield dan menyebar ke area yang lebih luas, tergantung situasi lingkungan. “Seiring waktu, tetesan ini dapat menyebar ke area yang luas baik dalam arah lateral maupun longitudinal,” ungkap salah satu peneliti, Manhar Dhanak.
Sumber: DetikHealth
Baca juga:
“Corona Bisa Menular Lewat ASI?” dan Berbagai Pertanyaan Lain Seputar Menyusui Selama Pandemi
3 Masalah Keuangan di Masa Pandemi, Apa Solusinya?
7 Rekomendasi Layanan Psikolog Online Untuk Ketenteraman Jiwa Selama Covid-19