banner-detik
WORK & CAREER

Cerita Para Guru tentang Sulitnya Mengajar di Rumah

author

annisast22 Jul 2020

Cerita Para Guru tentang Sulitnya Mengajar di Rumah

Mommies yang bekerja sambil menemani anak (terutama yang masih kecil) school from home, sudah di mana posisi batas kesabarannya? Ahahaha. Pernah terpikir nggak sih kalau gurunya anak-anak pun mungkin adalah ibu bekerja?

Bagaimana sulitnya mengajar dari rumah? Simak cerita 3 guru ini ya.

sekolah anak belajar

Dhea, Cimahi, mengajar kelas IV SD di sekolah swasta Islam nasional plus, ibu 1 anak 1.5 tahun.

Selama bulan Maret - akhir Mei struggle banget untuk bagi waktu antara kerjaan dan urus anak di rumah. Pas awal WFH shock banget karena aku harus menyiapkan bahan ajar dari rumah seperti bikin video (seminggu minimal 2 video, yang mana aku baru bisa bikin itu start mulai jam 10 malam lanjut editing dan upload youtube beres sampai jam 3-3.30 pagi).

Lalu kami para guru juga harus langsung kenal sama salah satu platform LMS (learning management system) dan juga harus jelasin ke siswa dan orang tua. Dan jelasin itu tuh ngga cukup sekali dua kali.

Lalu kebetulan sekolah kami memutuskan jam belajar itu sama seperti jam belajar sekolah normal dari 7.30 - 14.30. Itu tantangan banget sih karena anakku kalau aku di rumah maunya nempel aku terus. Jadi di sela jam ngajar tuh ya ngurusin anak. Itu exhausting banget. :')

Belum lagi masalah device sih, teh Icha. Rata-rata punya satu rumah tuh laptop biasanya punya 1, paling punyanya handphone. Itu pun masalah kalau ada anak yang sebelumnya ngga dikasih handphone. Jadinya ya gantian sama kakak adiknya.

Terus kalau orang tuanya bekerja normal WFO. Di rumah minim pendampingan. Atau yang orang tuanya (maaf) gaptek. Ituuu nguras energi kami para guru juga. Karena mau ngga mau ya harus one on one kami bimbing biar bisa ngerjain dan masukin tugasnya.

Pas udah WFO. Di sekolah kami, para guru nggak libur sama sekali karena harus nyiapin model sekolah baru. LMS yang digunakan juga baru, beda dari yang waktu 3 bulan awal SFH. Kami dituntut untuk bikin modul pembelajaran sendiri, lalu karena sekarang pakainya sistem Project Based Learning, jadi muter otak lagi untuk brainstorming dengan guru guru lain.

Jadinya berlapis:

1. Harus menguasai LMS

2. Menyiapkan bahan ajar (presentation point, worksheet, video) untuk nata pelajaran spesialisasi

3. Bikin modul buat mata pelajaran nasional

4. Brainstorming dengan guru lain buat bikin projek mingguan siswa (model PjBL)

Ditambah karena ini tahun ajaran baru, jadi muridnya juga baru. Sedih banget karena ngga bisa ketemu langsung, personal approachnya ngga dapet bgt. Jadi sulit juga untuk mendeteksi kemampuan siswa per orang tuh gimana.

Apalagi putusan pimpinan kami untuk sistem mengajar sekarang tuh klasikal satu grade (kalau di kelas IV ada 78 siswa). Makin sulit untuk approachnya karena 1 kali Zoom meeting langsung 78 anak.

Sari, mengajar kelas 4 di Cilincing, Jakarta Utara

Metode belajar saat ini pakai group WhatsApp. Struggle-nya banyak, kondisi ekonomi murid di sekolah aku mayoritas menengah ke bawah. Tidak setiap hari semua orang tua memiliki kuota, meski ada bantuan dari dana BOS, bahkan ada muridku yang orang tuanya butah huruf jadi harus andelin tetangga buat kirim foto.

Orang tua juga banyak yang tidak mampu memahami materi pelajaran, jadi tidak semua anak dibimbing saat mengerjakan tugas. Ada juga yang orang tua bekerja, bahkan ada yang tidak tinggal sama orang tua. Di sekolah aku ada beberapa anak korban broken home yang akhirnya tinggal sama nenek/kakeknya.

Mengoreksi dari foto itu bikin pusing apalagi tidak semua kualitas foto yang dikirim bagus kadang ada yang bener bener burem banget karena keterbatasan HP. Biasanya aku kasih tanggapan kualitatif aja pake kata kata dikasih tau mana yang masih salah, nilainya langsung aku input ke daftar nilai.

Pernah pakai Google Form tapi tidak selalu karena ga yakin juga itu yang ngerjain anak atau orang tua, kalau menulis kan pasti anaknya yang nulis karena ketauan kalau ditulisin.

Kalau dikasih instruksi ga pada mau baca, jadi berulang ulang nanya padahal udah dijelasin berkali kali

Tidak selalu bisa pakai vidoe call karena keterbatasan kuota orang tua murid.

Meski udah ditetapkan deadline pengumpulan tugas, yang sebenernya udah diperlonggar sampai jam 9 malam terutama untuk anak yang orang tuanya bekerja, tetep ada aja yang ngirim tugas jam setengah 1 malam.

Tapi tahun ajaran ini gak ada yang kabur, kalau tahun ajaran kemaren ada 1 orang.

Aku udah cari nomer keluarga yang tinggal deket dia, ampe dapet nomer sepupunya yang masih SMA.

Tapi ya anaknya kabur-kaburan ga pernah di rumah. Neneknya udah sepuh matanya udah ga berfungsi 1, ngurus 6 cucunya yang ditinggalin sama orang tuanya. Orang tuanya datang cuma urusan KJP. Home visit pun ya ga ada siapa siapa kecuali neneknya sama cucunya yang masih balita.

Di kelas lain pun rata rata ada aja 1 atau 2 anak yang modelan begini.

Wahyu Nurjannah, Sragen, Jawa Tengah, mengajar kelas 1 SD, ibu dari anak kelas TK A.

Rasanya dilematis banget. Apalagi guru kelas 1 identik dengan mendampingi anak untuk menyempurnakan kemampuan dasar (calistung) di mana yaaa gak bisa banget kalo harus daring.

Para ortu hampir semua memohon utk bisa tatap muka padahal sekolah kalau mau mengadakan luring itu sebuah keputusan yang sangat hati-hati dan penuh risiko.

Sementara ini ngajar via WhatsApp (video, foto, VN, video call) karna tinggal di daerah, nggak semua orang tua bisa teknologi terkini (di situ kadang saya iri sama yang orang yang tinggal di kota).

Hal tersulit ituuu administrasi seperti tetep ada RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) versi daring dsb. Nyiapin itu semua, mulai dari hari ini mau belajar apa, materinya apa, medianya apa (ppt, video, worksheet, dll) evaluasinya (tugasnya bagaimana). Beruntungnya kalo RPP sekarang itu lebih simpel, istilah Mas Menteri itu RPP 1 lembar.. ya walopun ngga selembar juga. Sama nge-back up kiriman tugas. Kalo via daring harus mindah-mindahin data gituu HP memorinya cepet penuh. Karena di daerah dan SD itu ngga ada petugas TU nya.

Selama pandemi tapi ada keringanan utk nggak terlalu fokus sm target materi sih. Jadi ya agak bisa santai di urusan target pencapaian siswa

Untungnya anakku karena masih TK A dan di daerah sini untuk TK itu belum ada yang model zoom, so far aman sih karena yaa kan bermain yaa. Tapi momen waktu bermain itu jadi nggak begitu fulfilled karena aku sambil pantau HP.

Herlina Yunitasari, Kab. Nagekeo, Flores, NTT, mengajar kelas TK, ibu dari 2 anak, kelas 2 SD dan TK B keduanya SFH.

Harus bikin kegiatan sekreatif mungkin, yang bahan-bahannya ada di rumah siswa, tidak memberatkan orang tua karena kan mereka masih tetap bayar sekolah, kalo harus mengeluarkan uang lagi untuk beli bahan buat support pembelajaran kan kasian juga.

Ditambah lagi harus nyiapin pulsa data, karena emang mereka gak tiap hari punya pulsa data, memang ada juga yanng diberikan oleh sekolah, tapi tidak maksimal karena kami tidak setiap hari bisa mengunjungi anak-anak dan rumahnya juga lumayan jauh dan ada yang tinggal di kebun (kebun ini jauh dari pemukiman warga).

Dan pembayaran uang sekolah juga tidak full seperti biasanya, karena menyesuaikan dengan kondisi ekonomi orang tua. Apalagi sekolah tempatku ngajar itu sekolah negeri, nggak bisa memungut uang sekolah sebanyak sekolah swasta dan bantuan dari pemerintah seperti BOP, itu menyesuaikan jumlah murid yang ada di sekolah.

Tambah lagi guru honorernya ada 3 orang dan dibayarkan dari uang sekolah anak-anak (kondisi normal), kondisi sekarang karena gak semua anak bisa bayar full uang sekolah jadi sisanya diback up sama dana BOP, kondisi normal dana BOP full untuk support kegiatan pembelajaran dan uang perjalanan dinas untuk guru.

Bikin kegiatan juga nggak sebebas seperti sewaktu ngajar di sekolah, karena kami juga memikirkan apakah orang tua nantinya bisa dan tidak mengeluh mendampingi anak-anaknya belajar di rumah, apakah alat-alatnya ada atau tidak di rumah?

Metode belajarnya pake WhatsApp Group, ini pun gak semua orang tua punya hp android, jadi yang nggak punya hp android, kami harus mengantar kegiatan ke rumahnya dan rata-rata ini rumahnya cukup jauh dari sekolah.

Aku juga ada jadwal kunjungan ke rumah siswa setiap minggu ke 2 dan minggu ke 4. Sisanya kembali ke sekolah menyelesaikan administrasi. Dan di sela-sela itu harus memantau WAG, apa ada keluhan dari orang tua. Ini lumayan makan waktu juga, karena jam kerjanya jadi bertambah. Menyeseuiakan dengan kondisi orang tua yang kerja juga, karena kebanyakan yang sekolah emang anaknya working mom dan jadwal kerja orang tuanya pagi-sore, rata-rata di rumah sama nanny atau opa-oma yang udah pasti gak maksimal untuk menemani anak SFH.

Pusing bagi waktu kalo pas bentrok jadwalnya, aku harus kunjungan, suami juga kunjungan, anak dikunjungi gurunya. Pusing banget ini. Karena kebetulan aku dan suami sama-sama guru. Tambah lagi suamiku ini setiap minggu ada tugas tambahan jadi fasilitator untuk guru-guru di kecamatan lain yang jaraknya 2 jam dari rumahku, dan bisa saja nginap kalo harus 2 hari kegiatan. Kondisinya aku tanpa nanny, karena nannyku lagi sakit dan masih operasi.

Mana punya batita. Kalo batitaku bisa ke handle sama adek iparku yang tinggal sama aku, dia sambil SFH sambil ngawasin batita, karena ada tempat main yang memang disetting aman dan nyaman buat anak-anak main, jadi tinggal ngontrol makan minum sama BAB-BAK.

Tugas-tugas deadlinenya juga gak mepet banget, masih bisa ditemenin ngerjain saat sore setelah aku istirahat. Tapi gurunya anakku yang SD ini gak pro aktif buat follow up anak-anak, jadi orang tua yang harus pro aktif nanyain. Ini juga bikin pusing aku, karena kalo gak tanya yaa gak di follow up. Beda banget sama aku, yang selalu follow up anak-anakku di sekolah, nanyain udah selese belum, apa ada kesulitan, apa gimana.

Kalo soal makan, pagi aku masih bisa masak dibantu iparku, nyuci baju tar sore-sore atau malem, sambil nyambi ngerjain lainnya. Kalo pas capek banget dan mood buruk, ya beli ajalah lauk, nasi masak sendiri.

Nggak mau maksa diri. Ke depannya kayaknya aku bakalan manggil orang sementara buat jagain batitaku, karena nggak mampu kalo begini terus-terusan. Sambil nungguin si nanny pemulihan.

Pengennya pandemi ini segera berakhir, biar gak harus capek mikir.

*

Wah, sama repotnya seperti kita bekerja di rumah ya! Jadi saling bantu yuk agar sekolah di rumah ini bisa lancar dan lebih nyaman untuk semua pihak, baik kita sebagai ortu, guru, maupun anak.

Baca juga:

Pro Kontra SPP dan Uang Kegiatan Sekolah Dikurangi, Ini Kata Para Ibu

Mengenal Unschooling: Ketika Anak Tak Pergi ke Sekolah

Kembali ke Kantor Saat Anak Masih Sekolah di Rumah

Share Article

author

annisast

Ibu satu anak, Xylo (6 tahun) yang hobi menulis sejak SD. Working full time to keep her sanity.


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan